Sejarah Otomotif Dari Era CBU ke CKD
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Perubahan lanskap industri otomotif RI dari importir kendaraan jadi (CBU) menjadi perakitan komponen-komponen terurai (CKD) didorong oleh kebijakan industri pemerintahan Soeharto, yang memberikan proteksi berupa tarif impor tinggi.
Misalnya tarif impor (bea masuk) untuk mobil jadi (CBU) besaran umumnya dua kali lipat dari tarif impor mobil rakitan. Kemudian suku cadang tertentu mulai berganti dari daftar perangkat CKD impor. Dengan kata lain pemerintah melarang total impor terhadap suku cadang atau komponen tertentu. Belum lagi adanya hambatan nontarif untuk produk impor.
Studi lain tentang proteksi bagi kendaraan niaga impor (CBU) pada 1970-an adalah pemerintah mengenakan pajak untuk truk sebesar 30 persen, kendaraan niaga lainnya sebesar 50 persen, dan untuk mobil penumpang (sedan) sebesar 200 persen.
Kebijakan tarif ini bertujuan agar mobil impor memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil hasil produksi fasilitas perakitan lokal. Sehingga impor mobil utuh tidak ekonomis.
Dalam buku Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia 1950-1985, Ian Chalmers, sebuah laporan Unindo memperkirakan tingkat proteksi efektif untuk perakitan mobil pada masa Orde Baru berkisar 530-682 persen.
Pada 12 Maret 1969, Menteri Perdagangan Soemitro Djojohadikusumo dan Menteri Perindustrian M. Jusuf mengeluarkan kebijakan berupa pengaturan perusahaan perakitan kendaraan bermotor.
Kebijakan ini memisahkan antara kegiatan perakitan dan kegiatan importasi. Hal itu guna meniadakan ketergantungan terhadap satu vendor atau pemasok luar negeri. Selain itu, bertujuan untuk membuka kesempatan bagi perusahaan yang mampu memproduksi lebih dari satu merek.
Kemudian pada 1 April 1969, kedua menteri mengeluarkan kebijakan bersama tentang “Ketentuan Pengimporan Kendaraan Komersial ke Jawa” dan “Penempatan Perusahaan Perakitan Kendaraan Bermotor”.
Dalam kebijakan bersama itu, sejak Juli 1969, impor kendaraan niaga ke Jawa hanya boleh dalam bentuk CKD. Pembatasan serupa juga berlaku untuk Sumatra sejak Agustus atau 4 bulan kemudian.