Foto: Koleksi Band Seventeen

PPFN Hidup Segan Mati Tak Mau, kini Dipimpin Anak Band

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: “Unyil kucing!”

Setiap kali mendengar fanpare yang khas itu berikut logo PPFN/Pusat Perusahaan Film Negara yang fenomenal, anak-anak dari dekade tahun 1980-an yang akrab dengan TVRI, hingga hari ini, pasti teringat satu kalimat: “Unyil kucing!”

Kalimat tersebut merupakan pembuka dari film boneka “Si Unyil” yang ditayangkan TVRI antara 5 April 1981 dan 21 November 1993 pada setiap Ahad pagi. Di antara kurun waktu itu, karena kalangan anak-anak Nasrani juga ingin menonton tayangan ini, maka diadakan siaran ulang pada Rabu sore, tentunya juga di TVRI, stasiun televisi satu-satunya di Indonesia hingga akhir 1980-an. Si Unyil tidak sendiri. Sempat hadir pula film kartun Si Huma pada 1983.

Tokoh si Unyil dan film boneka Si Unyil memang menjadi ikon PPFN kala itu. Pada awal dekade 1980-an bahkan marak dijual di kakilima pasar-pasar tradisional, kaos oblong ukuran anak-anak bergambar si Unyil dan karakter-karakter lain dari serial itu yang dijual seharga Rp1.000,- untuk tiga piece. Si Unyil dan kawan-kawannya juga hadir dalam bentuk sampul buku tulis, bungkus permen, hingga “gambaran”. Dapat dikatakan bahwa pada dekade 1980-an, tidak ada anak-anak usia TK-SMA yang tidak tahu tokoh rekaan karya Drs. Suyadi alias Raden Soejadi (28 November 1932-30 Oktober 2015) tersebut.

Si Unyil Jadi Manusia

Pada November 2024 bahkan beredar poster film Si Unyil yang ditempelkan tulisan “panjang film 2 jam” dan disebutkan dirilis pada tahun 1980. Kala itu muncul pula film layar lebar Si Unyil Jadi Manusia pada 1981 yang memanfaatkan ketenaran si Unyil (disutradarai Kurnain Suhardiman; berlokasi syuting di Desa Caringin, Kecamatan Cijeruk, Sukabumi). Nama Bambang Utoyo, kelahiran Jakarta, 20 Juni 1975, selaku pengisi suara si Unyil pun melambung. Ia mengisi suara hingga kelas II SMP, karena mengalami perubahan pita suara. Bambang Utoyo kini merupakan alumni IISIP Jakarta, dan tinggal di kompleks Delta Pekayon Jaya, Bekasi.

Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, PPFN memang menjadi perusahaan film ternama papan atas diantara perusahaan-perusahaan film swasta yang kerap menghasilkan film-film berkualitas atau sekedar film kelas hiburan. PT Bola Dunia Film, PT Rapi Film, PT Parkit Film, merupakan perusahaan penghasil film-film hiburan seperti serial Warkop Prambors dan Jaka Sembung. Sedangkan Kanta Indah Film, Prasidi Teta Film, merupakan perusahaan penghasil film-film kelas FFI/Festival Film Indonesia, seperti Doea Tanda Mata, Ibunda, Naga Bonar, dan Tjoet Nja’ Dhien.

Dari PPFN lahir film-film perjuangan seperti Kereta Api Terakhir (Mochtar Soemodimedjo, 1981), Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1982), Film dan Peristiwa/Detik-Detik Proklamasi (Usman Effendy, 1985). Operasi Trisula: Penumpasan Sisa-Sisa PKI di Blitar Selatan (B.Z. Kadaryono, 1987), Djakarta 1966 (Arifin C. Noer, 1989), dan yang paling fenomenal dari sisi pembiayaan, jumlah pemain, dan pemasukan: Sejarah Orde Baru/Pengkhianatan G-30-S/PKI (Arifin C. Noer, 1984).

Terlepas dari PPFN merupakan corong penguasa Orde Baru, namun pada kenyataannya, perusahaan yang dikomandoi G. Dwipayana (12 Desember 1932 – 18 Maret 1990) ini merupakan alat paling ampuh untuk menumbuhkan patriotisme di kalangan anak-anak sejak tingkat TK hingga SMP bahkan SMA dan perguruan tinggi.

Pada masa Orde Baru, penguasa memang menjadikan Departemen Penerangan sebagai corong untuk menyebarkan informasi mengenai program-program pemerintah melalui radio, televisi, film. Film tidak hanya disebarkan melalui bioskop yang ada di kota-kota besar, namun juga diputar di tanah-tanah lapang desa, dusun, kampung, yang hampir bisa dipastikan selalu penuh oleh masyarakat yang haus hiburan. Keadaan tersebut memang sangat berbeda dengan masa sekarang, dimana yang menjadi corong pemerintah adalah orang-orang yang hanya memiliki kapasitas sebagai penghibur.

