Bukan Keris yang Membunuh Ken Arok, Tapi Nepotisme
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Bukan keris yang membunuh Ken Arok, tapi nepotisme. Keris hanyalah cara sederhana buat Ken Arok memenuhi takdirnya.
Seperti Kubilai Khan dari Mongol, Ken Arok juga tak mati-mati untuk dituturkan. Lelaki bernama asli Ken Angrok ini bukan saja raja yang lahir dari kalangan gembel dan tumbuh jadi perampok, tapi juga dicatat sebagai pendiri Kerajaan Singosari yang menjadi besar dan populer dengan cara membunuh penasihat politiknya sendiri dan memberangus orang-orang yang membesarkan dirinya.
Merle Calvin Ricklefs, sejarawan kondang dari Monash University, Australia, menggambarkan Ken Arok sebagai raja besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah Pulau Jawa di era Hindu-Buddha. Singosari di bawah Ken Arok, menurut Ricklefs, membentuk dasar bagi kelahiran kerajaan-kerajaan berikutnya, termasuk Majapahit.
Tapi, mengapa seseorang yang awalnya lahir dan besar dari kalangan gembel, penjudi, dan perampok seperti Ken Arok bisa diterima jadi pemimpin negara? Jawaban untuk kisah musykil ini bisa dilacak dari suasana kebatinan masyarakat Tumapel sendiri, saat Ken Arok menahbiskan dirinya menjadi raja baru di sana.
RAKYAT MUAK
Banyak orang di Kerajaan Tumapel, cikal bakal Kerajaan Singosari, sebenarnya muak dengan gaya kepemimpinan Akuwu Tunggul Ametung yang hegemon dan militeristik. Misalnya Tunggul Ametung bisa dengan mudah menculik Ken Dedes lalu menjadikannya istri. Sementara orang-orang hanya bisa diam.
Dalam tafsir sejarah Nagarakretagama yang dikutip dari Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Tunggul Ametung mengerahkan punggawanya untuk menculik Ken Dedes dari ayahnya, Mpu Purwa. Pendeta Buddha yang tinggal di Panawijen ini tengah bertapa di Tegal ketika Tunggul Ametung merampas Ken Dedes deri perlindungannya. Dengan wajah murka Mpu Purwa lalu berteriak siapa pun yang menculik anaknya, dia harus mati di ujung keris!
Maka, ketika murka Mpu Purwa dijawab langit, lalu Tunggul Ametung benar-benar tewas telentang di ranjang di samping istrinya dengan jantung tertikam keris, rakyat Tumapel bersorak-sorai merayakan kejatuhan hegemon. Mereka lalu tenggelam dalam euphoria saat Ken Arok, gembel dan pasti bukan bangsawan elit, mengangkat dirinya menjadi raja baru menggantikan sang tiran. Bagaimana bisa?
Seperti di era modern, di era ketika banyak aktivis juga banyak yang tenggelam dalam euphoria saat seorang tukang kayu jadi presiden, masyarakat Tumapel saat itu juga melihat Ken Arok sebagai tokoh ratu adil yang terlahir dari rakyat, dipilih rakyat, lalu sangat merakyat. Ia dijadikan simbol kemenangan kaum proleter terhadap hegemoni kaum elitis.
TUKANG KAYU
Jika Indonesia pernah punya Jokowi yang hanya tukang kayu, Tumapel punya Ken Arok dengan latar belakang lebih dramatis. Lelaki kelahiran 1182 itu ditinggal mati ayahnya saat ia masih mendekam di kandungan Ken Ndok, ibunya. Ken Arok dibuang di kuburan lalu dijadikan anak angkat oleh Lembong, pencuri kelas wahid. Ia tumbuh besar jadi berandalan, pencuri ulung, juga gemar berjudi.
Diusir Lembong, Ken Arok lalu diasuh oleh Bango Samparan, juga penjudi kelas kakap, dari desa Karuman, Blitar. Dari asuhan dua lelaki pencuri kelas kakap ini Ken Arok jadi pencuri ulung dan perampok kelas kakap di seantero Kerajaan Kediri.
