Inkonsistensi Akademisi: Dari Integritas Hingga Gejala Post Power Syndrome di Dunia Pendidikan*
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Inkonsistensi di kalangan akademisi adalah isu yang sering kali mencuat dalam dunia pendidikan dan riset. Para akademisi seharusnya menjadi teladan dalam bersikap objektif, jujur, dan konsisten terhadap nilai-nilai keilmuan serta etika akademis.
Namun, tidak jarang kita menemukan beberapa akademisi yang kerap berubah sikap atau tidak konsisten dalam prinsip yang mereka anut, baik dalam pandangan ilmiah, kebijakan, maupun sikap pribadi mereka. Inkonsistensi ini bisa berdampak buruk pada kredibilitas mereka, serta menimbulkan keraguan di mata publik terhadap integritas dunia pendidikan.
Gejala inkonsistensi akademis dapat muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, ada akademisi yang di satu kesempatan mendukung kebijakan tertentu, tetapi kemudian mengkritiknya dengan keras ketika berada di situasi berbeda.
Hal ini sering dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau tekanan eksternal, sehingga pandangan atau sikap mereka cenderung berubah tergantung pada lingkungan atau audiens yang dihadapi.
Selain itu, beberapa akademisi mungkin menonjolkan gagasan tertentu di dalam kelas atau publikasi, namun melakukan hal yang bertentangan dengan gagasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau interaksi sosial.
Penyebab inkonsistensi ini beragam, mulai dari tekanan sosial dan politik hingga ambisi pribadi. Dalam beberapa kasus, akademisi mungkin merasa perlu menyesuaikan sikap atau pandangan mereka untuk menjaga posisi, memenuhi harapan publik, atau menghindari konflik dengan pihak berwenang.
Di sisi lain, tekanan dari lembaga tempat mereka bekerja atau lingkungan akademis yang berkompetisi ketat bisa membuat mereka terjebak dalam inkonsistensi. Ambisi untuk meraih pengakuan atau kesempatan karier tertentu juga dapat mendorong akademisi untuk berkompromi dengan prinsip mereka.
Inkonsistensi pada akademisi menciptakan preseden buruk, terutama bagi mahasiswa yang melihat mereka sebagai panutan. Ketika seorang dosen atau peneliti kerap berubah sikap sesuai dengan kepentingan atau kondisi, mahasiswa mungkin menjadi skeptis terhadap nilai kejujuran akademik yang diajarkan.
Inkonsistensi ini juga berpotensi merusak reputasi lembaga pendidikan tempat mereka bekerja, karena publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap integritas lembaga tersebut jika akademisinya tidak konsisten.
Kritik terhadap akademisi yang inkonsisten ini tidak hanya datang dari mahasiswa atau rekan sejawat, tetapi juga dari publik yang menuntut keterbukaan dan keteguhan dalam prinsip.
Ketika seorang akademisi menunjukkan sikap yang bertolak belakang dengan nilai-nilai akademis, kritik akan muncul, baik di media sosial, forum diskusi, maupun dalam bentuk tanggapan langsung dari pihak yang merasa dirugikan.
Tuntutan untuk mempertahankan integritas semakin tinggi di era digital saat ini, di mana informasi dapat dengan cepat tersebar dan membentuk opini publik.
Untuk menanggulangi inkonsistensi akademis, perlu ada pendekatan yang lebih sistematis. Pertama, institusi pendidikan harus memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya integritas dan konsistensi dalam menjalani peran sebagai akademisi.
Pelatihan etika dan kode etik yang lebih ketat bisa menjadi langkah awal untuk menjaga agar para akademisi memahami dan menghargai nilai-nilai konsistensi dalam pekerjaan mereka.
Kedua, pengawasan dan evaluasi dari institusi terhadap perilaku dan pandangan para akademisinya juga penting untuk mencegah munculnya inkonsistensi. Evaluasi berkala dan transparan dapat menjadi alat yang efektif untuk menjaga agar akademisi tetap memegang teguh prinsip yang mereka ajarkan. I
nstitusi juga bisa mempromosikan lingkungan yang mendukung keterbukaan dan komunikasi yang sehat, sehingga akademisi tidak merasa tertekan untuk mengubah sikap atau pandangan mereka.
Ketiga, di tingkat individu, para akademisi perlu memiliki kesadaran diri dan komitmen yang kuat untuk menjaga integritas pribadi. Refleksi dan evaluasi diri secara berkala dapat membantu mereka memahami apakah mereka masih konsisten dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Upaya menjaga integritas ini penting bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk membangun kepercayaan dalam masyarakat akademik dan publik.
Inkonsistensi pada akademisi adalah isu serius yang memerlukan perhatian lebih, mengingat pentingnya peran akademisi sebagai pilar intelektual di masyarakat. Dengan mengatasi inkonsistensi ini, para akademisi dapat menjadi teladan yang lebih baik, memperkuat kredibilitas pendidikan tinggi, serta membangun kepercayaan publik terhadap dunia akademis. Keberanian untuk mempertahankan prinsip dan sikap yang konsisten akan menjadi modal utama untuk membangun masa depan yang lebih baik di ranah pendidikan.
