Industri Komponen Otomotif Perlu Hadapi Beberapa Tantangan
INFRASTRUKTUR.CO.ID,JAKARTA: Hingga kini, nasib industri komponen otomotif masih sepenuhnya tergantung pada importasi bahan baku.
Material seperti baja, karet, plastik, hingga aluminium yang sepadan dengan spesifikasi penggunaan di sektor otomotif belum dapat dicukupi oleh produsen lokal. Dengan begitu, industri komponen inipun masih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang.
Selain itu, guna menjawab kebutuhan pasar domestik, hingga kini terdapat rivalitas dengan adanya importasi komponen dari luar negeri. Setidaknya, untuk impor komponen otomotif, sebagaimana diakui GIAMM, masih terdapat defisit yang artinya daya saing produsen dalam negeri masih kalah.
Penyebab utama dari kondisi tersebut, menurut GIAMM, diperkirakan karena adanya kebijakan pengenaan BM anti-dumping safeguard yang tinggi pada bahan baku, walaupun barangnya belum dapat diproduksi di dalam negeri. Ini menyebabkan terjadi deindustrialisasi karena produsen mobil lebih suka mendatangkan subkomponen dari negara tetangga intra-Asean sehubungan dengan adanya skema FTA-Asean yang menerapkan tarif bea masuk 0%.
Menghadapi Fluktasi Pasar
Peningkatan kemampuan produksi sejumlah komponen utama, khususnya yang didukung penjualan produk di pasar lokal dengan volume besar, tentu meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sayangnya, akibat penerapan peraturan ketenagakerjaan yang kaku, menurut Hadi mengakibatkan perusahaan cenderung mengambil pekerja kontrak untuk menghadapi fluktasi pasar.
Contoh pendalaman lokalisasi untuk kendaraan niaga relatif statis dan berjalan di tempat atau hanya di level perakitan, sedangkan untuk komponen engine/body, karena menggunakan skema IKD, kurang memberikan manfaat nilai tambah selain volume produksi yang terbatas.
Sementara untuk lokalisasi program KBH2 atau LCGC, mempunyai nilai tambah yang baik. Hanya sayang, volume pasar produk tersebut belum optimal. Masih di bawah perkiraan awal yang sebesar 300.000 unit per tahun akibat inkonsistensi kebijakan.
Misalnya, komponen yang dilokalkan pada tahun kelima, terkesan bahwa pencapaian tersebut kurang dihargai karena menganggap program telah selesai, sedangkan industri berperan untuk jangka Panjang. Akibatnya, investor yang serius akan berpikir untuk memilih negara lain sebagai lokasi penanaman modal.
Produk Memuaskan
Umumnya, produk yang dihasilkan anggota GIAMM cukup baik karena prinsip Quality, Cost Development, and Management/QCDM dari produsen komponen asli (original equipment for manufacturers/OEM) harus dipenuhi jika ingin menjadi pemasok. OEM tentunya akan tetap menjalankan prinsip QCDM secara konsisten jika ingin menjadi pemasok yang berkesinambungan.
Kebijakan OEM kadang-kadang memang menyulitkan karena menerapkan praktik multisourcing dari pelbagai sumber sehingga volume produksi relatif kecil. Pada akhirnya, tantangan untuk memasok komponen oleh anggota GIAMM tak lain adalah meningkatkan daya saing, terutama menghadapi supply dari Asean maupun India/China terutama untuk OEM.
Lebih jauh, seperti diungkapkan Hamdhani Dzulkarnaen selaku Ketua GIAMM, untuk mengikuti tren dan inovasi produk otomotif, maka kegiatan litbang/R&D bagi produsen komponen mutlak dilakukan. Namun, hal ini merupakan tantangan yang berat, karena harus mempunyai reputasi di mata agen pemegang merk/APM.
