Pelarangan Ekspor CPO di Antara Kepentingan Nasional dan Dampak Global
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Pelarangan sementara ekspor CPO dan turunannya, bertujuan pembelajaran. Karena itu, kalkulasinya tidak bisa menggunakan kalkulasi bisnis, ekonomis. Tapi kalkulasi politis.
Seperti ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia, kelangkaan minyak goreng sawit di dalam negeri adalah ironi besar. Lebih dari itu, kepentingan rakyat diletakkan di tempat yang tertinggi. Mengalahkan kalkulasi bisnis.
Dalam pandangan ekonomi Hasan Zein Mahmud, berpikir positif, banyak blessing in disguise di balik kebijakan itu. Masyarakat akan dibanjiri minyak goreng dengan harga terjangkau. Bayangkan bahagianya para penjual gorengan dan angkringan di kaki lima. Boleh jadi harga cokelat, sabun mandi, deterjen, kosmetik ikut terseret turun. Bukan mustahil juga mayones dan berbagai dressing.
Alasan pelarangan itu, semata mempertimbangan kepentingan nasional. Tapi dampaknya sangat global. Minyak goreng sawit merupakan edible oil yang paling murah di dunia. Juga paling banyak dikonsumsi.
AKIBAT PERANG
Minyak matahari sudah langka akibat perang Rusia-Ukraina. Amerika Selatan, pusat penghasil kedele dunia, mengalami kekeringan. Demikian juga Kanada penghasil terbesar minyak kanola. Kasihan juga India dan China.
“Indonesia’s supply of edible oil to the world is ‘impossible to replace,’ said Carlos Mera, head of agricultural commodity markets research at Rabobank”. It’s definitely a big blow”
Kemarin harga kontrak CPO Juni di Bursa Malaysia naik 6%. Kontrak Soybean oil di NYBOT naik hampir 3%! Uni Eropa yang selama ini “memusuhi” CPO dan turunannya, mulai kasak kusuk. Persis seperti sikap “benci tapi rindu” mereka terhadap batubara. Makanan panggang mulai kosong di rak rak para grosir di Amerika Serikat.
BUKAN NEGARA KALENG-KALENG
Dunia internasional makin paham Indonesia bukan negara kaleng kaleng. Kebijakan ini akan menjadi salah satu pemicu makin liarnya inflasi yang kini menghantui ekonomi global. Perdebatan pun mulai sengit antara menggunakan minyak nabati untuk makanan atau untuk energi
Pada tahun 2021, produksi plus persediaan CPO di Indonesia mencapai 56 juta ton. Sebanyak 34% diekspor dalam bentuk CPO dan turunannya, kecuali minyak goreng. Sebanyak 36% diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng. Minyak goreng itu, kemudian 75% diekspor dan 25% untuk konsumsi domestik.
Berandai-andai, bila minyak gorengnya saja yang dilarang ekspor, sudah cukup untuk membanjiri pasar domestik. Tapi pengusaha memang “licin”. Mereka bisa berhenti memproduksi minyak goreng, dan mengekspor saja CPO nya, pada harga yang sedang tinggi-tingginya saat ini
Makanya CPO nya pun perlu dilarang ekspor. Semoga kita belajar. Ada huruf S dalam slogan ESG yang diteriakkan praktis oleh semua mulut pengusaha.