Buku Rochjani Soe’oed, Referensi Penting Bagi Intelegensia Betawi

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Sebuah buku tentang seseorang, tak selamanya harus otobiografi atau biografi yang lebih banyak banyak bercerita ihwal perjalanan hidup dengan berbagai suka duka dan pencapaian.

Bisa juga berupa kreatografi, yang lebih banyak bercerita ihwal dinamika dan pencapaian kreatif seseorang yang membuatnya dikenang. Mulai dari fase creativity kick off sampai innovation breakthrough.

Senin (28/10/24) di Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya – Jakarta, diluncurkan buku tentang salah seorang tokoh penting Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, bertajuk  “Mohammad Rochjani Soe’oed dari Betawi untuk Indonesia,” terbitan Pustaka Kaji. Penulisnya dua wartawan beda generasi, Lahyanto Nadie dan Zaenal Aripin.

Kongres Pemuda II menghasilkan Soempah Pemoeda, salah satu manifesto penting proses pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia. Hampir dua dekade sebelum Republik Indonesia.

Peristiwa tersebut, sangat penting dan strategis, karena menegaskan pernyataan kebangsaan, ihwal tanah air, bangsa, dan bahasa yang mempersatukan beragam etnis dan suku bangsa dan negara kepulauan ini.

Dalam kepanitiaan itu, Mohammad Rochyani Soe’oed menerima amanah dan menjalankan fungsi sebagai Pembantu 5 mewakili organisasi Pemoeda Kaoem Betawi. Kepanitiaan itu dipimpin oleh Ketua Soegondo Djojopoespito (PPPI : Perhimpoenan Pemoeda Pemoeda Indonesia) dengan Wakil Ketua R.M Djoko Marsaid (Jong Java), Sekretaris Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Bendahara Amir Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond). Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamiten Bond), R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia), R.C.L Senduk (Jong Celebes), Johannes Leimena (Jong Ambon) masing-masing sebagai Pembantu I, II, III, dan IV.

Manifestografi

Kepanitiaan tersebut didominasi mahasiswa Rechshoogeschool ( termasuk Rochjani), Stovia, dan non pelajar (seperti Djoko Marsaid yang sudah menjadi Mantri Polisi). Rochjani, termasuk salah seorang yang namanya tertera dalam undangan kepada berbagai organisasi untuk mengikuti kongres tersebut.

Dilihat dari posisi dan fungsinya, Rochjani tak hanya menegaskan keberadaan dirinya dan Pemoeda Kaoem Betawi sebagai pemeran aktif dalam peristiwa sejarah kebangsaan tak tergantikan itu. Jauh dari itu, keberadaannya sekaligus menegaskan eksistensi kaum intelegensia muda Betawi, selain Moh Husni Thamrin dari kalangan orang dewasa.

Maknanya adalah Rochjani boleh disebut sebagai representasi kaum intelegensia Betawi yang datang dari lingkungan keluarga terdidik yang banyak disembunyikan oleh sejarawan Belanda dan asing lainnya.

Dalam banyak buku dan monograf ihwal kaum Betawi yang ditulis oleh sejarawan Belanda dan asing, keberadaan kaum intelegensia yang visioner, tertutup oleh timbunan kisah ihwal kalangan jawara dan kaum amah.

Buku ini merupakan buku penting sebagai salah satu referensi utama tentang kalangan intelegensia Betawi. Tak sekadar untuk membalik presumsi ihwal prototipe kaum Betawi yang banyak dihadirkan dalam lenong, film, dan sinetron. Bagi saya, buku ini merupakan pintu masuk untuk menguak lebih luas intelektualisma Betawi.

Meski menggunakan metodologi penulisan biografi dan penulisan sejarah,dengan pendekatan storytel, buku ini (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh penulisnya) bukan buku sejarah. Saya lebih suka menyebutnya sebagai manifestografi. Buku yang tentang pernyataan nilai tentang kaum Betawi melalui salah satu tokohnya.

Kosmopolitan dan Egaliterian

Buku ini berisi 6 (enam) Bab plus Pengantar Penulis, Pengantar (Sejarawan), Prolog, dan Epilog yang ditulis dengan pendekatan jurnalistik (mulai dari riset, wawancara, struktur literasi dan logika bahasa). Tanpa kecuali kaidah-kaidah jurnalistik (verifikasi dan konfirmasi).  Suatu pendekatan penulisan yang kaya dan tentu, memerlukan waktu dan kesabaran. Terutama karena penulis dan periset melakukan penelusuran sampai tiga tingkat garis nasabnya.

Pada setiap Bab, penulis menarik pembaca masuk ke dalam berbagai lingkungan dan atmosfer perjalanan hidup Rochjani sebagai sesosok insan tanpa atribusi, intelegensia, kiprah pergerakan kebangsaan, peran pengabdian dalam realitas sebagai hakim yang jujur dan adil, nilai dan norma kehidupan, dan legasinya sebagai akademisi (salah seorang pendiri, pensyarah – dosen, dan guru besar ilmu hukum Universitas Jakarta).

