Periode 1981-1990: Berdiri Industri Alat Berat Lokal

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Keputusan pemerintah pada akhir 1980 itu, utamanya Departemen Perindustrian Dirjen Industri Logam Dasar yang akan menjadikan alat berat menjadi industri di dalam negeri, disambut oleh para importir alat berat dan principal sebagai sebuah tantangan besar, walaupun pada awalnya cenderung skeptis.

Keputusan ini bukan hanya akan mengubah landskap bisnis perdagangan alat berat yang selama ini mereka jalani. Melainkan juga menentukan arah pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri dan membawa Indonesia menuju era industri.

Rencana pemerintah Indonesia ingin menjadikan alat berat menjadi industri alat berat dalam negeri menjadi bahan negosiasiserius di kalangan para importir alat berat dengan para prinsipalnya di luar negeri. Yang menjadi isu utama dalam kebijakan tersebut, terkait dengan lokalisasi produksi, unit produk, hingga perlindungan terhadap komponen produk yang berasal dari luar negeri.

Pada 1982, pemerintah Indonesia menerima tiga proposal utama terkait rencana pengembangan industri alat berat nasional. Proposal pertama datang dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menawarkan pendekatan radikal dengan target lokalisasi produksi alat berat secara penuh—100 persen dalam waktu lima tahun—dan hanya melalui satu perusahaan. Pendekatan ini dinilai ambisius karena mengandalkan monopoli produksi oleh entitas tunggal, dengan harapan mempercepat kemandirian industri.

Proposal kedua diajukan oleh kemitraan antara United Tractors dan produsen Jepang, Komatsu, yang menawarkan model kolaboratif antara swasta nasional dengan perusahaan global untuk membangun basis manufaktur dan distribusi di Indonesia.

Sementara itu, proposal ketiga berasal dari Trakindo Utama yang menggandeng raksasa industri asal Amerika Serikat, Caterpillar, dengan pendekatan serupa, yakni membentuk aliansi strategis guna memperkuat kemampuan teknis, distribusi, dan layanan purna jual di pasar domestik. Ketiga proposal ini mencerminkan perbedaan strategi dalam membangun industri alat berat nasional—antara pendekatan negara-sentris dan model kemitraan internasional.

Pada 1982, dua Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) utama di industri alat berat Indonesia—United Tractors (UT) dan Trakindo Utama (TU)—mulai merealisasikan langkah strategis untuk mendirikan pabrik alat berat di dalam negeri. United Tractors, bersama mitranya dari Jepang, Komatsu, membentuk perusahaan patungan (joint venture) yang membangun fasilitas produksi di kawasan industri Cakung, Jakarta Timur.

Perusahaan tersebut kelak dikenal sebagai PT Komatsu Indonesia. Sementara itu, Trakindo Utama menggandeng produsen asal Amerika Serikat, Caterpillar, untuk mendirikan pabrik alat berat di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, yang kemudian diberi nama PT Natra Raya.

Masih pada tahun yang sama, pemerintah menetapkan bahwa ketiga perusahaan patungan—termasuk satu lagi, Triguna Utama yang berkolaborasi dengan Mitsubishi— ditetapkan untuk memproduksi alat berat dalam negeri. PT Komatsu Indonesia (UT dan Komatsu) ditetapkan untuk memproduksi bulldozer, wheel loader, hydraulic excavator, dan motor grader.

Selain itu, PT Natra Raya (TU dan Caterpillar) juga memproduksi jenis alat berat serupa, termasuk motor grader. Adapun Triguna Utama bersama Mitsubishi difokuskan pada produksi hydraulic excavator dan forklift. Keputusan ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mendorong industrialisasi alat berat nasional melalui transfer teknologi, investasi manufaktur, dan kemitraan strategis antara pelaku lokal dan global.

Selanjutnya, dalam kebijakan pengembangan industri alat berat nasional, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 55/M/SK/2/1982 menetapkan rincian teknis mengenai alat besar tertentu hanya diperbolehkan untuk diimpor dalam bentuk Completely Knocked Down (CKD). Penjabaran tentang tingkat manufaktur yang diinginkan serta gambaran ini ditujukan untuk memberikan kepastian jenis komponen yang lokalisasinya didorong untuk diproduksi di dalam negeri.

Untuk unit CKD Crawler Bulldozer, komponen yang termasuk dalam kategori definisi diimpor belum terpasang antara lain meliputi: engine, torque converter assembly, hydraulic pump assembly, steering pump assembly, transmission pump, towing winch assembly, serta lift cylinder assembly. Komponen-komponen tersebut harus dalam kondisi belum dicat, kecuali jika telah diberi lapisan pelindung seperti prime coat atau bahan antikarat lainnya.

Sementara itu, pada Hydraulic Excavator, komponen yang termasuk dalam ketentuan serupa mencakup engine, torque converter assembly, hydraulic pump assembly, steering pump assembly, transmission pump, towing winch assembly, dan lift cylinder. Sama halnya, pengecatan belum diperbolehkan kecuali lapisan pelindung awal.