Cerita menjadi lebih dramatis karena di tengah karirnya yang memuncak di dunia hitam, Ken Arok justru sedang diburu oleh Lohgawe, Brahmana yang jauh-jauh datang dari India dengan keyakinan bahwa Ken Arok adalah lelaki asal Pulau Jawa yang menjadi titisan Dewa Wisnu. Serat Pararaton malah menyebut Ken Arok sebagai keturunan Dewa Brahma.
KE PUSAT REZIM
Keyakinan spiritual itulah yang membuat Lohgawe membawa Ken Arok ke pusat rezim Kadipaten Tumapel yang dipimpin Akuwu Tunggul Ametung. Karena Ken Arok dibawa oleh ulama kharismatik, Tunggul Ametung langsung mengangkatnya menjadi perwira elit pengawal khusus raja. Inilah yang membuat Ken Arok setiap hari bisa bertemu Ken Dedes.
Dia melihat sendiri kecantikan permaisuri Tunggul Ametung itu dari ujung rambut sampai ujung kaki, saat di meja makan sampai masuk kamar, saat keluar istana sampai naik turun kereta kuda. Leher Ken Arok seperti dibelit aji-aji Dewi Asmara.
Aliksah, ketika suatu hari Ken Dedes turun dari kereta kuda dan sarungnya tersibak, Ken Arok terkesiap melihat cahaya gemerlap keluar dari selangkangan perempuan Jawa itu. Sukmanya melambung tinggi, birahinya tak padam-padam. Saking menderitanya Ken Arok oleh birahinya yang terus menyala-nyala, ia pun berkisah pada Lohgawe.
Brahmana itu malah berbinar-binar lalu berkata hanya perempuan berkelas nareswari sajalah yang dari selangkangannya bisa memancarkan cahaya kemilau. Dari perempuan itulah nantinya lahir para raja.
TAK PLANGA PLONGO
Mendengar ramalan gurunya, Ken Arok makin gila. Dia ungkapkan keinginannya membunuh Tunggul Ametung, tapi Lohgawe menolak. Dia hanya memuluskan jalan Ken Arok ke puncak kekuasaan dengan memperkenalkannya pada seorang penasihat politik bernama Empu Gandring. Jika mau diterima masyarakat Tumapel, kata Empu Gandring, Ken Arok harus menjaga citra sebagai tokoh yang merakyat, sederhana, tidak ambisius, juga sopan. Tidak ada catatan Empu Gandring menasehati Ken Arok agar tampil planga-plongo.
Empu Gandring lalu berjanji akan bertirakat satu tahun penuh untuk menghasilkan sebilah keris yang bakal memuluskan jalan Ken Arok menuju puncak kekuasaan.
Tapi, birahi di ubun-ubun Ken Arok dan ambisi kekuasaan di ujung jidatnya hampir meledak. Inilah yang membuat lelaki ini setiap bulan mendatangi Empu Gandring. Dia terus bertanya kapan keris jadi. Di bulan kelima, ketika keris itu baru mencapai setengah kesaktiannya, Ken Arok meminjamnya dari Empu Gandring lalu mengelus-elusnya. Saat Empu Gandring lengah tiba-tiba saja – brettttt, keris itu sudah merobek perutnya.
Empu Granding menggelepar, dendamnya menyemburat. Tapi dengan dingin Ken Arok mencabut keris itu dari perut penasihat politiknya yang tengah meregang nyawa. Di antara darah yang menggenang, Empu Gandring bersumpah keris itu akan memakan tujuh nyawa, termasuk nyawa Ken Arok!
Di Tumapel, Ken Arok punya sahabat kental sehidup semati bernama Kebo Ijo. Dia juga perwira pengawal kerajaan. Kepada Kebo Ijo inilah keris pusaka yang telah menewaskan Empu Gandring itu dititipkan. Kebo Ijo, yang tak sadar tengah berkawan dengan seorang pembunuh berdarah dingin haus kekuasaan, dengan bangga mau saja disuruh mengakui bahwa keris itu miliknya. Akhirnya semua orang di istana Tumapel tahu keris itu milik Kebo Ijo hingga suatu malam, mereka digegerkan oleh kabar kematian Tunggul Ametung yang tiba-tiba. Di jantung Akuwu Kerajaan Tumapel itu tertancap keris Kebo Ijo!
