Bina Marga Bangun Sejarah Pembangunan Tol Di Indonesia
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Setelah 1966, pemerintah menaruh perhatian besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial. Perekonomian beralih kepada sistem terbuka.
Rezim orde lama telah digantikan oleh orde baru. Keterbukaan sistem perekonomian tersebut kemudian berlanjut pada dasawarsa 1970- an, di mana rencana strategi dan kebijakan ekonomi dirumuskan dengan semangat tinggal landas. Hal itu tergambar jelas dalam REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Pada dekade berikutnya, ekonomi Indonesia mengalami perubahan struktur dari negara agraris ke negara semi industri. Akibatnya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, perubahan teknologi dan kebijakan industrialisasi. Sejak saat itulah pertumbuhan kota-kota nusantara cenderung meningkat.
Perkembangan ini terutama digunakan pada kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Dengan adanya perkembangan tersebut, kegiatan masyarakat di bidang ekonomi dan sosial pun semakin meningkat. Mobilitas penduduk juga mengalami percepatan.
Saat itulah muncul titik-titik kepadatan lalu-lintas. Masyarakat mulai menyadari bahwa hal tersebut menjadi hambatan tersendiri di bidang transportasi secara umum. Volume lalu-lintas di Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan kendaraan, tetapi dipengaruhi pula oleh tingkat kegiatan masyarakatnya terutama aktivitas yang berhubungan dengan perekonomian secara umum.
Perekonomian yang terus bertumbuh sangat memerlukan sarana dan prasarana infrastruktur jalan. Besarnya arus lalu-lintas di pusat kota dan wilayah sekitarnya ternyata mengakibatkan berbaurnya berbagai macam fungsi jalan. Jalan arteri yang seyogyanya digunakan untuk jarak jauh dan telah bercampur fungsinya, baik dengan jalan kolektor maupun jalan lokal pada ruas-ruas jalan yang padat di dalam kota.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan cukup besar. Kepadatan di jalan tentu saja dapat mengakibatkan biaya operasi kendaraan (khususnya BBM dan suku cadang) menjadi sangat tinggi. Hal itu tentunya akan menghambat terwujudnya pemerataan pembangunan serta hasil pembangunan itu sendiri.
Pemerintah mulai berpikir bahwa keberadaan prasarana jalan yang benar-benar sesuai dengan fungsinya sudah sangat diperlukan. Hal ini sangat menunjang pembangunan ekonomi.
Memperturut Keadaan
Keadaan seperti itulah yang mendasari pertimbangan ekonomi untuk membangun jalan-jalan arteri bertipe bebas hambatan dan berstandar tinggi yang menghubungkan Jakarta dengan wilayah sekitarnya (jalan tol). Di Indonesia, jalan bebas hambatan adalah sinonim untuk jalan tol.
Saat itu pemerintah melakukan berbagai studi yang mendalam untuk mengkaji rencana pembangunan jalan tol. Hasilnya diputuskan agar pembangunan jalan bebas hambatan itu dilaksanakan antara Jakarta-Bogor-Ciawi.
Pemerintah memiliki alasan tersendiri kenapa memilih lokasi Jakarta-Bogor-Ciawi, dalam kajian ini jalan tol akan difungsikan sebagai alternatif jalan lama yang sudah padat. Bina Marga sebagai pelaksana tanggung jawab pemerintah dalam proyek pembangunan tersebut, saat itu dipimpin oleh Ir. Hendro Mulyono. Sejak awal pemerintah sebenarnya sudah merencanakan bahwa proyek tersebut akan dilaksanakan dengan pola swakelola.
Di sisi lain pada saat yang bersamaan, sejalan dengan kebutuhan semen yang meningkat pesat di daerah Cibinong akan dibangun sebuah pabrik semen. Investornya berasal dari Amerika Serikat, yaitu Kaiser Cement.
Lokasi pabrik yang direncanakan itu cukup jauh, letaknya dari jalan arteri yang telah ada. Maka, investor meminta agar pemerintah Indonesia menyediakan akses yang memadai, guna menyalurkan produksi mereka. Bina Marga sebagai pelaksana tugas pemerintah dalam proyek ini, segera merencanakan akses penghubung antara lokasi pabrik semen tersebut dengan Citeureup dan Cibinong (Jalan Raya Jakarta-Bogor). Akses tersebut sangat membantu kegiatan dan distribusi kendaraan perusahaan.
Pada 1973 diselenggarakan Pelelangan Internasional (International Competitive Bidding) yang dilakukan dengan proses pra kualifikasi kontraktor dan konsultan supervisi. Hyundai Construction Co. dari Korea Selatan dipercaya sebagai kontraktor yang membangun jalan arteri Jagorawi, sedangkan Ammann-Whitney & Trans-Asia Engineering Associates Inc dari Amerika Serikat dipilih sebagai konsultan supervisi.
Sebuah Permulaan
Pada 1974 pelaksanaan pembangunan jalan tersebut dimulai. Pembangunan jalan tersebut telah dapat diselesaikan sampai Citeureup, Cibinong, sepanjang 27 km pada tahun 1978.
Sebelum jalan baru tersebut dibuka, timbul ide jalan tersebut akan dioperasikan dengan sistem Tol. Ide ini datang dari pemerintah, yaitu Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Dr. Ir. Poernomosidi Hadjisarosa, Dirjen Bina Marga).
Pelaksanaan pekerjaan Konstruksi dan Supervisi Pekerjaan dilaksanakan dari Tahun 1974-1978. Selama pelaksanaan pembangunan proyek Jagorawi, Ditjen Bina Marga mempunyai gagasan untuk menerapkan sistem jalan tol di Indonesia, maka dari itu tersebut Ditjen Bina Marga mengadakan pendekatan kepada Konsultan Arge Becker-Intertraffic dari Jerman Barat yang sedang melakukan Jakarta Metropolitan Area Transportation Study (JMATS).
Pada tahap selanjutnya, setelah dibangun jalan arteri Jagorawi. Untuk mewujudkan gagasan sistem tol yang terintegrasi, mulailah dilakukan berbagai persiapan. Langkah-langkah tersebut di antaranya adalah studi Jakarta-West Java Tollway System pada tahun 1975-1976, yang dilaksanakan oleh konsultan Arge Intertraffic-Lenz Consult dan Jakarta Metropolitan Area Transportation Study oleh Arge Becker-Intertraffic dari Jerman Barat pada tahun sebelumnya.
Studi Jakarta-West Java Tollway System menetapkan perencanaan jalan arteri tol di DKI Jakarta dan sekitarnya dalam dua sistem jaringan.
Selain mematangkan perencanaan sistem tol secara terintegrasi, termasuk langkah-langkah penyempurnaan menjadikan jalan arteri Jagorawi, pemerintah menugaskan beberapa pejabat departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) untuk mempelajari sistem tol di berbagai negara.
Pada bulan Maret 1976, Ir. Panjaitan, Ir. Sunaryo Sumardji, dan Ir. Subandi berangkat untuk mempelajari pengelolaan jalan tol di negara-negara Asia, antara lain; di Hongkong, Korea Selatan, Taiwan dan Jepang. Kemudian pada bulan Juni 1976, Ir. Suryatin Sastromidjojo, Ir. Joewono Kolopaking dan Ir. Isbandi mempelajari pengelolaan jalan tol di Spanyol, Perancis dan Italia.