Kejatuhan Pak Harto atau Jenderal H. Muhammad Soeharto (8 Juni 1921-27 Januari 2008) sebagai pemimpin Orde Baru yang menjadi nukleus negeri ini selama berkuasa antara 1966-1998, juga menjadi awal kejatuhan pamor PPFN. Pembubaran Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid alias Gus Dur (7 September 1940-30 Desember 2009) selaku Presiden ke-4 RI (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), adalah “akhir” dari perjalanan panjang PPFN yang semula adalah perusahaan film bernama JPF/Java Pacific Film, didirikan pada 1934 oleh Albert Balink di Batavia.

Setelah mengalami beberapa pergantian nama, Pada tahun 1988, pemerintah mengubah PPFN menjadi perum Produksi Film Negara (PFN). Pada tahun 2021, Kementerian BUMN mengarahkan PFN menjadi perusahaan pembiayaan perfilman. Menteri BUMN Erick Thohir berharap PFN berkolaborasi dengan para pelaku film Indonesia dalam mengakses pembiayaan dan konten. PFN juga diharapkan bersinergi dengan Telkom Indonesia dalam mengembangkan dan mengelola hak kekayaan intelektual film di Indonesia. Pada Agustus 2023, pemerintah resmi mengubah status PFN menjadi persero dalam rangka persiapan akusisi oleh Danareksa.

PPFN TERPURUK

Keterpurukan PPFN secara kualitas, menjadi semakin jelas dengan diproduksinya film horor berjudul Anak Titipan Setan (Erwin Arnada, PPFN dan Jaman Studio, 2023). Sebuah perusahaan film besar milik negara penghasil film-film fenomenal, kemudian menghasilkan film horor yang buruk secara cerita, judul, dan tampilan, sungguh bukti kemunduran yang nyata, selain film-film lain yang tidak kuat naskahnya: Pelangi di Nusa Laut (1992) dan Kuambil Lagi Hatiku (2019). Sejak film pertama berjudul Pareh (JPF, 1935) hingga Anak Titipan Setan (PFN, 2023), PPFN sudah menghasilkan 51 judul film layar lebar.

Kehancuran PPFN juga diikuti hancurnya fisik bangunan gedung bersejarahnya di sisi Jalan Otista, Jakarta Timur. Banyak pita film, poster film, dan barang-barang aset PPFN yang hancur terkena hujan dan karena tidak terurus. Apakah gedung PPFN telah menjadi bangunan kosong? Ternyata tidak. Di halaman depan sering diadakan acara, mulai dari pentas musik hingga acara ngabuburit.

Semua kegiatan ini ditampilkan pada account media sosial PPFN yang sepi tanggapan, seperti juga alamat e-mail milik PPFN yang tidak menanggapi datangnya surat dari luar karena tidak dikelola secara profesional oleh satu tim khusus, seperti umumnya yang juga terjadi di lembaga pemerintah dan swasta. Minimnya kemampuan SDM di PPFN adalah penyebab utamanya. Jika pekerjaan mudah seperti membaca surat saja tidak dilakukan, bagaimana mungkin mampu melakukan pekerjaan kolektif dalam bentuk membuat film sebagai karya seni-budaya modern paling rumit?

TAK ADA DANA

Iwan Hendry Wardhana

Menurut Iwan Henry Wardhana selaku Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta–belakangan terunkap korupsi Rp150 miliar– pada 2024, ia mendapat jawaban “Kami tidak ada dana.” saat berkunjung ke PPFN untuk membicarakan pembuatan film biopic Ismail Marzuki berdasarkan skenario riset karya Chairil Gibran Ramadhan. Skenario yang memiliki hak hukum dari Rachmi Aziah selaku ahli waris Ismail Marzuki ini direvisi oleh Enison Sinaro (sutradara dan dosen IKJ) dan Laora Arkeman (penulis dan wartawati). Iwan Henry Wardhana bahkan mengaku menyelamatkan beberapa barang yang nyaris rusak milik PFN terkait film.

Pemerintahan Prabowo Subianto yang kini “gencar menghajar” para pelaku korupsi, memang diharapkan melakukan pembenahan bahkan pembersihan pada BUMN, demi pajak rakyat tidak mubazir. Namun langkah mengejutkan dilakukan sang Presiden ke-8 RI: Setelah mengalami mati suri dari memproduksi film (berkualitas), pada 11 Maret 2025 dilantik Riefan Fajarsyah, anggota band Seventeen, sebagai direktur, bersama Arswendi Beningswara Nasution dan Yessy Gusman sebagai komisaris. Selama ini Ifan Seventeen baru tampil sebagai pemain dalam dua film cerita: Sukep the Movie (2019) dan Melukis Harapan di Langit India (2024) dan satu film dokumenter sebagai narasumber, Kemarin (2020). Akankah orang yang minim pengetahuan dan pengalaman di dunia film ini, mampu membuat PFN bangkit dari hidup segan mati tak mau?
Tabe srenta hormat!

*) Ditulis oleh  Chairil Gibran Ramadhan/CGR, wartawan, sastrawan, budayawan Betawi, pemimpin redaksi “Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies”, dan pengelola channel “CGR Plesir”. Ia menulis amatan film dari sisi sejarah dan budaya di Majalah Moviegoers, dan dibukukan dalam “Kembang Kelapa” (2016). 

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Headline