Terutama dalam memberikan alternatif komponen yang lebih baik dan cost benefit lainnya. Di lain sisi, tarif 300% tax deduction saat ini hanya diberikan jika korporasi yang bersangkutan beroleh laba, padahal kegiatan R&D ini harus dijalankan untuk hidup-matinya perusahaan.
Indonesia Mampu Bersaing
Indonesia, ungkap Ketua GIAMM, dapat menyusul Thailand ataupun Jepang jika dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas perusahaan secara terus-menerus. Terutama bila para penyusun kebijakan memasukkan unsur waktu dan pasar dengan sifat-sifat dan keunikan industri komponen kedalam berbagai kebijakan yang dibuat dan tidak boleh dikesampingkan perlunya konsistensi kebijakan, agar tidak berubah sewaktu-waktu.
Padahal, kata Hamdhani yang juga menjabat Presiden Direktur Astra Otoparts, untuk menangani produksi sebenarnya relatif mudah walaupun perlu perjuangan, tetapi membuat konsumen menerima dan mau membeli itu sangat krusial.
Dari sisi investasi, lanjutnya, para pemain industri otomotif nasional enggan bertindak agresif. “Mayoritas teknologi produksi dan pengembangan produk juga jauh tertinggal. Hanya pemain besar seperti Astra Otoparts yang dapat mengimbangi kemajuan teknologi mutakhir dengan mendirikan Engineering Development Center, yang berusaha meningkatkan kemampuan kami dibidang product dan process.”
Faktor lain yang senantiasa merintangi industri ini secara umum adalah tingkat produktivitas dan upah tenaga kerja. Upah buruh di Indonesia dinilai memiliki potensi meningkat signifikan setiap tahun, dimulai dari 2010, tanpa diimbangi oleh peningkatan produktivitas.
Kenaikan upah buruh ini tidak dapat diserap oleh customer, dengan alasan OEM juga mengalami hal serupa, sehingga pembuat komponen harus menyiasatinya dengan melakukan cost reduction hingga automation.
EV Lengserkan Mobil ICE
Seiring perkembangan otomotif dunia yang mengarah kepada EV atau mobil listrik. Tantangan berat dihadapi industri komponen di tengah kendala yang mendera saat ini. Pada dasarnya, Hamdhani yang mewakili GIAMM, mengakui EV merupakan keniscayaan yang kelak menggeser populasi mobil bermesin konvensional atau ICE, walaupun masih akan berlangsung beberapa dekade ke depan.
Namun demikian, GIAMM melihat bahwa para pelaku usaha bidang komponen otomotif harus memiliki waktu yang cukup untuk menyesuaikan produksi dan teknologi masa depan tersebut. Karena itu, Hamdhani menyimpulkan, bahwa pemerintah harus memiliki strategi yang jelas termasuk pentahapan menuju industrialisasi EV.
EV memang masih dalam tahap awal pengembangan terus menerus agar dapat menyaingi kompetitif ICE. Di lain sisi, Indonesia memiliki peluang besar menjadi salah satu mata rantai bisnis EV. Dengan kepemilikan cadangan nikel terbesar di dunia sebagai bahan utama pembuatan baterai, pengolangan kobalt dan mangan.
Era EV akan menggusur sedikitnya 40% produk komponen otomotif konvensional. Komponen yang tak lagi dipakai tersebut berkaitan dengan teknologi mesin ICE. Komponen tersebut seperti gearbox, clutch hingga accu atau sekitar 4.000 jenis komponen.
Sebaliknya, EV pun memunculkan kebutuhan komponen baru yang berjumlah sekitar 2.000 jenis komponen seperti charger, battery pack, dan powertrain electric motor. Karena itu, industri komponen inipun harus segera mengantisipasi pergeseran tersebut.
Perubahan ini harus disikapi dengan kerja sama yang baik di antara semua pihak guna menyusun langkah bertahap ke arah EV. Pemerintah bersama industri dapat memulainya dengan menciptakan peta jalan/roadmap bagi konversi produksi dan transformasi lanskap industri otomotif ke depan.