Kasus Tembak Polisi: Liputan Wartawan dan Sikap Dewan Pers
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Kasus polisi menembak rekannya sesama anggota korps Bhayangkara di rumah dinas Kepala Divisi Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo perlu dicermati. Saya melihatnya dari perspektif jurnalistik.
Media massa utama masih belum optimal memberikan informasi yang akurat dan berimbang. Saya lebih ingin mengkritisi kerja media dalam memberitakan kasus itu. Kenapa? Berita tentang kasus polisi tembak rekan seprofesi ini, media hanya memberitakan apa yang dikatakan polisi.
Menurut wartawan senior Yus Husni Thamrin, media terkesan tidak tahu ‘pertanyaan dasar’ (dan penting) apa yang seharusnya diajukan. Memang ini bukan kasus besar tapi menarik, karena mempertaruhkan kejujuran, kredibilitas, dan integritas Polri, tulis Yus dalam akun media sosialnya.
Pada kasus seperti itu, seharusnya diajukan pertanyaan sederhana, “Apakah keluarga Kadiv Propam sehari-hari tinggal rumah itu?” Jika jawabannya tidak, pertanyaan itu menjadi penting dan bisa dikembangkan, mengingat kejadiaannya pada pukul 17.00, di mana jam itu bukan waktunya tidur, atau tidur siang.
BANYAK KEJANGGALAN
Karena dalam keterangan polisi banyaknya kejanggalan, kenapa tidak mewawancarai pakar psikologi, psikiater, atau pakar komunikasi, tapi tidak hanya bertanya “Bagaimana menurut pendapat Anda tentang kasus itu?”
Wartawan dapat mengambil pernyataan resmi dari polisi tentang kasus itu sebagai titik pertanyaan.
Pertama, pernyataan kata polisi, polisi J masuk ke kamar istri jenderal.
Pertanyaan:
- Dengan standar disiplin Polri yang diterapkan saat ini, apakah dibenarkan seorang sopir berpangkat bintara, masuk ke kamar istri seorang jenderal?
- Jika tidak dibenarkan, faktanya seorang sopir berpangkat bintara masuk ke kamar istri seorang jenderal. Apakah karena dia nekat (gak tahan nafsu)? Apakah karena dia dipanggil? Atau karena sudah biasa?
- Kalau karena dia nekat gak tahan nafsu, apakah dia jadi anggota Polri tidak melalui psikotes? Apakah dia menjadi sopir istri jenderal tidak lewat tes ini itu? Karena konskuensi dari tindakan neyelonong ke kamar istri jenderal (atasannya) lalu melakukan pelecehan seksual, minimal dipecat dari Polri. Itu pasti.
Kalau masalahnya nafsu syahwat sama perempuan, BJ ini termasuk polisi ganteng, nggak susah bagi dia untuk cari pasangan, mau yang usianya berapa tinggal milih, tanpa risiko pula. Jadi, sulit dipercaya kalo BJ sampe harus melakukan pelecehan seksual terhadap ibu jenderal?
Kedua, pernyataan kata polisi, setelah masuk ke kamar, hendak melakukan pelecehan seksual, lalu BJ menodongkan senjata ke kepala istri jenderal.
Pertanyaan:
- Apa tujuan BJ menodongkan senjata ke kepala istri jenderal itu? Kalau ketahuan (sama BE) BJ tahu, menodongkan senjata atau tidak, konsekuensinya sama: minimal
- Kalau benar BJ hendak melakukan pelecehan seksual, lalu marah karena ditolak sama ibu jenderal lalu menodongkan senjata, pertanyaannya balik ke: Apakah dia jadi anggota Polri tidak melalui psikotes? Apakah dia menjadi sopir istri jenderal tidak lewat tes ini itu? Karena konskuensi dari tindakan pelecehan seksual terhadap istri jenderal (atasannya) minimal dipecat dari Polri. Pasti BJ tahu.
Ketiga, beberapa hari lalu, semua stasiun TV menayangkan adegan ketika Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadhil Imran menemui Kadiv Propam Irjen Pol. Ferdy Sambo (suami dari istri yang kata polisi hampir menjadi korban pelecehan seksual). Di situ terlihat dan disebutkan oleh presenter TV, Ferdy S. menangis di pundak Fadhil.
Pertanyaan:
- Mengapa Ferdy tampak begitu sedih sampai menangis di pundak Fadhil? Kalau benar peta persoalannya seperti yang dikemukakan polisi, toh secara fisik istrinya tidak kenapa-napa, hanya shocked, terguncang.
- Apakah dia sedih karena kehilangan satu anak buahnya (BJ)? Dia itu Kadiv Propam, kepala polisinya polisi. Kasus-kasus seperti itu sudah domain tugasnya.
Jadi … coba deh kalau beritanya mau diapresiasi pembaca, sebelum meliput dan menulis berita, para jurnalis hendaknya memahami dulu persoalannya. Setelah paham pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan logis. Catat pertanyaan itu.
Kalau tidak bisa ditanyakan ke polisi, tanyakan ke pakar psikologi, psikiater, atau pakar komunikasi. Jangan menyertakan opini, dan gak usah pake judul yang bombastis. Pasti beritanya menarik dan bisa dipertanggungjawabkan.
SAMBANGI DEWAN PERS
Dalam perkembangan lainnya, tim pengacara Arman Haris dan rekan menyambangi Dewan Pers. Mereka melakukan konsultasi sehubungan dengan pemberitaan yang terkait dengan kasus meninggalnya Brigadir J.
Mereka meminta masukan dan arahan Dewan Pers sehubungan dengan pemberitaan kasus tersebut yang kian melebar ke mana-mana. Mereka tidak memprotes isi berita. “Kami hanya berkonsultasi dan memohon pada rekan-rekan media agar opini pers tidak malah berkembang ke mana-mana,” kata Arman yang menjadi pengacara istri Irjen Ferdy Sambo, Jumat (15/7) di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Ketika ditanya berita apa yang membuat tim pengacara dan keluarga keberatan, Arman tidak bisa menyebut satu per satu. Dia hanya mengimbau agar pers juga memiliki empati.
Dalam konsultasi itu tim pengacara istri Ferdy Sambo diterima oleh beberapa anggota Dewan Pers. Mereka antara lain Yadi H. Hendriana (ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers), Totok Suryanto (ketua Komisi Hubungan Antarlembaga), Ninik Rahayu (ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi), dan Asmono Wikan (ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi). Hadir pula beberapa tenaga ahli Dewan Pers.
Arman menambahkan supaya pers juga memiliki empati terhadap korban dan keluarganya. Pers juga diminta untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam pemberitaan. Termasuk tidak menyebut nama korban kejahatan susila.
Pada kesempatan itu, Yadi menjelaskan bahwa isu terbunuhnya polisi di rumah dinas perwira tinggi kepolisian itu amat seksi atau banyak menarik perhatian publik. Adalah tugas pers untuk memberitakan hal ini. Akan tetapi, jangan sampai muncul pemberitaan yang sifatnya menghakimi. “Pers harus tetap menjunjung asas praduga tak bersalah,” tutur Yadi.
Dia mengingatkan pers harus menghindari sumber yang tidak berkompeten dalam kasus ini. Apalagi informasi yang bersifat spekulatif, ujarnya, itu harus juga dijauhi dalam pemberitaan.
Yadi meminta pula hak-hak privasi korban dihormati oleh pers dalam pemberitaan kasus ini. “Berita yang memberi implikasi positif bagi publik sebaiknya dikedepankan.”
Namun yang lebih penting adalah pers harus ingat fungsinya sesuai UU No. 40/1999 yaitu memberikan informasi, mengedukasi, menghibur dan sebagai kontrol sosial. Yang terakhir ini sangatlah penting, jangan lantas karena menyangsung sang jenderal, pers tidak mampu bersikap kritis.