Gejala Post Power Syndrome di Kalangan Akademisi
Post power syndrome (PPS) adalah fenomena psikologis yang sering dialami oleh seseorang yang kehilangan jabatan atau peran berpengaruh, termasuk di lingkungan akademis. Bagi kalangan akademisi, PPS menjadi masalah nyata yang memengaruhi kesehatan mental dan emosional, terutama ketika mereka memasuki masa pensiun atau berakhir jabatan strukturalnya.
Akademisi senior, seperti profesor, dosen senior, atau mereka yang pernah menjabat sebagai ketua senat, dekan, atau rektor, sering kali merasakan kehilangan yang mendalam, yang bisa berdampak pada keseimbangan psikologis mereka.
Karier panjang di dunia pendidikan sering kali menjadi identitas utama bagi para akademisi. Dalam perannya, seorang ketua senat, misalnya, memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan-keputusan akademik di kampus.
Jabatan ketua senat tidak hanya memberi otoritas, tetapi juga kehormatan dan pengakuan dari rekan sejawat serta mahasiswa. Ketika masa jabatan ini berakhir, beberapa orang merasa kehilangan posisi istimewa tersebut, hingga menimbulkan perasaan hampa, cemas, atau bahkan kehilangan makna hidup—gejala khas dari PPS.
PPS di kalangan akademisi juga sering kali muncul karena hilangnya kendali dan prestise yang mereka nikmati selama menjabat. Seorang ketua senat yang terbiasa dengan tanggung jawab besar dalam pengambilan keputusan strategis akan merasa cemas atau rendah diri saat kembali ke peran yang lebih terbatas.
Perubahan ini tidak hanya memengaruhi mereka secara pribadi tetapi juga bisa berpengaruh pada hubungan mereka dengan kolega dan penerus jabatan mereka.
Gejala-gejala PPS di kalangan akademisi meliputi perasaan tidak diakui, kecemasan berlebih, dan kebutuhan untuk tetap aktif atau terlibat, meski peran mereka sudah berakhir.
Misalnya, mantan ketua senat yang masih berusaha mempertahankan pengaruhnya melalui kegiatan di kampus atau organisasi alumni, baik dengan menghadiri rapat atau memberikan opini terkait keputusan kampus. Ini menunjukkan kebutuhan untuk tetap eksis dalam lingkup yang dulu menjadi tempat mereka berkuasa.
Dampak PPS ini tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan tetapi juga oleh lingkungan kampus secara keseluruhan. Sebagai contoh, mantan ketua senat yang mengalami PPS mungkin merasa tidak puas dengan kepemimpinan penerusnya dan terus membandingkan atau mempertahankan metode kerja lamanya. Konflik ini sering kali membuat suasana kerja menjadi kurang kondusif dan memengaruhi keharmonisan di lingkungan akademik.
Tidak hanya ketua senat, akademisi lain yang memegang jabatan struktural, seperti rektor, dekan, atau ketua jurusan, juga rentan mengalami PPS. Setelah masa jabatan berakhir, banyak dari mereka merasa sulit kembali ke posisi “biasa” sebagai dosen atau peneliti tanpa otoritas tambahan. Situasi ini sering kali membuat mereka merasa kehilangan makna hidup dan kesulitan beradaptasi dengan ritme kerja yang baru.
Untuk mengatasi PPS, penting bagi akademisi untuk mempersiapkan diri menghadapi masa purna tugas atau perubahan peran sejak dini. Membangun aktivitas alternatif atau hobi yang memberi makna di luar dunia kampus bisa menjadi salah satu solusinya.
Menulis buku, bergabung dalam organisasi sosial, atau mendalami hobi baru bisa membantu para akademisi menemukan kepuasan yang berbeda dan mengalihkan fokus dari kehilangan jabatan.
Dukungan dari pihak kampus juga dapat menjadi faktor penting dalam membantu transisi. Kampus bisa menyediakan program pendampingan, seminar, atau forum diskusi yang membantu para akademisi senior memahami pentingnya adaptasi dan bagaimana menghadapi PPS. Melalui kegiatan ini, mereka bisa bertukar pengalaman dan memperoleh dukungan emosional dari rekan-rekan yang mengalami hal serupa.
Pada akhirnya, jabatan seperti ketua senat atau posisi akademis lainnya hanyalah bagian dari perjalanan hidup. Identitas seorang akademisi tidak hanya terletak pada posisi atau jabatan yang mereka pegang, tetapi juga pada kontribusi yang bisa mereka berikan dalam berbagai bentuk.
Dengan menerima perubahan dan menemukan makna baru dalam hidup, para akademisi dapat menjalani masa transisi dengan lebih baik dan tetap merasa berharga, meskipun tidak lagi menduduki posisi formal yang sebelumnya mereka miliki.
*) Opini ini ditulis oleh Rizky S. (Pengamat Sosial)