Adapun untuk unit Motor Grader, daftar komponennya lebih luas, mencakup engine, hydraulic pump assembly, leaning cylinder assembly, steering cylinder assembly, flow control valve assembly, pilot check valve assembly, hydraulic motor assembly, blade shift cylinder assembly, blade lifter assembly, dan blade cylinder assembly. Komponen-komponen ini juga tunduk pada syarat pengecatan terbatas, sebagaimana diatur dalam Lampiran III.

Terakhir, untuk Wheel Loader, komponen sebagaimana dimaksud mencakup: engine assembly, torque converter, oil pump, torque converter oil line, oil filter, transmission, transmission control valve, terad valve, automatic drain valve, valve group, dan cylinder group. Beberapa komponen tertentu, seperti silinder, boleh berada dalam kondisi telah dicat. Ketentuan teknis ini menjadi penting untuk menjamin keseragaman kualitas impor, mendorong proses perakitan lokal, serta membuka ruang bagi pengembangan industri komponen dalam negeri.

Untuk melindungi dan mendorong berkembangnya industri alat berat dalam negeri, pemerintah Indonesia pada awal 1980-an menerapkan serangkaian kebijakan proteksi dan insentif.

KOMPONEN HARUS DIIMPOR

Melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 55/M/SK/2/1982, pemerintah menegaskan bahwa komponen alat berat yang diimpor, harus dalam kondisi belum dicat, kecuali hanya dilapisi dengan primer atau bahan antikarat lain. Ketentuan ini diberlakukan untuk menjamin proses perakitan dan penyelesaian akhir dilakukan di dalam negeri, sekaligus mendorong nilai tambah lokal.

Selanjutnya, untuk memperkuat pengembangan industri nasional, Departemen Perindustrian bersama calon-calon produsen dalam negeri menyepakati skema perlindungan melalui tarif impor dan pengaturan tata niaga. Ini dituangkan dalam Surat BPPI No. 1010/BPPI/VI/1982 tanggal 19 Juni 1982. Salah satu bentuknya adalah pembebanan bea masuk atas impor CBU.

Pada 1982, bea masuk ditetapkan sebesar 5%, dan pada periode 1983–1988 direncanakan meningkat menjadi 20%. Pajak penjualan (PPN) juga ikut diatur: sebesar 5% pada 1982, lalu direncanakan naik menjadi 10% pada tahun-tahun berikutnya. Namun, setelah berlakunya Undang-Undang Pajak 1984, PPN dihapuskan untuk alat berat pada 1985 hingga 1988. Dengan demikian, total beban pajak dan bea masuk pada 1983–1984 secara nyata adalah 0%, lalu kembali menjadi 20% pada 1985–1988.

Dari sisi tata niaga, pemerintah juga merancang pengaturan kuota impor alat berat dalam bentuk CBU. Pada 1982–1983, hanya model-model yang tenaganya belum dapat diproduksi di dalam negeri yang boleh diimpor, itupun dengan batas kuota maksimal hingga tiga tahun ke depan. Rencananya, impor CBU akan dilarang sepenuhnya mulai 1987–1988. Namun dalam praktiknya, kuota hanya diterapkan secara ketat selama sekitar satu tahun, yaitu pada 1985. Setelah dikeluarkannya Paket 6 Mei 1986, kebijakan berubah drastis: impor CBU menjadi bebas, selama membayar bea masuk secara penuh.

Meski demikian, pemerintah tetap memberikan fasilitas pembebasan bea masuk bagi pihak-pihak tertentu, seperti kontraktor proyek internasional dan perusahaan yang memproduksi alat berat untuk kebutuhan ekspor. Untuk lebih menjamin kepastian bisnis, pemerintah juga menerapkan kebijakan pembatasan.

NEGATIF LIST BKPM

Mulai 1984, model-model alat berat yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri masuk ke dalam Negative List BKPM, yang artinya tidak mendapat fasilitas keringanan bea masuk. Kebijakan ini mulai benar-benar diterapkan pada 1985. Namun, sejak berlakunya Paket 6 Mei 1986, aturan Negatif List tidak lagi berlaku bagi Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang produknya berorientasi ekspor.

Pembatasan impor alat berat bekas juga sempat diterapkan pada kebijakan OR-23, yang cukup terasa dampaknya pada tahun 1984 dan 1985. Akan tetapi, setelah 1986, impor alat berat bekas kembali meningkat tajam, menunjukkan relaksasi pengawasan dan liberalisasi pasar yang mulai berlangsung pada masa itu.

Secara keseluruhan, kebijakan ini menunjukkan bagaimana pemerintah berusaha menyeimbangkan antara perlindungan industri dalam negeri dan kebutuhan untuk membuka pasar secara bertahap seiring dengan kesiapan sektor manufaktur nasional, dengan memperhitungkan ketersediaan kebutuhan alat berat di dalam negeri

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Bisnis