Pola penulisan naratif – esai dengan gaya bahasa yang karib, berhasil menguak dimensi tokoh yang sesungguhnya tawaddu’ – rendah hati dan tak menonjolkan diri. Apalagi selepas proklamasi kemerdekaan Rochjani memusatkan perhatiannya sebagai hakim, baik di pengadilan sipil maupun pengadilan militer. Antara lain di eks Karesidenan Purwakarta dan Madiun.

Dengan pola penulisan demikian, buku ini berhasil menarik masuk pembaca ke dalam atmosfer keluarga Betawi terdidik (ayahnya merupakan Wedana Balaraja) yang hidup pada era kolonial. Sebagai anak Betawi Tenabang (Tanah Abang) yang merupakan zona khas yang kompleks di Batavia, hidup di Balaraja masa itu. Keseriusan orang tuanya mendidik dan memberi manfaat atas politik etis, pilihannya melanjutkan pendidikan ke rechtschool di Batavia. Juga interaksi sosialnya dengan sesama kaum pelajar dan anak kos di Gondangdia. Sekaligus bagaimana bersiasat pada masa sulit dalam memperjuangkan gagasan-gagasan kebangsaan.

Buku ini juga berhasil menarik masuk pembaca ke dalam fase perjuangan pemuda menjelang Kongres Pemoeda I dan Kongres Pemoeda II, termasuk tentang Perhimpoenan Kaoem Betawi yang dipimpin Moh Husni Thamrin, dan pembentukan Pemoeda Kaoem Betawi dengan mempersilakan Tabrani (pemuda asal Madura) memimpin pertama kali organisasi tersebut.

Sesuatu yang tak hanya merupakan cermin watak kosmopolitan dan egaliterian, tetapi sekaligus mencerminkan kecerdasan siasat dalam menghadapi situasi. Kendati akhirnya mesti dipimpinnya sendiri. Pada Bab II, buku ini memantik gagasan yang berdimensi jauh dan mengusik pandangan tentang manusia dan budaya, tentang Betawi pituin dan Betawi mukimin (Betawian).

Cupu Manik Astagina

Dari perspektif budaya, dari Bab I sampai Bab III buku ini berhasil pula menghadirkan sesosok tokoh laksana ‘cupu manik astagina’ yang selama ini tertutup cindai sejarah formal, sehingga peran sang tokoh terabaikan. Buku ini, membuka cindai tersebut, sehingga terkuak berbagai hal di balik sejarah Sumpah Pemuda dan perjuangan puncak kemerdekaan Republik Indonesia.

Sikap tawaddu’ Rochjani Soe’oed menyimpan delapan nilai tasawwuf, yakni : sabar, zuhud, wara,’ tahalli, tawakkal, muraqabah, dan khusnudzon yang sangat relevan di setiap zaman. Hal tersebut tercermin dari ungkapan langsung adik, ipar, anak, dan cucu yang menjadi nara sumber primer buku ini. Hal tersebut tercermin dalam sosoknya sebagai hakim yang adil, jujur, hidup harmonis dan sederhana.

Bandingkan dengan kasus mutakhir yang mengemuka ihwal hakim agung dan mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung yang menjadi ‘makelar kasus.’ Sesuatu yang mengingatkan kita pada legenda ‘hakim beruk.’ Atau pameo klasik, dua dari tiga hakim, berada di neraka (sumber petaka). Pun kasus-kasus pelanggaran hukum dan etika Hakim Konstitusi beberapa waktu berselang.

Nilai-nilai kehidupan yang diwariskan M. Rochjani Soe’oed kepada anak cucunya dan pilihan akhir pengabdiannya di dunia akademik mengabdikan ilmunya, menunjukkan anak Betawi Tenabang ini memang laksana ‘cupumanik astagina.’

Karenanya, menarik apa yang dikemukakan Yasmien Zacky Shahab – Guru besar Antropologi Universitas Indonesia ketika membedah buku ini, bahwa buku ini mestinya mengusik kesadaran dan aksi untuk meneliti (secara akademis) lebih jauh ihwal kalangan khashshas (elite) kaum Betawi. Mulai dari bagaimana konsep dan fungsionalisasi ruang di dalam rumah, menu dan cara makan, cara berpakaian, model interaksi sosial (pergaulan), serta acuan cara mentransfer nilai – norma berkehidupan dari sudut pandang didaktis dan pedagogis.

N. Syamsuddin Ch Haesy

Buku setebal 258 halaman dengan cover yang mencerminkan watak intelegensia – intelektualisma Rochjani Soe’oed ini, perlu dimiliki, dibaca dan dijadikan sebagai garis langkah baru. Khasnya dalam menempa kepemimpinan kalangan kaum Betawi. Sekaligus menjadi referensi para petinggi (di tengah sedikitnya elite) politik masa kini. Agar terbuka mata mereka untuk tak songong berkepanjangan dalam melihat konstelasi kaum Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta. Kini dan selamanya.

*) Ditulis oleh N. Syamsuddin Ch. Haesy, Budayawan.

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Headline