
Ketika Negara Absen: Siapa yang Berwenang Mewakili Budaya Indonesia?
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Pada peringatan Hari Tari Dunia tahun ini, sebuah acara bertajuk Indonesia World Dance Festival menarik perhatian publik. Uniknya, acara berskala internasional ini bukan diselenggarakan oleh kementerian terkait atau institusi negara, melainkan oleh Gandrung Dance Studio, sebuah kelompok tari independen yang berbasis di Indonesia. Festival ini sukses menghadirkan peserta dari berbagai provinsi bahkan mancanegara, menciptakan gaung besar di media sosial dan memicu antusiasme masyarakat seni. Namun, di balik kegemerlapan itu, tersimpan pertanyaan mendasar: mengapa negara tidak menjadi penyelenggara acara sebesar ini?
Festival ini berlangsung pada Minggu, 11 Mei 2025, dari pukul 07.30 hingga 21.30 WIB, bertempat di GOR & Teater Bulungan – Gelanggang Remaja Jakarta Selatan. Tempat ini menjadi saksi bagaimana ratusan penari dan pegiat seni memeriahkan acara tanpa simbol-simbol kehadiran institusi negara, baik dalam bentuk dukungan logistik, pengakuan resmi, maupun kehadiran perwakilan kebudayaan nasional. Padahal, Indonesia memiliki kementerian, direktorat, lembaga kebudayaan, hingga anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk sektor seni dan budaya.
Jika begitu, ke mana peran pemerintah saat momen strategis ini berlangsung? Mengapa bukan institusi negara yang menjadi wajah utama diplomasi budaya Indonesia di forum internasional yang bahkan dihadiri peserta dari luar negeri?
Pergeseran Representasi Budaya
Ketidakhadiran negara bukan hanya soal absennya simbol pemerintahan di panggung tari. Ini menyentuh isu yang lebih mendalam dan sistemik: pergeseran representasi budaya dari tangan otoritas formal ke aktor-aktor komunitas. Dalam era digital yang penuh visualisasi, persepsi, dan emosi, siapa pun yang berhasil menciptakan narasi kuat dan menggugah di media sosial dapat menjadi representasi sah di mata publik.
Gandrung Dance Studio mengambil alih peran ini dengan penuh percaya diri. Melalui jaringan komunitas, kemampuan produksi visual yang estetik, dan manajemen acara yang tertata rapi, mereka menghadirkan festival yang tidak hanya hidup secara fisik di ruang teater, tetapi juga hidup secara digital di linimasa warganet. Dalam konteks ini, teori post-truth menjadi sangat relevan.
Post-Truth dan Otoritas yang Tergeser
Istilah post-truth menggambarkan situasi di mana fakta objektif tidak lagi menjadi landasan utama dalam membentuk opini publik. Sebaliknya, emosi, persepsi personal, dan citra visual menjadi lebih dominan. Dalam konteks penyelenggaraan festival ini, masyarakat tidak lagi bertanya apakah acara ini resmi, sah, atau dikelola oleh kementerian terkait. Yang penting bagi publik adalah siapa yang tampil, bagaimana dokumentasinya, dan apakah itu viral di media sosial.
Di sinilah letak kegelisahan intelektual kita: legitimasi budaya hari ini tidak lagi dimonopoli oleh negara, tetapi oleh siapa pun yang mampu menguasai persepsi. Gandrung Dance Studio sukses mengisi kekosongan narasi itu dengan cermat. Ketika negara gagal menyusun wacana budaya yang kuat, kelompok komunitas ini justru tampil dominan sebagai penyelenggara sekaligus kurator makna kebudayaan.
Negara yang Mundur, Komunitas yang Maju
Fenomena ini menunjukkan gejala yang dalam istilah sosiolog Antonio Gramsci disebut sebagai hegemoni kultural: dominasi representasi oleh kelompok tertentu melalui konsensus sosial, bukan lewat struktur paksaan formal. Dalam hal ini, komunitas seni berhasil merebut ruang itu karena negara, secara perlahan dan diam-diam, menarik diri dari peran aktifnya.
Mengapa negara tampak pasif? Salah satu jawaban terletak pada kapital sosial. Komunitas seperti Gandrung Dance Studio memiliki jaringan, kredibilitas, dan kekuatan simbolik untuk mengorganisasi acara skala besar tanpa perlu bergantung pada negara. Sementara itu, negara cenderung tersita perhatiannya pada isu-isu makro: infrastruktur, stabilitas politik, dan sebagainya.
Budaya kembali menjadi korban pengabaian struktural
Namun justru di sinilah kita patut waspada. Negara memegang amanat konstitusional untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaan nasional. Ketika negara absen dan menyerahkan tanggung jawab itu tanpa kerangka yang jelas, maka kebingungan publik pun muncul: siapa sebenarnya yang sah mewakili Indonesia dalam forum budaya global?
Ambiguitas Otoritas Budaya
Fenomena ini menciptakan kekaburan antara inisiatif swasta dan legitimasi publik. Apakah acara seperti ini mewakili Indonesia? Apakah pengelolanya memiliki mandat atau hanya memanfaatkan kekosongan untuk membangun citra? Dalam dunia pasca-kebenaran, masyarakat tak lagi peduli soal otoritas formal. Yang mereka lihat adalah siapa yang tampak meyakinkan, emosional, dan memukau secara visual.
Ini bukan salah Gandrung Dance Studio. Mereka justru tampil sebagai agen yang mampu membaca momentum dan menyambut peluang. Yang menjadi pertanyaan adalah: di mana pemerintah saat peluang-peluang representasi budaya itu tersedia?
Menuju Tata Kelola Budaya Baru
Apa yang bisa kita harapkan ke depan? Pertama, negara perlu menyusun ulang kerangka tata kelola kebudayaan berbasis kolaborasi yang terukur. Komunitas seni bisa diberi ruang lebih besar, tetapi tidak boleh dilepaskan tanpa orientasi dan tanggung jawab publik.
Kedua, lembaga kebudayaan pemerintah harus bertransformasi. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan struktur birokrasi dan acara seremonial, tetapi juga harus mampu menciptakan narasi budaya yang resonan di ruang digital. Narasi kebudayaan bukan hanya soal panggung, tapi juga soal persepsi dan komunikasi publik.
Ketiga, penting untuk meningkatkan literasi budaya masyarakat. Kita perlu mengajarkan bahwa tidak semua yang viral itu representatif. Masyarakat harus diajak untuk melihat konteks, otoritas, dan makna di balik sebuah pertunjukan budaya.
Penutup
Indonesia World Dance Festival bukan hanya sebuah festival tari. Ia adalah simbol dari pergeseran kekuasaan budaya: dari negara ke komunitas, dari fakta ke persepsi, dari struktur ke narasi. Jika negara terus absen, maka wajar jika kelak wajah budaya Indonesia lebih ditentukan oleh siapa yang paling viral, bukan siapa yang paling sah.
*) Ditulis oleh Dra. Nursilah, peneliti dan dosen estetika tari Universitas Negeri Jakarta