Industri Alat Berat Indonesia Masuki Fase Kematangan

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Industri alat berat Indonesia memasuki fase kematangan yang ditandai dengan orientasi pada aplikasi khusus (customized application), efisiensi operasional, dan penekanan pada biaya produksi yang semakin kompetitif.

Melalui kebijakan afirmatif dan insentif fiskal, serta regulasi mewajibkan minimal 40% kandungan lokal untuk alat berat tertentu yang dipakai pada proyek-proyek strategis nasional, seperti pertambangan, konstruksi infrastruktur, dan sektor kehutanan.

Dari sisi kebijakan pemerintah, Sejak tahun 2014, pengaturan sejumlah regulasi di industri alat berat diatur melalui Kementerian/Lembaga dengan menerbitkan payung hukum, baik SK maupun peraturan pemerintah dan peraturan menteri di Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan.

BEBERAPA ATURAN

Beberapa aturan terkait itu antara lain, seperti diungkapkan Dirjen Industri Logam Mesin,

Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Dr. Ir. Budi Darmadi (2004-2014), yaitu Insentif tarif BBM impor komponen perakitan dalam negeri, larangan impor CBU alat berat bukan baru (untuk spesifikasi teknis tertentu yang dapat dibuat dalam negeri), memberlakukan SNI, mencegah banjirnya  unit alat berat yang tidak memenuhi syarat kualitas dan keamanan pasar domestik, kampanye penggunaan alat berat dalam negeri (local content) di sektor pertambangan dan konstruksi, insentif investasi untuk manufaktur alat berat di dalam negeri, kampanye alat berat made in Indonesia di negara-negara ASEAN dan Afrika.

Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 110/PMK.011/2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan Guna Pembuatan Bagian Tertentu Alat besar dan/atau Perakitan Alat Besar untuk Tahun Anggaran 2012. PMK 110/2012 ini menjadi salah satu landasan untuk percepatan dan pengembangan inovasi bagi industri alat berat dalam negeri pada 2014. Pada periode 2014 ini pula, industri alat berat dalam negeri mendapat tantangan tersendiri.

Industri alat berat Indonesia juga semakin adaptif menghadapi tuntutan global berupa percepatan pertumbuhan ekonomi, arus perdagangan bebas, serta isu lingkungan hidup. Tantangan seperti regulasi emisi gas buang (Euro IV dan Euro V), pengelolaan limbah, dan konservasi energi, menjadi dorongan besar bagi perusahaan untuk berinovasi.

Salah satu terobosan utama adalah adopsi remanufacturing technology (reman)—sebuah teknologi rekondisi alat berat yang memperpanjang umur pakai sekaligus menekan biaya operasional dan limbah industri. Hal itu menghasilkan efisiensi biaya hingga 30% dibandingkan pembelian baru, sekaligus berkontribusi pada pengurangan limbah besi dan baja hingga ribuan ton setiap tahun.

DIGITALISASI MANUFAKTUR

Digitalisasi manufaktur juga menjadi fokus utama melalui adopsi Information and Communication Technology (ICT) dan konsep Industry 4.0. Perusahaan alat berat mengintegrasikan sistem produksi berbasis IoT, ERP, dan otomatisasi pabrik untuk meningkatkan produktivitas dan transparansi.

Dalam bidang SDM, industri alat berat telah mengejawantahkan program link & match antara dunia usaha dan pendidikan pun digencarkan, terutama untuk menyiapkan SDM yang siap menghadapi transformasi digital industri. Seperti contohnya, sistem real-time monitoring pada jalur produksi dan sistem perawatan alat berat berbasis cloud, kemudian juga ada teknologi remote tracking dan maintenance alat berat mereka secara digital.

Aspek penting lainnya adalah penguatan sertifikasi kompetensi industri. Pemerintah memperkuat kerangka sertifikasi melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan memperluas peran Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Manufaktur. Data BNSP menunjukkan, sejak 2015 hingga 2022, lebih dari 35.000 tenaga kerja di sektor alat berat telah mendapatkan sertifikasi nasional dan internasional, mencakup bidang teknik, pengelasan, automation, hingga desain.

Program pelatihan berkelanjutan juga terus dikembangkan melalui kemitraan antara perusahaan besar, asosiasi industri, dan institusi pendidikan vokasi, sehingga industri alat berat nasional mampu mempertahankan daya saing di tengah persaingan global dan perkembangan teknologi yang pesat.

Sebagai hasil dari semua inisiatif ini, pada 2022, volume produksi alat berat nasional tercatat mencapai sekitar 7.400 unit (Sumber: Hinabi), dengan ekspor komponen dan jasa teknik ke Asia, Afrika, dan Australia terus meningkat. Indonesia kini diakui sebagai salah satu hub manufaktur alat berat di Asia Tenggara, dengan ekosistem yang semakin matang, inovatif, dan berkelanjutan.

Dari sisi ekosistem industri, telah tumbuh 52 perusahaan sebagai ekosistem industri mulai dari Tier 1, Tier 2, dan Tier 3 yang saling terhubung dalam rantai pasok industri alat berat nasional. Ekosistem ini tidak hanya mencakup manufaktur alat berat utama, tetapi juga seluruh rantai nilai mulai dari produsen komponen, subkontraktor, hingga perusahaan engineering dan desain. Fenomena ini menunjukkan bahwa industri alat berat Indonesia telah bertransformasi menjadi salah satu basis manufaktur terpenting di Asia Tenggara, mampu memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional sekaligus menembus pasar ekspor ke berbagai negara.

Perkembangan pesat ini tidak lepas dari kombinasi faktor: kebijakan pemerintah yang progresif, investasi berkelanjutan, peningkatan kualitas SDM, hingga kemunculan perusahaan baru yang menjawab kebutuhan pasar modern. Dengan fondasi yang kuat ini, industri alat berat Indonesia berada dalam posisi yang strategis untuk terus bertumbuh dan berkompetisi di kancah global.

Salah satu tantangan terbesar industri alat berat saat ini, adalah banjirnya produk-produk unit jadi merek-merek dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia berbarengan dengan banyaknya pembangunan infrastruktur dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam konteks ini, para pelaku industri alat berat dihadapkan pada dilema.

Di satu sisi, mereka harus mengoptimalkan produksinya dengan bahan baku TKDN dan SNI. Di sisi lain, impor unit barang jadi dari Tiongkok mudah ditemui di pasaran dengan harga yang sangat kompetitif. Belum lagi dengan banyaknya perjanjian-perjanjian internasional, seperti AFTA, ACFTA dan lain sebagainya yang juga mengikat Indonesia di pasar global.

Lantas, apalagi yang dapat dilakukan pemerintah untuk keberlangsungan industri alat berat dalam negeri dalam kondisi seperti ini, di mana kondisi global sedang tidak baik-baik saja, seperti dampak perang dagang AS-Tiongkok sebagai imbas kebijakan Tarif Trump? Sepertinya, dibutuhkan stick and carrot yang ditawarkan pemerintah untuk meningkatkan daya saing yang tepat bagi industri ini, baik di tingkat lokal maupun internasional sehingga mendorong industri ini menjadi pemain dunia sebagaimana judul buku ini.

 

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Bisnis