Pengembangan Kendaraan Listrik, Tantangan Ramah Lingkungan di Era NEV
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Menurut analisis global, pada tahun 2040 diperkirakan akan terjadi peningkatan volume penjualan produk otomotif dunia menjadi 100 juta unit.
Mengalami peningkatan dari 80 juta unit pada tahun 2015, Hal ini memicu meningkatnya penetrasi pasar kendaraan listrik. Pada tahun 2015 kendaraan listrik masih menjadi minoritas. Tapi diprediksikan pada tahun 2040 volume penjualan kendaraan listrik secara global diperkirakan mencapai 56 juta unit.
Tren global ini juga mulai terasa di Indonesia. Sejak 2019, beberapa pabrikan otomotif di Indonesia telah memperkenalkan jajaran model produk yang sejalan dengan teknologi elektrik.
UBAH INDUSTRI OTOMOTIF
Sebut saja Hyundai Motors, pabrikan asal Korea Selatan ini bahkan memboyong produk BEV untuk segmen penumpang seperti Kona dan Ionic. Keduanya telah dipasarkan di Tanah Air sekaligus mampu mengundang perhatian publik.
Selain kendaraan listrik, kendaraan hibrida yang menggunakan teknologi listrik dan bahan bakar konvensional juga semakin populer. Publik tidak hanya mengenal Toyota Prius sebagai kendaraan hibrida, tetapi juga Mitsubishi Outlander PHEV, Toyota C-HR, Toyota Corolla Cross Hybrid, dan Nissan Kicks e-Power.
RAMAH LINGKUNGAN
Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia meluncurkan paket kebijakan industri kendaraan listrik dan rendah emisi yang disambut dengan positif oleh pabrikan.
Meskipun masih dalam tahap awal, Indonesia telah melangkah lebih maju dalam menyongsong era industri otomotif yang lebih ramah lingkungan.
Di lingkungan global, pengembangan kendaraan ramah lingkungan, termasuk kendaraan listrik dan kendaraan pengonsumsi energi alternatif non-fosil lainnya (new energy vehicles/NEV), masih terus dikembangkan. Meskipun pabrikan kendaraan listrik secara rutin meluncurkan model baru, produsen kendaraan NEV dituntut untuk menemukan sumber mineral yang lebih efisien dan melimpah. Hal tersebut dilakukan untuk memangkas ongkos produksi.
Isu utama dalam pengembangan kendaraan NEV adalah pasokan mineral utama untuk pembuatan baterai seperti nikel, kobalt, mangan, dan litium. Inovasi kendaraan listrik yang terus berkembang sejak era hibrida hingga tahap perancangan baterai berbasis litium dapat dinilai hampir “matang”.
Baterai litium dianggap sebagai teknologi catu daya yang paling efisien dan efektif. Baterai litium memiliki tingkat densitas tinggi, usia pakai yang panjang, proses pengisian daya singkat, dan relatif sangat aman. Namun, harga baterai kendaraan masih relatif mahal, karena kontribusi biaya produksi baterai mencapai sekitar 35% dari total biaya produksi mobil listrik.