Inilah Empat Proyek yang Membesarkan Hutama Karya
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Deretan karya monumental yang diselesaikan oleh Hutama Karya dengan Ir Sutami sebagai orang nomor satu selama 1961—1966 bisa menggambarkan nilai-nilai yang tertanam sejak awal di BUMN ini. Talenta muda menjadi energi besar yang menggerakkan perusahaan sehingga Hutama Karya menjadi kontraktor nomor satu di Indonesia pada periode tersebut.
Behind the scene pembangunan Jembatan Semanggi, Jembatan Ampera, Gedung MPR/DPR, dan Patung Dirgantara juga memperlihatkan ada benang merah yang saling berhubungan. Tantangan besar itu tidak bisa diselesaikan dengan sesuatu yang biasa-biasa saja. Harus ada keberanian untuk melakukan terobosan.
Deretan karya monumental berikut ini menjadi bukti bahwa Hutama Karya semasih berbentuk perusahaan negara (PN) telah menerapkan nilai-nilai dalam tagline yang puluhan tahun kemudian ditetapkan oleh manajemen penerus Sutami; Inovasi Untuk Solusi.
JEMBATAN SEMANGGI
Jembatan Semanggi merupakan megaproyek pertama Hutama Karya yang dibangun untuk menyambut pesta olahraga Asian Games ke-8 pada 1962.
Presiden Sukarno berkeinginan membangun sarana yang bisa menghubungkan pusat pesta olahraga di Gelora Senayan (Gelora Bung Karno sekarang) dengan jalan-jalan sekitar. Setelah menggelar sayembara, Presiden Sukarno menunjuk Sutami yang saat itu sedang dipercaya menjadi direktur Hutama Karya.
Sementara itu, Sutami seorang insinyur muda bersama Hutama Karya mengajukan desain berupa jembatan portal dengan kaki-kaki miring dengan bentang 50 meter. Sebagai mitra, Sutami menggandeng perusahaan asal Swiss, BBRV, dengan teknologi beton prategang yang relatif baru di Indonesia.
Seperti Bung Karno, semula banyak orang yang ragu apakah anak-anak muda Indonesia mampu menyelesaikan pembangunan proyek prestisius tersebut? Apalagi, Sutami menerapkan teknologi baru, konstruksi beton prategang ala BBRV Swiss.
Setelah mendapat sentuhan tangan seni langsung dari Sukarno, desain jembatan karya Sutami tampak semakin indah. Oleh karena bentuknya menyerupai daun semanggi, bangunan tersebut kemudian diberi nama Jembatan Semanggi.
JEMBATAN AMPERA
Sutami bersama jajaran di BUMN karya kembali diberi tantangan oleh Presiden Sukarno. Membangun jembatan yang melintang di atas Sungai Musi di Sumatera Selatan untuk menghubungkan dua wilayah di Kota Palembang. Keberadaan infrastruktur jembatan diharapkan mampu menjadikan transportasi dua kawasan itu lancar sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian.
Pekerjaan konstruksi jembatan dimulai pada April 1962 dan diresmikan oleh Presiden Ir. Sukarno pada 19 Juli 1966. Biaya pembangunan jembatan ini diambil dari dana pampasan perang Jepang.
Jembatan ini mulanya bernama Jembatan Bung Karno. Namun, setelah Sukarno lengser dan gerakan anti Sukarno menguat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Jembatan Ampera, menurut laman resmi Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR), memiliki panjang 1.177 meter dengan bagian tengah 71,90 meter, berat 944 ton, dan dilengkapi pembandul seberat 500 ton. Tinggi jembatan 11,5 meter dari permukaan air sedangkan tinggi menara 63 meter dengan jarak antara menara sekitar 75 meter.
Ketika baru pertama didirikan, Jembatan Ampera merupakan jembatan gerak. Bagian tengah jembatan bisa diangkat dengan peralatan mekanis untuk mengantisipasi seandainya ada kapal besar yang berlayar di Sungai Musi. Dengan badan jembatan yang bisa diangkat ke atas, maka tiang kapal tidak tersangkut badan jembatan.
Sejak 1970, Jembatan Ampera tidak lagi di naik turunkan dan jembatan pun menjadi jembatan tetap.
PATUNG DIRGANTARA, WARISAN TERAKHIR SUKARNO
Hutama Karya di bawah kepemimpinan Sutami kembali dipercaya mengerjakan proyek yang idenya berasal dari Presiden Sukarno. Kali ini berupa Patung Dirgantara (dikenal pula sebagai Monumen Dirgantara) yang kemudian lebih dikenal sebagai Patung Pancoran. Lokasinya persis di depan Markas Besar TNI Angkatan Udara ketika itu.
Melalui patung ini, Bung Karno ingin menunjukkan kehebatan bangsa Indonesia di bidang dirgantara sekaligus menjadi penggambaran watak bangsa Indonesia yang jujur, berani, dan bersemangat. Patung ini dinamai “Dirgantara”, yang berarti “ruang yang ada di sekeliling dan melingkupi bumi, terdiri atas ruang udara dan antariksa” dan didirikan di dekat Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia sebelum akhirnya pindah ke Cilangkap.
Pengerjaan patung dimulai oleh Edhi Sunarso dan Hutama Karya pada 1964 dan direncanakan selesai selama satu tahun. Namun, penyelesaian proyek tersebut molor karena terjadi peristiwa Gerakan 30 September pada 1965. Setelahnya, penyelesaian monumen terhenti akibat tidak adanya dana.
Sampai tahun 1967, Landasan telah berdiri kokoh, dan patung karya Edhi Sunarso pun telah selesai dikerjakan. Namun, tidak ada dana untuk dapat memindahkan patung ke atas landasan. Penyelesaian proyek Patung Dirgantara baru dapat terlaksana setelah Sukarno menjual mobil pribadinya seharga sekitar Rp 1,25 juta pada tahun 1967. Uang itulah yang digunakan untuk memasangkan patung ke atas landasan Monumen Dirgantara.
Sampai saat ini, Patung Dirgantara tampak gagah berdiri menjulurkan tangan ke langit, meskipun telah terhalang oleh ramainya bangunan di sekitarnya.
GEDUNG MPR/DPR
Bangunan di kawasan Senayan terlihat unik karena konstruksinya menyerupai kura-kura. Pembangunan dimulai pada 1965 dan selesai pada 1968. Enam kontraktor ditunjuk untuk membangun kompleks yang awalnya diniatkan menjadi political venues oleh Presiden Sukarno.
Menurut buku Gedung MPR-DPR RI Sejarah dan Perkembangannya yang disusun Sekretariat Jenderal MPR/DPR bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (Agustus 1995), PN Hutama Karya ditunjuk untuk membangun main conference building.
Sama seperti di proyek Jembatan Semanggi, sayembara untuk merancang political venues yang digagas Sukarno digelar lebih dulu yakni pada 1964. Singkat cerita terpilihlah desain karya arsitek papan atas Soejoedi Wirjoatmodjo sebagai pemenang. Soejoedi tidak sendiri. Dia dibantu oleh asistennya, arsitek muda Nurpontjo. Dan satu nama lagi, Ir Sutami yang bertindak sebagai pelaksana pembangunan bersama dengan Hutama Karya.
Pada 19 April 1965, tiang pertama ditancapkan sebagai tanda dimulainya proyek political venues untuk menyambut Conference of The New Emerging Forces (Conefo) yang akan digelar pada 1966. Mau tidak mau, proyek tersebut harus selesai sebelum itu. Peristiwa pada 30 September 1965 membuat tenggat tersebut terlewati.
Kekuasaan Orde Lama tumbang. Sukarno lengser dari kursi presiden. Conefo juga batal digelar. Namun, pembangunan venues tersebut tetap dilanjutkan oleh Presiden Soeharto dengan mengubah pemanfaatan kompleks tersebut menjadi Gedung MPR/DPR.