Kiprah Hasjim Ning dan NV Indonesia Service Company
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Selain General Motors, fasilitas perakitan produk otomotif kedua di Indonesia adalah pabrik Lodan, juga di Jakarta, milik NV Indonesia Service Company (ISC). Pabrik yang dibangun pada awal 1950-an ini lahir berkat ide Ir Loah, Menteri Perhubungan RI, untuk memproduksi mobil Ford dan Dodge.
NV ISC merupakan perseroan milik negara yang didirikan berdasarkan cita-cita nasionalisme bangsa Indonesia, yang ingin menjadi tuan di Tanah Air sendiri sehingga bangsa Indonesia yang telah bersusah payah serta berkorban darah dan nyawa, bukan hanya menjadi tuan di politik, tapi juga di bidang ekonomi.
Kemerdekaan bangsa haruslah pula melempangkan jalan bagi Indonesia untuk menegakkan ekonomi bangsanya, sehingga bangsa Indonesia tidak harus menjadi “tukang warung” yang menadah barang dagangan dari pengusaha dan pedagang asing yang telah berabad-abad menjadi parasit dan penghisap darah bangsa Indonesia (Chalmers, 1996: 117).
ISC adalah perusahaan negara yang sekaligus menjadi simbol populer dari nasionalisme ekonomi yang saat itu dikampanyekan oleh Presiden RI Soekarno.
Namun, ISC pada hakikatnya didirikan berdasarkan kebijakan ekonomi luar negeri yang moderat pada 1950, ketika pemikiran utama yang ada adalah upaya untuk menarik investasi baru. Saat itu tokoh-tokoh terkait dengan partai politik Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada awal 1950 melaksanakan negosiasi dengan Matthew Fox, pengusaha asal Amerika Serikat.
Dalam satu literatur disebutkan bahwa kontrak Fox di Indonesia pada 1948 adalah mendirikan suatu “perusahaan bersama Amerika-Indonesia” sebagai wadah untuk ekspor dan impor Indonesia dari Amerika Serikat.
Soemitro Djojohadikusumo, yang mewakili Bank Indonesia di Washington DC pada 1949-1950, terlibat dalam berbagai perundingan yang mengarah pada pembangunan ISC (Chalmers, 1996: 120). Tak lama kemudian, tepatnya Oktober 1950, ISC digabungkan dalam suatu usaha patungan yang sahamnya dibagi rata antara pihak Amerika Serikat dan Indonesia dengan Fox sebagai salah satu direkturnya.
Presiden Direktur ISC pertama adalah Tan Goan Po, politisi PSI, dengan pemegang saham pihak Indonesia adalah dua lembaga keuangan yakni Zoro Corporation dan NV Putera. Namun, hanya satu tahun sebagai presiden direktur, Tan Goan Po digantikan Hasjim Ning sebagai Presiden Direktur ISC pada 1951.
Saat itu Hasjim Ning bukanlah nama baru di bisnis otomotif Indonesia. Sejak 1930-an, pria yang berpangkat letnan kolonel semasa revolusi fisik ini memiliki dealer keagenan mobil merek Chryler yakni NV Velodrome Motors. Bersama orang Belanda yang pendukung kemerdekaan Indonesia, Johan Dijker, Ning juga mendirikan bengkel mobil bernama Jakarta Motors Company.
Ning juga dikenal dekat dengan sejumlah politisi, seperti duet Soekarno dan Mohammad Hatta, yang kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Dia juga akrab dengan Sjahrir, saat itu calon perdana menteri dari partai PSI.
Pengangkatan Ning sebagai Presiden Direktur ISC semakin melambungkan namanya di Indonesia, khususnya di industri otomotif. Sejak saat itu ada yang sebutan yang kerap menempel di belakang nama Ning, yakni “Raja Mobil di Indonesia”.
Selain sebagai orang nomor satu di ISC yang memiliki lisensi mobil Ford, Ning juga memiliki lisensi sebagai importir dan keagenan mobil-mobil asal Amerika Serikat. Misalnya PT Jakarta Motor Company yang didirikannya bersama pengusaha keturunan Arab, Toto Bachrie, mendapat keagenan merek Chrysler (Dodge) dan American Motor Company (AMC) yang menaungi merek Jeep.
Namun, karena mendapat maklumat keberatan dari Chrysler dan Jeep, ISC mengalihkan lisensi Ford ke perusahaan baru bernama PT Indonesia Republic Motor Company (IRMC) untuk mengimporkan mobil-mobil Ford ke Indonesia. Pemegang saham IRMC selain Ning dan Bachrie adalah R.S. Hoepoedio.
Ning juga memberikan rekomendasi untuk mitranya, Bachtiar Lubis, supaya memperoleh lisensi keagenan mobil Renault asal Prancis. Tak lama kemudian, perusahaan Lubis lainnya, PT National Motors, mendapatkan lisensi dari Mazda dan Hino.
Kongsi keduanya juga hadir lewat PT Java Motors, yang memiliki keagenan merek Leyland dan Landrover, merek otomotif asal Inggris. Ning juga memiliki keagenan merek Fiat asal Italia, kali ini bermitra dengan Dasaad.
ISC sebagai pabrik perakitan mobil milik negara justru mendapat pesanan terbanyak untuk kendaraan militer dan dari berbagai kementerian RI. Pada 1952, Bank Industri Negara (BIN) memborong saham pihak Amerika di perusahaan patungan ISC dengan Soemitro Djojohadikusumo tetap menjadi penasihat perusahaan.
Peran Ning di ISC yang strategis saat itu adalah aktif mengupayakan bantuan teknis dari luar negeri untuk meningkatkan kapasitas produksi ISC. Misalnya, bernegosiasi dengan Chrysler yang dimulai pada 1953, dan menghasilkan pinjaman senilai US$2,6 juta dari Dana Pinjaman Pembangunan Amerika Serikat (US Development Loan Fund) pada 1954. Pinjaman tersebut kemudian digunakan untuk impor peralatan produksi otomotif.
Selain nama besar Hasjim Ning di industri otomotif Indonesia era 1950-an, muncul juga beberapa nama pengusaha meski diketahui juga memiliki kemitraan dengan Ning. Mereka adalah Dasaad yang memiliki keagenan merek Fiat, Fritz H. Eman (Holden), Johan K. Panggabean (VW), Bachtiar Lubis (Mazda), Suwarma (Mitsubishi dan Mercedes), dan Yasrin (Toyota). Mereka semua adalah para pengusaha lokal atau pribumi yang berkembang karena adanya “Program Benteng” dari pemerintahan Presiden Soekarno.