
Pemerintah Undang Perusahaan Amerika Investasi Kilang
INDOWOR.ID, JAKARTA: Pemerintah Indonesia mempertimbangkan menggandeng investor asal Amerika Serikat (AS) untuk mendukung pembangunan kilang minyak di negeri ini. Langkah itu sebagai respons terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, proyek strategis nasional (PSN) seperti pembangunan kilang minyak bisa melibatkan penggunaan komponen dari AS. Alhasil, volume impor dari AS ke Indonesia akan naik.
Harapannya, hal ini dapat mendorong Presiden Donald Trump untuk memberikan relaksasi atau menurunkan tarif resiprokal terhadap produk Indonesia.
“Indonesia dalam proyek strategis nasional akan membangun beberapa proyek, termasuk refinery dan mungkin salah satu komponennya kita beli dari Amerika,” ujar Airlangga, dalam keterangan resmi kepada media.
Pemerintah memang berencana membangun kilang minyak dengan kapasitas total 1 juta barel per hari (bph) di beberapa lokasi di Indonesia.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengaku masih menunggu arahan lebih lanjut dari pemerintah terkait kebijakan meningkatkan impor migas dari negeri Paman Sam tersebut.
“Kami tunggu arahan pemerintah,” kata dia kepada KONTAN, Selasa (8/4).
AS masih enggan
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal, dikutip dari Kontan Insight, enilai realisasi investasi AS di sektor migas sejatinya masih penuh tantangan. Dia menyambut baik rencana pemerintah untuk menggandeng investor asing dalam pembangunan kilang, termasuk dari Amerika.
Namun ia mempertanyakan keseriusan dan minat investor AS, mengingat pengalaman sebelumnya.
“Setiap kali Pertamina mengundang investor dari Amerika, seperti Blackrock, untuk proyek kilang, mereka selalu menolak. Artinya ada yang perlu dievaluasi dari daya tarik proyek kita,” ungkapnya.
Menurut Moshe, proyek kilang minyak memiliki kompleksitas tinggi dan tingkat pengembalian ekonomi yang relatif rendah dibandingkan proyek energi lainnya.
Misalnya seperti proyek pembangkit listrik atau pusat data.
“Kalau proyek sesederhana data center saja Amerika lebih memilih Vietnam atau Thailand, apalagi kilang minyak yang lebih kompleks dan berisiko tinggi,” tukas dia.
Moshe pun menyarankan pemerintah untuk tidak asal menawarkan proyek kilang, melainkan menyiapkan insentif dan struktur investasi yang benar-benar menarik.
Ia menilai hanya dengan skema yang tepat, investor Amerika bisa tertarik membawa teknologi dan modalnya ke Indonesia.
“Kita bersaing dengan negara lain yang juga menawarkan opsi investasi.
Pemerintah harus benar-benar menyiapkan penawaran yang matang, jangan sampai proyeknya jadi zonk,” pungkas Moshe.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar memandang rencana pemerintah melibatkan Amerika Serikat dalam proyek kilang di Indonesia merupakan langkah yang bagus.
“Pemerintah harus serius dan intensif melobi AS agar benar bisa kerja sama membangun kilang minyak di Indonesia,” ujar dia, kemarin.
Bisman menjelaskan, keuntungan melibatkan AS dalam proyek kilang yakni akan ada investasi besar masuk di sektor migas. Dus, tarif impor komoditas dari Indonesia bisa lebih rendah sehingga secara ekonomi masih visibel. Langkah tersebut juga dapat memperkuat hubungan diplomatik dan kerja sama ekonomi Indonesia dan AS.
“Serta yang sangat diharapkan adalah transfer teknologi dan memancing investasi lainnya untuk masuk,” tutur dia.
Namun, kata Bisman, perlu menjadi catatan juga jika nantinya investasi dari AS di sektor migas ada sisi negatifnya, yaitu Indonesia jadi bergantung kepada AS di sektor energi dan hal ini rawan dari aspek keamanan dan kedaulatan energi Indonesia.