
Permata MHT, Jadilah Obor Abadi Buat Betawi
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Persatuan Masyarakat Jakarta (Permata) MHT, organisasi yang bakal berusia setengah abad tahun depan. Tetap solid dan bersatu, Permata. Jadilah obor abadi buat Betawi.
Bagi saya, ada yang menarik dari acara buka puasa bersama (bukber) organisasi kemasyarakatan (ormas) Permata MHT, Sabtu (22/3/2025) di Hai Seafood, Tomang, Jakarta Barat.
Tak ada konvoi, “ingar-bingar”, dan kerepotan wara-wiri layaknya saat ormas besar Betawi ngumpul. Semua yang hadir: Pembina, Pengurus, perwakilan Korwil, maupun undangan, tampak santai. Seperti aliran air dan angin, mengalir lembut menyentuh tanah dan sejuk menerpa pipi.
Padahal, Permata MHT bisa disebut sebagai salah satu ormas Betawi tertua di Jakarta. Bahkan mungkin saat ini tertua yang masih aktif berkegiatan. Permata yang berdiri pada 1976 dan tercatat sebagai pendiri Bamus Betawi, tahun depan memasuki milad emas – 50 tahun. Sebuah pencapaian yang tidak gampang.
Saat banyak ormas Betawi bergulat dengan dualisme kepemimpinan, bahkan silang pendapat di ruang sidang dan lapangan. Permata memilih “jalan damai” untuk menjaga persatuan. Permata memang bukan ormas yang mengedepankan aksi massa. Ibarat partai, dia partai kader berideologi “tengah” yang bisa menerima dan diterima semua kalangan.
Jadi apa rahasia panjang umur dan minim konflik ala Permata? Usai buka puasa, saya sempat berbincang dengan Muhammad Nuh atau Bang Haji Nuh, Ketua Harian DPP Permata MHT. Pria berusia 75 tahun yang masih sangat energik ini bicara gamblang soal filosofi kepemimpinannya di Permata MHT.
“Paling utama sebenarnya, pemimpin harus bisa menjaga lisan,” ucap Haji Nuh, sembari meletakkan telunjuk di dua bibirnya. Banyak persoalan yang muncul lantaran lisan yang tidak terjaga. Jadi, teladan jargon damai dan bersatu itu indah kudu dimulai dari para pemimpin. Yang di bawah tinggal mencontoh. Pendek kata, pemimpin jangan suka bikin gaduh.
TIGA PRINSIP PENTING
Selain menjaga lisan, tiga prinsip penting yang disebut Haji Nuh sebagai rahasia panjang umur dan persatuan Permata adalah:
Pertama, utamakan musyawarah.
Kedua, selalu menjaga silaturahmi.
Ketiga, jadilah solusi (bukan kompor meledug) di mana pun kita berada.
Musyawarah selalu jadi resep manjur ketika ada masalah menerpa organisasi. Khususnya soal uang yang kerap jadi sumber keributan. “Jangan jual organisasi demi uang atau kepentingan pribadi. Jika ada persoalan menyangkut uang, pengurus harus duduk bersama untuk membicarakan,” sebut Haji Nuh. Dia bilang, tradisi ini selalu dipelihara Permata sejak berdirinya hingga kini.
Silaturahmi juga jadi kunci dalam menjaga persatuan. Hargai orang-orang yang pernah berjasa pada organisasi. Jika si tokoh sudah wafat, undang anak atau cucu hadir di acara-acara organisasi. “Jangan seperti kacang lupa kulit,” tegas Nuh.
Di acara bukber, saya memang menyaksikan putra-putri para tokoh Permata yang sudah wafat diundang. Bukan hanya diundang, ada bingkisan juga buat mereka.
PAHLAWAN PERMATA MHT
Keluarga para “Pahlawan Pernata MHT” yang diundang adalah putra-putri almarhum H.A. Sjarief Mustafa, alm. H. Sanusi Abubakar, alm. K.H Djabir Chaidir Fadil, alm. H. Mawardi, alm. H. Amarullah Asbah, alm dr. H. Abdul Syukur, alm. H. Saibin, dan alm. K.H. Zikrullah Rojali. Suasana kekekuargaan sangat kental terasa.
Prinsip ketiga, jadilah solusi di setiap kesempatan. Soal ini, Nuh panjang lebar menceritakan pengalamannya mendirikan komunitas Betawi, klub sepakbola, dan klub sepeda di kampungnya – Kota Bambu. Termasuk menjadi Pengurus DKM di empat masjid. Semua yang dia dirikan sejak 80-an, 90-an, hingga 2000-an itu masih bertahan utuh hingga kini. “Walaupun saya sudah enggak main bola dan main sepeda lagi,” bilangnya sembari terkekeh.
Solusi itu tidak semata soal uang atau materi. Tapi juga pemikiran dan kesediaan berbagi pengalaman, kemauan berkorban waktu, hingga keikhlasan memberi perhatian dan empati.
Terakhir, Haji Nuh menekankan pentingnya nakhoda organisasi bijak dalam menentukan arah dan mengambil keputusan. Ia mengibaratkan pimpinan organisasi sebagai sopir yang membawa banyak penumpang. “Di jalan tol, sopir bisa aja ngebut. Tapi buat apa kalau ujung-ujungnya celaka? Kalau jalan pelan-pelan lebih bisa membawa persatuan, keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, buat apa ngebut enggak karuan?” sergah Nuh.
Dia lalu mengibaratkan organisasi bak akuarium. Debit airnya harus dijaga, kebersihannya dijaga, suplai makanan dijaga. “Sehingga ikan-ikannya bisa tinggal dengan nyaman,” tutup Nuh. Sebuah perumpamaan yang indah.
Malam makin tenggelam. Tak terasa percakapan sudah berlangsung dalam hitungan jam. Saya pamit dengan membawa pulang catatan filosofi kepemimpinan seorang sepuh Betawi sekaligus sepuh Permata MHT, organisasi yang bakal berusia setengah abad tahun depan. Tetap solid dan bersatu, Permata. Jadilah obor abadi buat Betawi.
*) Ditulis oleh Muhammad Sulhi Rawi, Pengarah Forum Jurnalis Betawi (FJB).