
Ilustrasi pidato Prabowo Subianto di perayaan HUT ke-17 Gerindra. HUMAS INDONESIA/Arfrian R
Masalah Prabowo Bukar Sekadar Komunikasi, Tapi Nalar dan Emosi
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Masalah Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar komunikasi, tapi bisa jadi lebih dari itu: nalar dan emosi.
Tak usahlah memanjangkan lidah untuk menjilat, dengan berkata-kata semanis madu demi memuji orasi presiden.
Bagus bilang bagus. Jelek bilang jelek. Salah bilang salah. Benar bilang benar. Jangan dibikin bengkok sana-sini demi cari muka untuk dapat jabatan.
Tak perlu menambah populasi spesies munafik, korup, dan serakah dalam birokrasi pemerintahan Nusantara. Bangsa ini sudah surplus “komoditas” semacam itu!
Namun, saya tidak setuju dengan kelakuan sejumlah pihak yang menyematkan kata-kata seperti “idixt” dan “tolxl” kepada presiden. Kepada siapa pun, jangan menghina seperti itu. Yang wajar-wajar saja.
LOGIKA TIDAK NYAMBUNG

Prabowo Subianto
Setelah mencermati sejumlah tayangan berita orasi presiden, bagi saya, nyata betul ada masalah logika yang tidak nyambung: struktur berpikir yang acak-acakan, diksi sekenanya, nada bicara yang kurang terjaga, emosi yang tidak tertata…
Kata-kata adalah cermin pikiran. Pikiran kacau, perbuatan pun kacau. Jika pikiran dan perbuatan seorang pemimpin kacau—matilah kita!
Rakyat malu. Asing tertawa mengejek…
Contoh pernyataan: Sarasehan Ekonomi digelar Selasa (8 April 2025). Alasannya berkaitan erat dengan aspek komunikasi (CNBC Indonesia).
Presiden mengakui bahwa komunikasi pemerintahan kurang baik, dan itu adalah tanggung jawabnya.
Kenapa komunikasi kurang baik? Sebab presiden menganut filosofi evidence-based performance. Orang bicara harus ada bukti nyata.
Makanya, presiden hanya melihat empat hal dari orang-orang dekatnya: pengabdian mereka, prestasi mereka, energi mereka, dan niat mereka.
Presiden tidak pernah bertanya—sewaktu menyeleksi mereka—dari partai mana, orang tua Anda siapa, suku Anda apa, agama Anda apa…
Anda mengerti penjelasan itu? Saya tidak!
Niat hati ingin menyelesaikan masalah komunikasi, malah justru menambah persoalan komunikasi.
MENILAI MENTAL GIBRAN

Apa hubungan antara komunikasi yang buruk dan evidence-based performance dengan menilai orang berdasarkan “energinya”? Apakah energi yang dimaksud adalah energi dalam konteks “metafisik perdukunan” atau apa?
Jika bukan dalam konteks perdukunan, apa evidence-based tools yang digunakan untuk mengukur energi?
Coba tunjukkan contoh hasil pengukuran seperti HRV (Heart Rate Variability) untuk mengukur stres dan pemulihan, atau Cognitive Load Test untuk menilai energi mental dan ketajaman berpikir Wakil Presiden Gibran.
Tunjukkan juga hasil tes psikometrik seperti POMS (Profile of Mood States) untuk mengukur energi emosional dan spiritual Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan—yang nyuruh kepala babi busuk yang dikirim ke redaksi Tempo untuk dimasak.

Selama tak ada alat ukur berbasis bukti ilmiah semacam itu, maka sah dan wajar jika ada masyarakat yang menganggap komunikasi pemerintahan sekarang berbasis perdukunan dan energi gaib. Berat!
*) Ditulis oleh Agustinus Edi Kristanto, Bekerja di Digital Literacy Activist & Independent Critic
What is your reaction?
0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly