Mencanangkan Laba Raksasa Imajiner Bukalapak
INFRASTUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Saya tulis beberapa kali bahwa penggunaan laba sebagai tolok ukur valuasi saham, tidak relevan untuk startup teknologi semacam Bukalapak. Demikian juga pendekatan nilai aset, ekuitas, dan lain-lain.
Valuasi mereka menggunakan GTV. Gross Transaction Value. Atau GMV, Gross Merchandise Value. Atau TPV, Total Processing Value.
Total nilai perusahaan, Market Capitalization saat IPO, diperoleh dengan mengalikan GMV dengan faktor pengganda (GMV multiple). Konon rata rata global GMV multiple sekitar 1,5- 2 kali.
Kalau GMV BUKA 2020 sebesar Rp 85 triliun, diharapkan bertumbuh 100% pada 2021, lalu angka pengganda ditetapkan 1,5 X, maka nilai perusahaan akan terbang mencapai Rp 255 triliun.
Dibagi jumlah saham pasca IPO sebesar 103 miliar saham, nilai intrinsik adalah Rp 2.475.
SANGAT MURAH
Harga IPO Rp 850… Wuaaaah murah banget!
Monggo!
Nalar saya tetap belum bisa menerima penggunaan GMV sebagai tolok ukur nilai perusahaan. GMV adalah nilai seluruh transaksi yang diproses dalam platform BUKA. Yang bakal menjadi pendpatan riil perusahaan adalah fee yang mereka terima. Besarnya merupakan persentase dari transaksi.
Kalau kita ambil angka optimistis, rata rata fee sebesar 20% dari GMV, artinya pendapatan perusahaan “hanya” 1/5 dari GMV. Belum lagi menghitung biaya biaya, termasuk biaya “bakar duit” untuk mengerek GMV ke atas.
Saya tetap belum mampu membayangkan sebuah bank menggunakan DPK atau Total Kredit dan bukan pendapatan dalam menghitung valuasi perusahaan.
Saya belum bisa membayangkan sebuah perusahaan konstruksi menggunakan nilai proyek dan bukan pendapatan dalam menghitung valuasi perusahaan.
Saya memang investor yang tolol dan keras kepala.
Bagi saya legitimasi sebuah unit usaha adalah kemampuannya menghasilkan laba secara wajar. Kemampuan menghasilkan laba yang wajar. Bukan kemampuan mengeksploitasi psikologis investor!
Laba raksasa imajiner yang – dicanangkan – akan diperoleh emiten belasan tahun yang akan datang, dihadapkan dengan discount factor – proksi risiko usaha – yang tinggi di Indonesia, akan nyaris tak memiliki nilai sekarang.
Dalam bahasa telanjang, pasar modal sungguh sukses mengangkat para pendiri itu menjadi triliuner melalui IPO.
Apakah pasar modal mampu juga memperbaiki kondisi keuangan investor ritel dan gurem yang ikut membeli saham? Nampaknya bukan cocern OJK. Bukan urusan BEI. Dan bukan kepedulian petinggi-petinggi sektor keuangan!
Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Infrastruktur.co.id