Tantangan Terbesar Pembangunan Ruas Tol Pekanbaru-Dumai
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Membangun tol di Tanah Sumatra bukanlah perkara mudah. Topografi yang berbukit sekaligus rawa, membuat tantangan pembangunan kian berat. Tidak hanya itu, proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) juga dihadapkan pada persoalan untuk selalu menjaga lingkungan hutan maupun kawasan konservasi yang syukurnya masih mendominasi wilayah Sumatra.
Di lain sisi, terkait kontur lapangan yang ekstrem sangat mengancam proses pembangunan sehingga menyebabkan galian dan timbunan menjadi sangat tinggi. Pada beberapa lokasi galian dan timbunan jalan tol ini mencapai lebih dari 15 meter. Karena kondisi ekstrem ini desain yang tepat dan akurat menjadi kunci keberhasilan dari sebuah konstruksi. Untuk menghasilkan desain yang tepat dan akurat maka pengambilan data tanah dengan lokasi yang tepat serta frekuensi yang mencukupi sangat dibutuhkan.
Secara umum, tantangan terbesar pembangunan Ruas Tol Pekanbaru-Dumai menghadapi beberapa kali pengalihan trase, serta karakter tanah rawa yang lunak. Dalam pelaksanaannya, pergeseran trase terjadi beberapa kali dari rencana awal, karena konstruksi tol ternyata melintasi aset vital dari beberapa instansi. Persilangan itu terjadi terhadap aset lapangan milik PT PLN, PT Chevron Pacific Indonesia, PT Telkom Indonesia, dan beberapa perusahaan lainnya.
Pada beberapa titik persilangan itu membutuhkan penanganan khusus agar tidak menimbulkan risiko yang tak diinginkan. Aset seperti pip Shipping Line ataupun Power Line yang melintang di jalur konstruksi sulit untuk ditangani. Karena itu, pada akhirnya terdapat keputusan menggeser trase, antara lain di lokasi Sta.74+650.
Karakter Tanah Lunak
Di lain sisi, berdasarkan hasil kalendering, didapat hasil bahwa karakter tanah di jalur konstruksi memiliki tingkat kelunakan yang cukup tebal. Temuan itu pun kemudian disahkan dengan penelitian lebih lanjut dengan metode boring (NSPT) di beberapa titik yang menghasilkan gambaran detil kondisi tanah. Dengan karakter tanah demikian, maka rancangan konstruksi pun pada akhirnya ikut berubah.
Tanah lunak tersebut mempunyai daya dukung terhadap beban dan konstruksi yang rendah, sangat berisiko terhadap konstruksi timbunan. Problem inilah yang kemudian mendorong revisi rancang bangun awal. Tidak hanya itu, metode konstruksi timbunan yang menggunakan soldier pile pun ikut dikoreksi. Terlebih lagi terdapat analisis agar menambah kedalaman tiang pancang.
Lebih jauh, dalam pra pelaksanaan konstruksi, dilakukan tes geoteknik secara menyeluruh pada Ruas Tol Pekanbaru-Dumai. Salah satu tes tersebut yaitu Cone Penetration with U (CPTu). Uji CPTu ini berperan melakukan identifikasi jenis tanah dan profilnya, serta sebagai penegas dari uji tanah yang sebelumnya dilakukan dengan soil boring.
Dari hasil uji CPTu tersebut, rerata tanah pada Ruas Tol Pekanbaru-Dumai memiliki lapisan atas yang soft dan medium begitupun pada kedalaman yang diperkirakan sebagai lapisan tanah asli. Sedangkan lapisan tanah yang lebih dalam lagi, diperkirakan melalui uji CPTu memiliki karakter tanah pasir lepas.
Dalam istilah geoteknik, tanah pasir lepas ini merupakan tanah berbuitr kasar dan cenderung bergradasi seragam.Profil lapisan tanah ini memiliki problem dan risiko lebih besar terhadap pembebanan di atasnya. Lapisan tanah pasir lepas rentan terhadap struktur dan daya dukung rendah, serta mudah mengalami pergeseran akibat gempa. Dengan daya dukung tanah yang rendah, pembangunan pun dirancang menggunakan konstruksi penyangga yang lebih kuat.
Dalam realisasinya, timbunan konstruksi tersebut harus dilengkapi tiang pancang atau soldier pile pada kaki timbunan. Namun dari semula kedalaman soldier pile mencapai sekitar 16 meter, kemudian dari penyelidikan lebih jauh melalui metode pengeboran, hal tersebut kurang memadai