Masa Depan Weltevreden, Aset Betawi Jadi Destinasi Wisata
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Kami memilih kafe ‘Filosofi Kopi’ di Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta Pusat, untuk temu kangen karena asyik untuk kongkow, sekalian halal bihalal, setelah rencana pertemuan beberapa kali tertunda – terutama akibat pasang surut pandemi Covid19, dua tahun terakhir.
Sembari menyeruput kopi dan mengudap roti Croisant, Panecake, dan Singkong Goreng, pagi hingga siang kemarin (Sabtu, 21 Mei 2022) itu kami memandangi Gedung Antara di seberang kali – yang sangat bersejarah bagi para wartawan jadul.
DESTINASI WISATA
Kami terkenang ucapan Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) tentang kali di depan kawasan Pasar Baru itu. Semasa jadi Gubernur DKI Jokowi ingin menjernahkan kali di seberang Kantor Pos Pusat ini untuk ditebar banyak ikan sebagai salah satu destinasi wisata.
Gagasan itu mandeg. Program sungai bersih tak dilanjutkan penggantinya. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sibuk mencegah banjir. Baru di penghujung jabatan Anies Baswedan kini nampak lagi geliatnya. Mesin pemasang turap bertalu-talu. Juga pengeruk sungai. Tapi entah untuk apa nantinya.
Kecuali Bang Lahyanto Nadie, jurnalis senior, alumni Bisnis Indonesia yang asli Betawi, saya dan Mas Toto Irianto adalah pendatang. Saya dari Banyumas, sedangkan Mas Toir alias Toto Irianto dari Cirebon.
Tapi karena lamanya kami tinggal di Jakarta – sejak remaja hingga beranak cucu – kami jadi peduli pada masa depan Betawi.
“PakDhe Dimas ini sudah sah jadi orang Betawi. Karena dapat dua anak [dan cucu] dari wanita Betawi, ” kata Bang Lahyanto, meyakinkan.
Wilayah Betawi membentang dari Cikarang, Bekasi di Timur, hingga Sungai Cisadane, Tangerang di Barat, dari Cilebut – Bogor di Selatan hingga pulau Seribu di utara.
“Batas jelasnya, bahasa dan budaya. Selagi tidak berbahasa Sunda dia orang Betawi, ” kata bang Nadie, sembari tersenyum.
“Ibu kota sebentar lagi pindah. IKN sedang dibangun di Kalimantan. Bagaimna masa depan Jakarta selanjutnya? ” sambut Mas Toir, mantan Pemred dan CEO Pos Kota.
Lontaran gagasan dan keresahan Mas To’ir mau tak mau membikin kami tercenung. Apalagi ketika Mas Toir mendasak menyebut Weltevreden.
PUSAT PEMERINTAHAN
MEMBUKA sejarah kolonial, Weltevreden merupakan kota baru yang menjadi pusat pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1762 – 1818) serta kediaman masyarakat Eropa di Hindia Belanda.
Merujuk ke Wikipedia, pada akhir abad ke-18, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan mereka sekitar 4 kilometer ke selatan, dari Distrik Batavia (sekarang Kota Tua ) ke Weltevreden (Jakarta Pusat kini)
Pemerintahan Daendles mendirikan beberapa bangunan penting di kawasan barunya, termasuk alun-alun. Ada dua alun-alun utama di Weltevreden di antaranya Buffelsveld yang digunakan untuk menggembala kerbau – yang kini dikenal sebagi Lapangan Monas dan Paradeplaats atau Tanah Parade, kemudian berganti nama menjadi Waterlooplein, yang sekarang disebut Lapangan Banteng.
Weltevreden adalah juga merupakan daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, Hindia Belanda dari Batavia Lama ke arah selatan. Cakupannya kini membentang dari Sawah Besar, RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah di Jl. Merdeka Barat.
TENANG DAN PUAS
Weltevreden dalam bahasa Belanda berarti “dalam suasana tenang dan puas”.
Di masa pemerintahan Daendels (1808 – 1811), Weltevreden dikembangkan jadi pusat pemerintahan menggantikan kota lama di Kasteel Batavia atau Kota Tua – peninggalan Jan Pieterszoon Koen.
Tanah Abang, Gondangdia, Nieuw-Gondangdia, dan Meester Cornelis (Jatinegara) berkembang menjadi kawasan pemukiman, yang bukan hanya dihuni penduduk biasa, melainkan kalangan kolonial elit Belanda.
Sangat berbeda dengan Distrik Batavia (Kota Tua) yang banyak dihuni penduduk bumiputera dan masyarakat miskin, di Weltevreden, pemukiman penduduk miskin dan bumiputera tinggal jauh dari jalanan.
Seiring waktu, Weltevreden berkembang pesat, tidak hanya untuk Batavia, melainkan seluruh jaringan kantor dagang dan koloni Belanda yang berada di Deshima (Jepang) hingga Cape Town (Afrika Selatan).
Gedung Kementerian Keuangan dan Lapangan Banteng merupakan salahsatu ikon peninggalan Weltrevredeen.
APA yang perlu kami lakukan untuk Weltrevreden? Itulah pokok bahasan kami – siang kemarin.
MENGGAGAS WISATA SEJARAH
Belajar dari Pemerintah Singapura, China, dan Eropa yang piawai merawat kota-kota tua mereka dengan cantik menarik, kami mengggas Wisata Sejarah di kawasan Weltrevreden.
Bagaimana ujudnya? Itulah yang sedang kami pikirkan, sembari menyeruput kopi, ngobrol ngalor-ngidul, dan memandangi kali di gedung Antara.
Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, Bang Lahyanto Nadie memberi hadiah buku terbitannya. Yang dibingkiskan kali ini berjudul Betawi Metropolitan, Merawat Jakarta Paling Pintu Indonesia karya Bang Yahya Andi Saputra, seniman dan budayawan Betawi. Saya akan bahas tersendiri buku tebal ini setelah membacanya. Insya Allah.
*) Ditulis oleh Dimas Supriyanto, Wartawan Senior
What is your reaction?
0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly