Tak Cukup Perang Senjata, Dagang Pun Jadi Ajang Perang
INDOWORK.ID, JAKARTA: Bagi AS, perang adalah bisnis. Tak cukup perang senjata, dagang pun jadi ajang perang.
Gerak harga emas berkorelasi negatif dengan porsi peran USD sebagai mata uang devisa. Pada 2010 -2011, peran USD sebagai mata uang devisa global masih berkisar antara 66 -67%. Peran itu selama satu dekade lebih telah turun hampir 10 angka persen. Kini sudah jatuh di bawah 60%. Perkiraan saya sekitar 57 – 58%.
Selama periode yang sama, harga emas bergerak ke arah berlawanan. Pada 2009, harga emas masih berkisar di angka USD 700 – 800 per ons troy. Kini berada di atas USD 2,600
Indikator itu memperlihatkan bahwa dunia secara bersungguh sungguh mengurangi ketergantungan terhadap USD. Dalam bahasa saya, dunia secara sungguh sungguh membebaskan diri dari penjajahan hegemoni USD. Melakukan diverifikasi cadangan devisa dengan menggantikan sebagian dolar denominated assets dengan emas.
AGRESIF BELI EMAS
Tak hanya negara-negara BRICS yang secara terbuka berusaha membebaskan diri dari penjajahan USD, bank sentral Negara “sahabat” AS juga melakukan pembelian emas besar besaran. Sebut misalnya, bank sentral Turki, Italia, Polandia juga mencatat pembelian emas yang agresif.
Penetapan USD sebagai mata uang devisa, sejak 1944, terutama sejak 1971, telah memberikan manfaat ekonomi luar biasa bagi Amerika Serikat atas beban Negara lain, khususnya Negara berkembang.
Coba simak:
Pertama, AS bisa mencetak green back sebanyak yang dia mau dan membeli apa pun yang bisa diperdagangkan di muka bumi, sementara Negara lain, terutama Negara berkembang, – terutama lagi Negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya alam – mati matian berusaha mengekspor apapun untuk mendapatkan USD. Tanpa cadangan USD, Negara tersebut akan terkucil dari aktivitas peradagangan internasional.
Kedua, AS bisa menerbitkan hutang tanpa batas, tanpa khawatir akan mengalami default. Surat utang yang jatuh tempo dibayar dengan penerbitan surat utang baru. Bahkan dengan jumlah yang makin besar dari tahun ke tahun.
Ketiga, devisa yang dihasilkan dengan susah payah, akan dipompakan kembali ke AS dengan membeli surat utang pemerintah Federal. Menyimpan devisa dalam bentuk bank notes oleh bank sentral suatu Negara, tidak menghasilkan apa-apa. Membeli US treasury, walau kadang dengan tingkat bunga yang sangat rendah, tetap merupakan pilihan yang lebih baik.
LAKUKAN SEGALA CARA
Tentu saja pemerintah AS akan melakukan segala cara untuk mempertahankan hegemoni USD sebagai mata uang devisa. Trump, yang sebentar lagi akan dilantik, dengan tegas mengancam Negara BRICS agar tetap setia pada hegemoni USD. Sejauh ini, ancaman itu baru berupa penetapan tarif bea masuk 100% untuk BRICS.
Ekonomi global mengalami set back!
Dalam pandangan saya, ancaman semacam itu sungguh kontra produktif bagi prospek pertumbuhan ekonomi global, termasuk ekonomi AS sendiri. Di dalam negeri AS, barang barang impor akan menjadi sangat mahal. Sektor ritel, sebut misalnya Target, Walmat, Home Depot, yang mayoritas poduk nya berasal dari impor, akan kolaps. Konsumen memikul beban ekstra dengan membayar harga yang lebih tinggi.
China – sasaran tembak utama proteksionistis AS – suka tidak suka, merupakan lokomotif utama pertumbuhan ekonomi global. Sekitar 35% produk manufaktur global diproduksi di China. Dan itu merupakan 20% dari perdagangan produk manufaktur dunia. Kontraksi ekonomi China akan menjadi kontraksi ekonomi global.
PICU RETALIASI
Selain itu, proteksionisme memicu retaliasi. Negara-Negara lain juga akan menaikkan tariff bea masuk, sehingga ekonomi global mengkeret makin kerdil. Belum lagi larangan ekspor untuk produk produk penting.
Dunia sudah merasakan betapa pahit nya rantai pasok yang terputus. Setelah produk pangan dan energi, kini larangan ekspor merambah ke mineral mineral strategis. Rusia mulai melarang ekspor uranium, bahan mentah nuklir. China melarang ekspor gallium dan garanium ke AS. Menghambat laju perkembangan teknologi kecerdasan buatan.
*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Infrastruktur.co.id