Soeharto Bapak Pembangunan, Bukan Pahlawan

INDOWORK.ID, JAKARTA: Sebagai reporter, wartawan dan awak media, saya mengalami zaman keemasan di masa pemerintahan Soeharto. Secara bertahap, karir saya menanjak, hingga menjadi pemimpin redaksi – pencapaian puncak karir wartawan.
Saya memulai dari reporter sejak 1983, dimana Soeharto telah dikenal sebagai presiden kita. Dan saat beliau turun, saya sedang berada di balik kemudi mobil – mendengar suara pengunduran dirinya di radio – sembari menantikan KA lewat di dekat stasiun KA Bekasi.
Sejak 21 Mei 1998, Suharto tak lagi jadi presiden RI. Sedangkan saya terus menjadi wartawan dan menerima gaji bulanan dari kantor media dimana saya bekerja, sampai pensiun di usia 60 tahun, pada 20 Maret 2020 lalu
Menjadi wartawan di masa Orde Baru sangat berbeda dengan saat ini. Masa itu, wartawan terseleksi ketat. Ada tes dan psikotes saat masuk.

MANUSIA PILIHAN

Para dosen memberikan pencerahan untuk wartawan

Perusahaan pemilik media juga berbadan hukum dan wajib mengantongi SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan) yang di dikeluarkan Departemen Penerangan (Deppen RI) . Selain itu, setiap gerak penerbitannya diawasi oleh Dirjen Pers dan Grafika.
“Budaya telepon” dan “pra sensor” merupakan hal wajar masa itu, dimana melalui telepon kepada pemimpin redaksi atau yang mewakili, media diminta tidak memuat beria ini dan itu, yang dirasa akan mengguncang stabilitas nasional, memicu keresahan masyakat – menurut versi penguasa
Para wartawannya juga menjalani pelatihan internal dan di luar; ikut seminar, memahami bahasa jurnalistik, kode etik pers, juga harus berorganisasi dan status keanggotaannya melewati jenjang, calon wartawan, wartawan muda, wartawan biasa dan wartawan utama. Lewat uji kompetisi. Saat naik pangkat jadi redaktur, wajib ikut Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) klas 100 jam. Pendeknya, tak sembarang orang bisa jadi wartawan.
Saya, perantau dari desa yang beruntung menjadi reporter, wartawan, meliput berbagai bidang, menjalani ‘rolling’ di berbagai pos penugasan – pada awalnya. Mewawancarai banyak tokoh dan pesohor, selain mengawali dari liputan kriminal dan kepolisian, melihat penjambret digebuhi masa, pembunuh diperiksa, penipu ditangkap, dan menulis sisi lain kehidupan masyarakat bawah sebagai ‘features’. Memotret perjuangan warga jelata di ibukota.
Tentulah, saya pun menikmati kemewahan profesi wartawan dan berkah tugas kewartawanan. Selain dekat dengan pejabat setingkat dirjen bahkan menteri juga bisa merasai terbang jauh, keliling Eropa, Amerika, dan Asia; meliput event event penting di bidang kebudayaan, selain event nasional dan internasional seperti KTT NonBlok di Jakarta.

DIKUASAI REZIM MILITER

Pada zaman Orde Baru, khususnya pada 1983-1998 saya menyaksikan bagaimana rasanya hidup sebagai warga negara dan jurnalis di negeri yang dikuasai rezim militer. Banyak penangkapan dilakukan oleh aparat Koramil, Kodim dan Kodam, selain Laksus dan Laksusda, lembaga ekstra judisial yang berhak menangkap siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, dan diapakan saja – atas nama stabilitas dan pembangunan nasional.
Dua kawan saya dijemput di kantor redaksi di lantai 3 Jl. Gajah Mada 100, Jakarta Barat, dibawa Laksusda Jaya, di Jl. Kramat V – Jakarta Pusat, intansi di luar hukum, yang menyeramkan.
Seorang teman sekantor babak belur ditinju sejumlah tentara dan masuk rumah sakit gara gara memotret demo mahasiswa di seputar bundaran HI. Rekan fotografer kondang dari majalah mingguan juga mengalami sama, dikeroyok sejumlah aparat PHH, dipukuli pakai rotan beramai ramai, dilempar ke got dan diinjak injak hingga hilang sadar, kamera remuk dan masuk rumah sakit.
Penembakan brutal di Tanjung Priok, penenggelaman desa Kedung Ombo, kematian Marsinah di kantor militer, pembunuhan Udin dan peragawati Dice yang menjadi misteri hingga kini, juga penggusuran paksa hunian kampung yang kini jadi perumahan Pondok Indah, Simprug, adalah warisan Orde Baru, sebagai masa masa yang dialami pada kami saat meliput peristiwa dan berita.
Saya pernah duduk di sebelah Dice, ngobrol dengannya saat menjadi juri kontes kecantikan waria, sebelum lama kemudian dia tewas secara tragis, di tembak di mobilnya di kawasan Kalibata.

