Buku Terbaru Lahyanto Nadie, Menemukan Kembali M. Rochjani Soe’oed
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Menulis biografi merupakan proses menemukan kembali (reinventing). Menemukan kembali sosok, karakter, bahkan pemikiran – baik dia yang masih hidup maupun mereka yang telah lama pergi mendahului.
Dalam proses itu, kadang ditemui hal-hal di luar dugaan. Tak seperti yang diharapkan, atau malah lebih indah dari harapan. Sedih, senyum, kaget, dan kecewa campur baur jadi satu. Kala menulis tokoh yang telah lama pergi, penelusuran yang dilakukan bak memasuki labirin penuh misteri. Apalagi rahasia yang bakal ditemukan? Terlebih jika selama ini sang tokoh tak banyak diceritakan orang.
Mestinya suasana seperti itu jualah yang dirasakan duo jurnalis senior Lahyanto Nadie dan Zainal Aripin, saat menggarap biografi tokoh Betawi pencetus Sumpah Pemuda dari Pemuda Kaoem Betawi, M. Rochjani Soe’oed. Buku biografi karya mereka diluncurkan kemarin, 28 Oktober 2024, persis di Hari Sumpah Pemuda, bertajuk M Rohjani Soe’oed, Dari Betawi Untuk Indonesia.
JADI ‘BINTANG TAMU’
Saya sempat menjadi “bintang tamu” yang menemani bang Lay dan bang Aripin, saat mengunjungi bekas rumah mendiang Rochjani Soe’oed di kawasan Kepu, Kemayoran, Jakarta Pusat. Hingga menelusuri jejak Rochjani di Pengadilan Negeri Purwakarta, tempat beliau pernah bertugas sebagai hakim. Rochjani sendiri lahir di Tanah Abang tahun 1906, tamat sekolah hukum pada 1927, pindah ke rumah mertuanya di Kemayoran, dan meninggal pada tahun 1977.
Langit cerah serasa mendadak mendung, saat saya tiba di bekas tempat tinggal Rochjani di Kemayoran. Rumah itu sama sekali tidak menggambarkan bekas rumah seorang pejabat dan pendekar hukum di zamannya. Pun bukan gambaran rumah seorang dengan nama besar: Pembantu V Panitia Kongres Pemuda II. Di kepanitiaan itu, Rochjani berdampingan dengan tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Katja Soengkana, J. Leimena, dan banyak lagi.
RUMAH TAK TERURUS
Terkesan tak terurus, rumah satu lantai yang terdiri atas ruang tamu, dua kamar tidur, ruang makan, dan dapur itu terletak di dalam gang. Interior dan eksteriornya sederhana khas rumah tahun ‘70-an, sangat sederhana bahkan jika dibandingkan rumah-rumah di sekitarnya. Temboknya masih kokoh, tapi agak kotor. Perabotan lawas masih tampak di sejumlah sudut dengan aroma khasnya. Di rumah inilah Rochjani menjalani keseharian, usai menggelontorkan Sumpah Pemuda, hingga menjadi pendekar hukum di era sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Minimnya informasi tentang kehidupan Rochjani membuat tokoh ini tak banyak dibicarakan secara detail, baik oleh orang Betawi maupun bukan Betawi. Meski namanya selama puluhan tahun harum dan disebut-sebut di setiap peringatan Hari Sumpah Pemuda. Padahal, seperti dibilang Prof Yasmine Shahab di peluncuran buku, Rochjani adalah elite Betawi. Dia bersekolah hukum, bergaul dengan para pemuda pergerakan, memiliki kesadaran persatuan Indonesia, dan setelah itu menjadi hakim yang berintegritas (pernah melempar amplop yang disodorkan orang yang hendak menyuapnya), tentu karena Rochjani punya privelege dan kesadaran elite yang tidak diragukan lagi.
Bagi saya pribadi, yang sedikit banyak pernah mendengar cerita tentang beliau langsung dari kerabat dekatnya, Rochjani adalah salah satu ikon tokoh Betawi. Tiap masa dan peristiwa ada tokohnya, tiap tokoh ada masa dan peristiwa yang membuatnya sangat berharga. Rochjani ikonik dan sejajar dengan tokoh-tokoh besar Betawi lain seperti Ismail Marzuki, Husni Thamrin, Mahbub Djunaidi, dan banyak lagi. Problemnya, ikon tokoh Betawi satu ini tak banyak diketahui kiprahnya, selain sebagai hakim dan salah satu pencetus Sumpah Pemuda 1928.
MENEMUKAN KEMBALI
Buku Rochjani Soe’oed, Dari Betawi Untuk Indonesia bak menemukan kembali sosok, karakter, dan pemikiran Rochjani yang selama ini tak terdeteksi. Saya belum bisa cerita banyak soal isi buku ini, karena belum membaca secara utuh. Namun orang Betawi dan mereka yang ingin mengetahui jalan hidup dan kisah di balik sang pencetus Sumpah Pemuda yang selama ini diselubungi misteri, wajib membaca buku ini.
Rochjani Soe’oed 96 tahun lalu saat Sumpah Pemuda berkumandang, adalah satu dari sedikit tokoh Betawi berpendidikan Belanda – saat itu dicap sekolah kafir oleh orang Betawi. Sosoknya ikonik dalam arti tersurat maupun tersirat. Dia Belanda, Betawi, dan Indonesia sekaligus dalam kadar tertentu. Memahami Rochjani, menghayati peran dan jasanya, bak menemukan kembali nilai-nilai yang orang Betawi elite punyai dulu. Kita puluhan tahun belajar dan bertahan dengan nilai-nilai itu tanpa menyadarinya, sehingga menjadi orang Betawi yang kuat kiwari.
Harapan saya, semoga reinventing Rochjani ini bisa diikuti dengan penemuan-penemuan ikon tokoh Betawi lainnya yang dapat dituruntemurunkan kisahnya ke anak cucu. Sehingga generasi muda Betawi dapat belajar nilai-nilai kearifan dan kecerdasan lokal secara ajeg langsung dari teladan para pendahulunya.
Ditulis oleh Muhammad Sulhi Rawi alias Bang Icul, Dewan Penasihat Forum Jurnalis Betawi