Kebijakan Ini Memengaruhi Lanskap Industri Otomotif Pada Era Orde Baru
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Dukungan terhadap perusahaan perakitan nasional dan industrialisasi produk otomotif memang semakin menguat sejak Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 45 tanggal 26 Juni 1972. Peraturan itu menyebutkan Departemen Perindustrian memiliki wewenang penuh atas pembangunan industri otomotif.
Kebijakan otomotif lahir akibat ada tarik-menarik kepentingan dan pengaruh antara berbagai departemen yang merasa berhak menangani produk otomotif pasca-1969.
Sepekan setelah keppres itu terbit, menteri perindustrian RI mengeluarkan surat keputusan (SK) No. 545 bahwa semua usaha patungan di bidang otomotif diharuskan untuk menerapkan kepemilikan saham mayoritas oleh pihak lokal.
SK ini juga mewajibkan semua agen impor untuk membangun kapasitas perakitannya sendiri dan tidak lagi menyerahkan perakitan kendaraannya kepada pihak lain.
SK No 545 ini ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaan direktur jenderal Industri Dasar Kementerian Departemen Perindustrian, yang pada intinya memberikan waktu tiga tahun bagi perusahaan-perusahaan otomotif melakukan penggabungan (perakitan dengan agen pemegang merek).
Direktur Jenderal Industri Dasar Suhartoyo–saat meresmikan gedung baru PT Toyota Astra Motor di Jalan–Jenderal Sudirman, Jakarta, pada 7 Mei 1973 mengatakan terdapat kecenderungan masyarakat untuk memilih mobil-mobil hasil perakitan dalam negeri. Dari 30.000 unit mobil yang dijual pada 1972, sebanyak 23.000 unit di antaranya mobil merupakan hasil perakitan dalam negeri (Luhulima, 2015: 12).
Kebijakan industrialisasi produk otomotif kian menguat, setelah sidang Dewan Stabilitas Nasional pemerintah memutuskan larangan untuk mengimpor mobil dalam keadaan utuh (CBU).
Kebijakan larangan itu diperkuat oleh Menteri Perdagangan yang pada 22 Januari 1974 dengan menerbitkan surat keputusan (SK) No 25 tentang Ketentuan-ketentuan Pengimporan Kendaraan Bermotor Jenis Sedan dan Station Wagon untuk Seluruh Wilayah Indonesia.
Sejak saat itu, semua kendaraan yang diimpor ke Indonesia harus dalam keadaan terurai (CKD). Hanya agen tunggal pemegang merek (APM) yang memiliki pabrik di dalam negeri yang diizinkan untuk mengimpor kendaraan bermotor dalam keadaan CKD. Kebijakan ini memberi peluang bagi APM dan principalnya untuk memperdalam struktur industri dengan mulai membangun industri komponen lokal.
Kebijakan industrialisasi di sektor otomotif semakin menguat dengan dikeluarkannya kebijakan Menteri Keuangan tentang kendaraan niaga.
Dalam Surat Keputusan (SK) No 919 dan 912 tertanggal 21 dan 22 Juli 1976, Menteri Keuangan Ali Wardhana menetapkan pajak penjualan (PPn) sedan dan station wagon dinaikkan dari 5 persen menjadi 20 persen.
Kemudian bea masuk sedan dan station wagon yang diimpor dalam keadaan terurai juga dinaikkan dari 50 persen menjadi 100 persen. PPn impor untuk produk tersebut juga dinaikkan dari 10 persen menjadi 20 persen.
Di sisi lain, SK itu juga menetapkan PPn kendaraan niaga hasil rakitan dalam negeri diturunkan dari 5 persen menjadi 0 persen. Sedangkan impor kendaraan niaga dalam keadaan CKD pun dibebaskan dari pembayaran bea masuk dan PPn impor.
Kebijakan tarif (pajak) tersebut otomatis membuat harga jual sedan dan station wagon menjadi mahal, jauh lebih mahal dibandingkan harga jual kendaraan niaga yang dibebaskan dari kewajiban membayar PPn, bea masuk, dan PPn impor.
Akibat kenaikan harga jual tersebut, banyak konsumen yang beralih dari sedan ke kendaraan niaga. Penjualan mobil sedan dan station wagon pun menurun sehingga jumlah produksi sedan menurun drastis.
Pada 1977, produksi sedan turun 50 persen menjadi 13.199 unit dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan produksi kendaraan niaga yang mencakup pikap, truk, bus, dan jip justru naik sekitar 51 persen menjadi 71.715 unit.