FOKUS PEMBANGUNAN

Soeharto, Presiden kedua RI yang menjabat sejak 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998 dikenal sebagai pemimpin Orde Baru, di mana yang menjadi fokus utamanya adalah pembangunan. Atas nama pembangunan Suharto meniadakan demokrasi. Sama seperti Singapura, Malaysia dan Filipina.
Bedanya; lewat demokrasi ala Lew Kuan Yew, Singapura yang makmur sentosa. Demokrasi ala Dr. Mahathir Muhamad membuat Malaysia maju selangkah dibanding kita. Sedangkan demokrasi pembangunan ala Soeharto dan Ferdinand Marcos hanya mengumpulkan asset dan kroni di sekitar keluarganya saja.
Harus diakui ada jasa besar Soeharto bagi Indonesia. Dia membalikkan keadaan, utamanya ekonomi morat marit di era Orde Lama, inflasi hingga 600%, rakyat makan bulgur bantuan Amerika – dimana saya pun pernah mencicipinya. Kesulitan rakyat jelata sangat merata.
Soeharto, dengan dukungan teknokrat dari Barkeley, mendatangkan investasi asing, utamanya negara negara blok Barat, melaksanakan pembangunan di segala bidang seperti sekolah, puskesmas, industri strategis dan jalan nasional, selain waduk, embung, dam, pembangkit listrik dan pengendalian banjir perkotaan.
Dia bahkan punya perencanaan pembangunan tiap lima tahun yang dijuluki Repelita yang diwujudkan sejak 1 April 1969 hingga 1994.
Indonesia hampir tinggal landas menjadi negara maju, nyaris jadi macan asia, ketika krisis moneter datang. “Turun” dari Thailand, ke Malaysia dan Indonesia. Nilai tukar dollar melesat, dari Rp1.800-an menjadi Rp16.000-an per 1 dollar US.
Soeharto mencoba mengukuhkan kekuasaannya, tapi menteri andalannya mengundurkan diri. Anak anaknya menjadi anak raja, dimana setiap putra-putrinya memiliki induk perusahaan, yang bercabang cabang usahanya, menguasai seluruh lini kehidupan, dari minyak di laut hingga satelit, mengimpor mobil ‘built up’ dan diakui sebagai karya anak bangsa, memonopoli jeruk dan cengkeh, bahkan mengutip cukai para penonton teve. Demikian juga kerabatnya.

JENDERAL DISINGKIRKAN

Ali Sadikin (foto Kompas)

Orang orang yang berjuang bersama Soeharto satu per satu disingkirkan. Jendral TNI. Purn. HR Darsono, Ali Moertopo, Loenardus Benny Moerdani, yang mengingatkan ancaman dari anak-anaknya yang bisnisnya menghalalkan segala cara, diabaikan. Justru mereka disingkirkan. Ali Moertopo yang menjalanikan politik tangan kotor Soeharto, ditempatkan di DPA namun dua tahun sejak pelantikannya tidak diajak bicara – sampai meninggalnya. Benny Moerdani demikian juga . Dia difitnah sebagai “tentara anti Islam”. HR Dharono dipenjara, Jendral Nasution bersama sama Ali Sadikin bahkan diasingkan, bisnisnya ditutup, tidak bebas menerima tamu, dan dilarang ke luar negeri.
Ada banyak cerita menyeramkan tentang Suharto dan bagaimana cara dia berkuasa. Terlalu lama berkuasa, membuat pendukungnya melakukan segala cara.
Terkait dengan usulan sebagai Pahlawan, hari hari ini, sebagai warga negara, sebagai jurnalis bangkotan, saksi hidup dan saksi mata semasa dia berkuasa, saya katakan Suharto layak menyandang gelar Bapak Pembangunan – yang disandangnya sejak 1982. Tapi dia bukan pahlawan. Dan tidak layak dijadikan pahlawan.
*) Ditulis oleh wartawan senior Supriyanto Martosuwito 

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Humaniora