
1990-1999 : Periode Lokalisasi dan Transfer Teknologi Industri Alat Berat
INDOWORK.ID, JAKARTA: Bila periode 1981-1990 sebagai awal berdirinya industri alat berat di Indonesia, kehadiran sejumlah industri alat berat lahir dari inisiatif dan dukungan pemerintah dengan berbagai kebijakannya, seperti Deletion Program. Maka, sepuluh tahun kemudian, industri ini telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Periode 1990-1999 dapat disebut para pelaku industri alat berat ini sudah mulai bertumbuh, mulai dari sisi lokalisasi, kapasitas, hingga transfer teknologi dan sumber dayanya. Inilah periode pertumbuhan industri alat berat yang berhasil memanfaatkan transfer teknologi dari perusahaan principal ke perusahaan lokal.
Pada tingkat lokalisasi, mereka sudah mampu memproduksi pelat baja ringan lokal dengan ketebalan 25 milimeter untuk non critical parts. Ini merupakan langkah besar di mana para pelaku industrinya sudah tidak lagi menggantungkan bahan baku impor untuk parts non critical. Sebelumnya, bahan baku impor untuk industri ini masih menyesuaikan list deletion program yang dikeluarkan pemerintah.
Dari sisi kapasitas produksi, mulai 1990 ini mereka mampu meningkatkan kapasitas produksinya, dari semula hanya mampu memproduksi small size ukuran 20-40 ton untuk unit bulldozer dan excavator ke medium size. Pada periode ini para pelaku industri alat berat Indonesia telah mampu memproduksi unit ke skala big size, seperti off-road dump truck dengan gross vehicle weight (GVW) berkapasitas lebih dari 100 ton. Hal ini menjadi pencapaian besar, karena sebelumnya kendaraan berat untuk sektor tambang skala besar harus sepenuhnya diimpor dari Jepang, Amerika Serikat, atau Eropa.
DIDUKUNG KRAKATAU STEEL
Kebijakan ini didorong oleh pemerintah melalui program penguatan industri baja nasional, dengan dukungan dari perusahaan seperti PT Krakatau Steel yang saat itu sudah mulai memproduksi pelat baja berkualitas tinggi.
Perkembangan kapasitas produksi ini juga didorong oleh masuknya teknologi-teknologi baru ke dalam lini manufaktur Indonesia. Misalnya, teknologi heat treatment untuk memperkuat dan meningkatkan daya tahan komponen baja mulai diadopsi perusahaan alat berat dalam negeri. Selain itu, teknologi fabrikasi tingkat menengah hingga rumit, precision machining, forging, dan casting mulai diterapkan, sehingga komponen alat berat seperti chassis, undercarriage, hingga boom dan bucket bisa diproduksi dengan presisi dan standar mutu global.
Data dari Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (HINABI) menunjukkan, pada 1995, volume produksi alat berat nasional mencapai sekitar 3.500 unit per tahun—naik hampir dua kali lipat dibandingkan pertengahan 1980-an. Selain itu, semakin banyak perusahaan dalam negeri yang mampu menjadi tier-1 supplier untuk pasar ekspor, terutama untuk komponen-komponen heavy equipment yang dikirim ke Jepang dan Korea Selatan.
Dari sisi sumber daya, mereka telah berkembang dari management skill pada era 80-an. Pada 1990 hingga 1999 mereka mengubah arah manajemennya menjadi production management dan quality management.
Apa maksudnya? Management skill berarti keterampilan manajemen di industri alat berat Indonesia umumnya masih bersifat sederhana. Para manajer dan pelaku industri lebih banyak mengandalkan pengalaman praktis dalam mengatur proses produksi, membagi tugas, serta mengelola sumber daya dan jadwal kerja secara manual.
Sistem perakitan dan fabrikasi alat berat pada masa itu masih berskala kecil, sehingga pengelolaan operasional cenderung berfokus pada bagaimana memastikan semua komponen tersedia dan produksi berjalan tanpa hambatan besar.
Frederick Taylor dalam buku The Principles of Scientific Management menjelaskan teori scientific management , yakni menekankan efisiensi kerja melalui analisis ilmiah terhadap proses kerja, pembagian tugas yang jelas, serta penggunaan standar baku untuk meningkatkan produktivitas.. Sementara itu, Henri Fayol dalam buku General and Industrial Management menambahkan tentang pentingnya fungsi perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian dalam organisasi yang menjadi dasar teori manajemen modern.
Pada era ini, wajah industri alat berat Indonesia mulai berubah seiring berkembangnya teknologi dan meningkatnya tuntutan pasar global. Pada periode ini, keterampilan manajemen berkembang menjadi dua aspek utama: production management dan quality management. Production management menuntut para manajer untuk mampu merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, dan mengendalikan seluruh proses produksi secara sistematis agar barang yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pasar, tepat waktu, serta efisien dalam penggunaan biaya dan sumber daya.