Pagi hari, usai sadar dari mabuk berat, Kebo Ijo kaget dia ditahan pasukan pengawal istana atas tuduhan pembunuhan. Dia dijatuhi vonis mati, dibunuh dengan keris yang sama. Setelah saksi mata lenyap, Ken Dedes yang menyaksikan peristiwa pembunuhan di malam itu tersenyum bahagia, Ken Arok tertawa bahagia. Ketika pada akhirnya Ken Arok mempersunting Ken Dedes, masyarakat tidak lagi ambil pusing bagaimana mungkin seorang gembel menikahi istri raja, lalu menobatkan dirinya sendiri menjadi raja?
Buat mereka, kejatuhan seorang hegemon tiran adalah segala-galanya, apalagi orang yang merebut kekuasaan itu adalah seorang gembel dari dunia hina dina. Masyarakat terlalu sering terpesona oleh paradoks dan dekonstruksi.
PILPRES 2014
Jika Anda belum mampu juga menangkap euphoria musykil yang pernah melanda mayoritas penduduk Kadipaten Tumapel di era Ken Arok, percayalah bahwa euphoria dengan jenis yang sama pernah melanda mayoritas rakyat Indonesia saat Jokowi maju pada pilpres 2014, lalu menang.
Budayawan sekaliber Goenawan Mohamad bukan sekadar bahagia, tapi bahkan menggelar pesta rakyat. Seniman serba bisa Butet Kertaredjasa, bersama Faisal Basri, sampai menggelar Kirab Budaya Jogja Istimewa. Semuanya tenggelam dalam euphoria, bahagia, tukang kayu jadi presiden!
Di tengah euphoria itu, pada 1222 Ken Arok berkuasa penuh atas singgasana Singasari, setelah menyingkirkan penasihat politiknya, memfitnah kawan dekatnya lalu membunuhnya, mengabaikan nasihat guru spiritualnya, membunuh lawan politiknya, juga merebut istri rivalnya. Lengkap sudah ia menjalani revolusi mental yang tak semua orang mampu dan berani melakukannya.
Jauh sebelum Jacques Derrida menganjurkan dekonstruksi, Ken Arok telah melakukan segalanya, demi kuasa!
Tapi Ken Arok lupa, nepotisme bisa membunuhnya. Saat ia menikahi Ken Dedes, perempuan itu sebenarnya tengah mengandung bayi Tunggul Ametung bernama Anusapati alias Panji Anengah. Saat Ken Arok berkuasa, Anusapati sudah menjadi perwira menengah karena banyak terlibat dalam pertempuran.
Maka, ketika Ken Arok mengangkat Mahisa Wong Ateleng, adik Anusapati, sebagai penguasa Kediri, tentu saja Anusapati sebagai putra tertua Ken Arok curiga dan gelisah.
Dari ibunya, Anusapati jadi tahu ternyata ia hanya anak tiri Ken Arok. Dari Ken Dedes juga ia jadi tahu bahwa ayah kandungnya dibunuh Ken Arok. Pada 1247, sesuai naskah Pararaton, Anusapati diam-diam berhasil mengambil keris Empu Gandring yang selama ini disembunyikan Ken Dedes. Ia lalu menyuruh seorang abdi dalem dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Anusapati berpesan, Ken Arok harus dibunuh saat ia melampiaskan hawa nafsunya sebab di saat itulah setiap orang lengah dan tidak waspada.
Benar saja, saat Ken Arok tengah lengah memenuhi hawa nafsu makan siang, sang abdi dalem diam-diam menancapkan keris buatan Empu Gandring ke tengkuknya. Seperti Empu Gandring, Ken Arok juga tewas menggelepar. Raja sakti ini tewas di puncak karirnya akibat nepotisme, di saat dia begitu yakin semua orang di Kerajaan Singasari mencintainya. Bagaimana dengan Jokowi saat orang-orang di istana mennyukainya?
*) Ditulis oleh Hemi Hidayat, dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta