Jalan Tol Trans Sumatra Mampu Meningkatkan Perekonomian
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: “Jangan takut, saya akan back-up untuk kepentingan itu”. Pesan itu disampaikan Presiden Jokowi ketika melakukan peresmian Ruas Tol Bakauheni – Terbanggi Besar (Bakter) dan Palembang – Indralaya di Sabah Balau, Lampung Selatan (30 April 2015) yang merupakan bagian dari Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). Sebelumnya, 10 Oktober 2014, JTTS pertama kali groundbreaking oleh Menko Perekonomian Chairul Tanjung di Ruas Medan-Binjai, Sei Semayang, Deli Serdang. Kemudian, 27 Januari 2015, Jokowi melanjutkan peresmian melalui video conference dari Kuala Tanjung.
Di hadapan para menteri, gubernur, dan BUMN yang terlibat dalam pengerjaan tol tersebut, Jokowi seolah menyiratkan pesan bahwa pemerintah akan mendukung pembangunan, serta siap memberikan solusi atas segala kendala yang dihadapi. Tentu ada alasan kuat yang membuat Presiden Jokowi melempar peringatan seperti itu.
Proyek JTTS harus dibangun dengan akselerasi tinggi melihat begitu penting dan luasnya manfaat yang bisa didapat kalau infrastruktur tersebut terbangun. Sebagai pulau terbesar kedua dengan populasi melebihi 55 juta jiwa, Sumatra memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 Sumatra dengan aneka potensi yang dimiliki menyumbang 22,21% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Pembangunan JTTS sejatinya adalah tantangan dan sekaligus kepercayaan. Bagaimana tidak? Jalan tol yang menghubungkan Sumatra itu akan terdiri dari 24 ruas dengan panjang mencapai 2.765 km. Belum lagi tantangan dari sisi waktu. Dengan perintah Presiden agar Bakauheni sampai Banda Aceh sudah terhubung pada 2024, berarti pengerjaan proyek sepanjang 2.765 km harus selesai dalam waktu kurang dari 10 tahun. Tantangan lain yang tidak kalah besarnya adalah menyangkut pendanaan proyek. Estimasi dana total investasi JTTS yang dibutuhkan mencapai Rp476 triliun.
Sejarah Baru Indonesia
INDONESIA ingin menciptakan sejarah. Proyek pembangunan jalan bebas hambatan di Sumatra sudah lama direncanakan oleh pemerintah. Sejak 2004, JTTS sudah menjadi bagian dari Jalan Asia (Asian Highway Network). Pemerintah baru benar-benar merealisasikannya dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.100 tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatra.
Tak lama setelah itu, transisi kepemimpinan berganti, Presiden Jokowi kembali meneruskan rencana pembangunan JTTS dengan menerbitkan Perpres No. 117 tahun 2015 tentang Perubahan atas Perpres No.100 tahun 2014. Salah satu perubahan paling mendasar dalam ketentuan baru itu adalah pencantuman 24 ruas tol sebagai bagian dari JTTS dan penetapan delapan ruas tol prioritas.
Dalam Perpres No. 100 tahun 2014, pemerintah hanya menetapkan empat ruas tol prioritas yang terdiri atas: Ruas Tol Medan – Binjai, Ruas Tol Palembang – Simpang Indralaya, Ruas Tol Pekanbaru – Dumai, dan Ruas Tol Bakauheni – Terbanggi Besar. Sementara itu, dalam Perpres No. 117 tahun 2015 terdapat empat ruas jalan tol prioritas tambahan yang terdiri atas, Ruas Tol Terbanggi Besar – Pematang Panggang, Ruas Tol Pematang Panggang – Kayu Agung, Ruas Tol Palembang – Tanjung Api api, dan Ruas Tol Kisaran – Tebing Tinggi.
PT Hutama Karya (Persero) (Hutama Karya) mengambil peran penting sebagai pengembang dalam proyek JTTS. Pemilihan Hutama Karya bermula dengan dikeluarkannya Surat Menteri BUMN kepada Menteri Keuangan no S-485/MBU/2012 pada 5 September 2012.
Pokok bahasan surat itu adalah menugaskan Hutama Karya sebagai pengembang infrastruktur jalan tol serta menetapkan Hutama Karya sebagai BUMN yang 100% sahamnya dimiliki Negara untuk menjalankan penugasan pengusahaan Jalan Tol Trans Sumatera.
Strategi Pemerintah
Setidaknya ada tiga skema strategi pemerintah pembangunan infrastruktur.
Pertama, apabila infrastruktur itu layak secara finansial dan visibel, maka didorong untuk kerjasama dengan pihak swasta melalui Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
Kedua, apabila infrastruktur itu tidak layak secara finansial, namun secara bisnis dan ekonomi masih visibel maka BUMN atau swasta didorong dengan dukungan kelayakan melalui dukungan kebijakan dan permodalan.
Ketiga, apabila infrastruktur itu tidak layak secara finansial dan visible dari ekonomi maka pemerintah akan hadir untuk membangun infrastruktur itu. Dalam hal ini, pemerintah akan membiayai penuh melalui instrumen Penyertaan Modal Negara (PMN).
JTTS sampai saat ini, masih tergolong jenis infrastruktur ketiga di atas.
Visi Yang Kuat
Hutama Karya telah menerima total dari pemerintah hingga sekarang sebesar Rp33 triliun. Kenapa pemerintah rela mengeluarkan dana sedemikian besar? Jawabannya adalah visi jangka panjang terhadap perekonomian nasional. Kalau bukan peran negara, siapa yang memainkan peran penting ini.
Di sisi lain, kondisi Logistics Performance Index (LPI) dari World Bank untuk Indonesia sendiri yang masih lemah. Kalau ini dibiarkan terus menerus Indonesia tidak dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Pada 2010, Indonesia ada di urutan 75 dari 155 negara.
Sampai pada 2018 ada kenaikan cukup signifikan di peringkat 46, meskipun masih kalah dengan negara tetangga seperti Thailand (peringkat 32), Vietnam (39), dan Malaysia (41). Akibatnya, ongkos logistik menjadi tinggi. Maka tentu saja akan Hal itu akan menekan daya saing. Di samping itu, potensi sumber daya alam, baik terbarukan maupun non-terbarukan tidak akan terkelola secara optimal dari sisi produksi maupun distribusi.
Kontribusi Terhadap PDB
Sumatra adalah pulau terbesar kedua di Indonesia setelah Kalimantan. Namun, sangat disayangkan, pulau dengan julukan Swarnadwipa, yang artinya pulau emas, baru memberikan kontribusi sebesar 21,73 persen dari PDB nasional kita.
Artinya, sangat mungkin ini ditingkatkan dengan membangun infrastruktur yang memadai. Secara empiris, keberadaan jalan tol diperkirakan akan meningkatkan ekonomi di Sumatra. Di sinilah posisi JTTS semakin penting.
Dengan adanya JTTS diproyeksikan kontribusi Sumatra terhadap peningkatan PDB mencapai Rp900- Rp1.200 triliun, dengan asumsi peningkatan investasi baik infrastruktur maupun komoditas unggulan.
Contohnya saja, Sumatra adalah penghasil 70 persen kopi di Indonesia. Dengan kehadiran JTTS akan membuat beban biaya logistik berkurang 20%- 30%. Ekspor kopi sebelum pandemi bisa catatkan nilai USD 1,2 miliar per tahun.
Potensi Ekonomi
JTTS juga diproyeksikan akan meningkatkan pendapatan daerah sebanyak 30% bagi tiap provinsi yang dilintasi. Sebuah catatan penting, pada studi empiris dari dampak Interstate Highway yang dibangun oleh Presiden AS Ke-34 Dwight D. Eisenhower menggambarkan bahwa pengembangan wilayah haruslah juga memadukan informasi yang saling menghubungkan interkoneksi ke potensi wilayah di sekitar JTTS.
Itu sebenarnya sudah dilakukan di Jalan Tol Trans Jawa, di mana para pemangku kepentingan dan pihak swasta memberikan informasi kepada pengembang jalan tol untuk memberikan penekanan informasi ke arah tempat wisata, sentra perbelanjaan, dan destinasi kuliner. Itulah yang dinamakan multiplier effect.
Secara otomatis tentu saja dengan meningkatkan mobilitas dan aktivitas perekonomian dan bisnis, penyerapan tenaga kerja juga meningkat. Diproyeksikan peningkatan tenaga kerja sebesar 2,4 persen tenaga kerja di Pulau Sumatra.
Hal ini membuktikan bahwa pembangunan jalan tol ini telah membangkitkan stimulus terhadap perekonomian Indonesia dan memberikan dampak positif berupa penciptaan nilai tambah, pendapatan masyarakat, dan kesempatan kerja di sektor-sektor ekonomi.
Pada sektor ekonomi mikro, kehadiran JTTS membangkitkan gairah warga untuk berwirausaha. Kehadiran rest area membangkitkan gairah wirausaha masyarakat yang ada di sekelilingnya. Sementara itu, bagi sektor UMKM yang berada di sekitar pintu keluar tol (ramp) turut bertambah pengunjung. Selain itu, JTTS dari sektor ekonomi makro wilayah, juga memiliki nilai pada aspek pengembangan ekonomi wilayah. Salah satu bukti paling konkrit adalah sebagai konektivitas penghubung Kawasan industri. Setidaknya akan ada 14 pengembangan kawasan industri di Sumatra dan sekitarnya selama 2020– 2024 dengan 11 di antaranya terletak di sekitar JTTS.
Suatu Tantangan
terbesar dalam menjawab pembangunan JTTS adalah soal pendanaan. Sementara liabilitas Hutama Karya sudah cukup maksimal. Struktur aset perusahaan pada JTTS sumah mencapai 90% dari total. Sehingga secara strategi keuangan, Hutama Karya harus meningkatkan ekuitas dan menurunkan rasio utang.
Rencananya, asset recycling tersebut akan dilakukan pada beberapa ruas di Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), seperti Ruas Tol Bakauheni-Palembang, Ruas Tol Pekanbaru-Dumai, dan Ruas Tol Medan – Binjai. Hutama Karya telah membangun JTTS sepanjang lebih kurang 1.065 kilometer (km) dengan 534 km ruas konstruksi dan 531 ruas operasi.
Di tengah tantangan dan tanggung jawab yang besar itu. Hutama Karya terus melakukan upaya agar pembangunan JTTS tidak sekedar dianggap penugasan. Beberapa upaya tersebut telah dilaksanakan sebagai inovasi dan improvisasi transformasi perusahaan.
Pertama, menjalankan prinsip ramah lingkungan dalam melakukan konstruksi dan pengoperasian. Kedua, inovasi untuk solusi diaplikasikan dalam setiap pekerjaan konstruksi.
Keberadaan Yang Penting
Alhasil, keberadaan JTTS sangatlah diharapkan oleh berbagai pihak baik itu pemerintah maupun masyarakat baik itu kalangan pelaku usaha maupun sosial.
Semua daerah di sepanjang JTTS memiliki potensi yang bisa dikembangkan, oleh karena itu Hutama Karya membuat Sumatra Industrial Development, yaitu semacam studi tentang potensi unggulan suatu Kawasan.
Potensi yang akan berkembang seiring pembangunan JTTS secara umum yaitu pariwisata, perumahan, industri, educity, dll. Prioritas tersebut terletak pada satu kata kunci utama yaitu industrialisasi.
Dengan adanya sentra industri akan terjadi kehidupan manusia secara massal, karena akan datang para pekerja yang memiliki daya beli. Hal itu dapat menimbulkan kegiatan ekonomi baru.
Perusahaan akan terus memproduksi secara rutin, tidak berhenti, yang akhirnya mengurangi pengangguran dan penyerapan tenaga kerja.
Multiplier effect tidak berhenti di sana, karena akan muncul pula sekolah, masjid, dan rumah sakit. Banyak akvitas sosial yang akan menghidupkan suatu kawasan menjadi roda perekonomian baru.
Kegiatan ekonomi pastilah menimbulkan pergerakan orang dari satu kawasan ke kawasan lain. Di sanalah akan muncul peningkatan traffic. Harus direncanakan pembangunan yang optimum, sehingga akan meningkatkan lalu-lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan tol.
Hutama Karya memang membuka kesempatan kerja sama seluas-luasnya kepada berbagai pihak untuk mengembangkan sentra industri di sepanjang koridor jalan bebas hambatan dari Lampung sampai Aceh itu.