Konsep-konsep modern seperti lean manufacturing, just in time, dan production planning and control mulai diterapkan untuk mengoptimalkan alur produksi, mengurangi pemborosan, dan meningkatkan produktivitas. Para pelaku industri tidak lagi cukup hanya dengan pengalaman; mereka mulai memanfaatkan data, analisis bottleneck, dan sistem manajemen produksi berbasis komputer.
Di sisi lain, quality management menjadi pilar penting demi menjaga daya saing industri nasional. Penekanan pada kualitas bukan hanya sekadar inspeksi di akhir proses, tetapi menyeluruh dan terintegrasi ke setiap tahapan produksi. Penerapan prinsip Total Quality Management (TQM), penggunaan Statistical Process Control (SPC), hingga upaya mendapatkan sertifikasi standar mutu internasional seperti ISO 9001, menjadi bagian tak terpisahkan dari transformasi ini.
Selain itu, budaya perbaikan berkelanjutan atau continuous improvement (kaizen) mulai tumbuh, mendorong setiap karyawan untuk aktif berkontribusi dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil produk. Pergeseran ini sangat penting, karena selain menghadapi persaingan global, industri alat berat juga harus memenuhi berbagai regulasi dan standar yang semakin ketat baik dari pemerintah maupun pelanggan internasional.
Transformasi dari keterampilan manajemen konvensional menuju production management dan quality managementmenandai perubahan besar dalam pola pikir, budaya kerja, serta struktur organisasi di industri alat berat Indonesia. Tidak hanya soal mengelola proses produksi, namun juga tentang bagaimana memastikan setiap produk yang dihasilkan mampu bersaing secara global melalui efisiensi, ketepatan waktu, dan kualitas yang terjamin. Inilah fondasi penting yang membuat industri alat berat Indonesia mampu bertahan dan tumbuh di tengah tantangan era modern.
KAPASITAS PRODUKSI
Industri alat berat Indonesia tidak hanya bertransformasi dari segi teknologi dan kapasitas produksi, namun juga mengalami dinamika baru dengan hadirnya sejumlah perusahaan kunci yang memperkuat ekosistem manufaktur nasional. Transformasi ini didorong oleh kebutuhan untuk meningkatkan kandungan lokal, mendukung hilirisasi industri baja, serta menjawab permintaan pasar alat berat di sektor tambang, konstruksi, dan perkebunan yang terus tumbuh seiring pembangunan ekonomi nasional.
Pada 1991, PT Pandu Dayatama Patria berdiri. Perusahaan ini fokus pada penyediaan komponen pendukung alat berat, mulai dari struktur baja hingga aksesoris industri, yang sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan impor. Setahun kemudian, pada 1992, PT Hitachi Construction Machinery Indonesia resmi beroperasi. Hal itu menandakan semakin menarik pasar Indonesia Bagi investor global.
Masuknya Hitachi membawa serta transfer teknologi, penerapan standar produksi internasional, dan peluang kolaborasi teknis dengan perusahaan dalam negeri. Kehadiran perusahaan ini juga memperkuat rantai nilai di sektor alat berat, khususnya untuk produk excavator dan offroad dump truck yang mulai banyak digunakan di proyek-proyek pertambangan besar di Kalimantan dan Sumatera.
Perkembangan positif ini terus berlanjut. Pada 1995, dua perusahaan baru, PT Sanggar Sarana Baja dan PT Wahana Abadi Sakti, juga resmi menjadi bagian dari jaringan industri alat berat nasional. PT Sanggar Sarana Baja dikenal sebagai spesialis fabrikasi komponen berat dan custom, berperan penting dalam penyediaan part lokal untuk sektor pertambangan dan konstruksi. Sementara PT Wahana Abadi Sakti turut memperkuat lini produksi komponen intermediate dan struktur baja, menjawab kebutuhan pabrikan utama.
Pada 1996, PT Katsushiro Indonesia dan PT Hanken Indonesia resmi beroperasi. PT Katsushiro, anak usaha dari grup Jepang, fokus pada manufaktur komponen presisi, terutama pada hydraulic system dan attachment alat berat. PT Hanken Indonesia sendiri dikenal sebagai spesialis dalam produksi komponen baja struktural dan pengelasan berstandar internasional.
Masuknya kedua perusahaan tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan industri untuk memperkuat kemampuan fabrikasi dan menambah variasi produk lokal yang mampu bersaing di pasar ekspor.
Menjelang akhir dekade, pada 1998, PT Munindra Metal Works turut menjadi bagian ekosistem industri alat berat Indonesia. PT Munindra Metal Works mengisi ceruk penting dalam penyediaan casting dan forging untuk komponen-komponen alat berat, termasuk bagian engine dan undercarriage. Keberadaan mereka sangat strategis untuk mendukung produksi alat berat dalam negeri yang mulai mengincar pasar ekspor ke Asia Tenggara.