Era Reformasi Tata Kembali Sistem Jalan Tol di Indonesia
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Krisis ekonomi 1997/1998 telah membawa Indonesia memasuki era reformasi. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban solusi atas krisis ekonomi berimbas pada krisis multidimensi yang melanda berbagai segi kehidupan.
Spirit perubahan pada era reformasi tersebut tentu saja merambah ke berbagai aspek, tidak terkecuali perihal penataan kembali sistem penyelenggaraan jalan tol di Indonesia. Salah satu perubahan paling penting adalah lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 (UU No.38/2004), yang tidak lain merupakan perubahan penggantian terhadap UU Nomor 13 Tahun 1980 (UU No13/1980), yaitu tuntutan untuk menyesuaikan kembali landasan hukum tentang pengaturan jalan yang terdapat pada UU yang saat itu berusia hampir seperempat abad tersebut.
Dasar pertimbangan yang melandasi perubahan atau penggantian adalah adanya berbagai perkembangan dan perubahan penataan sistem. Seperti adanya otonomi daerah serta adanya tantangan persaingan global, dan tuntutan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan. Terdapat sejumlah perbedaan yang mencolok dan fundamental dalam perubahan UU ini, yaitu mengenai pemisahan peran regulator dan operator.
Pada UU No13/1980, kedua peran tersebut dirangkap dan dipegang oleh BUMN dalam hal ini Jasa Marga. Sedangkan dalam UU No.38/2004, peran Jasa Marga diperlakukan sebagai operator murni. Untuk menjalankan fungsi regulator, dibentuklah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Badan tersebut berwenang untuk melaksanakan pengaturan, pengusahaan dan pengawasan Badan Usaha Jalan Tol.
Sesuai Dengan Fungsi
Jika dilihat dari perspektif bisnis, Jasa Marga cenderung menjalankan fungsinya sebagai operator dan pengusaha jalan tol. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Untuk itu, Jasa Marga sebagai BUMN harus semaksimal mungkin memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara khususnya serta mengejar keuntungan.
Sebagai operator murni, Jasa Marga tentu dituntut untuk melaksanakan pembangunan jalan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa yang aman, nyaman, berdaya guna, yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pengelolaan yang transparan dan terbuka serta tarif Tol yang didasarkan pada kemampuan bayar pengguna jalan (masyarakat).
Di samping itu, tentu pengusaha jalan Tol dilindungi kepentingannya yaitu adanya kepastian hukum dalam bisnis jalan Tol, iklim investasi yang kondusif, diberikan konsesi (tenggang waktu) yang layak untuk dapat mengembalikan dana investasi dan keuntungan yang wajar. Dalam memperkuat pelaksanaan UU No.38/2004, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol dan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.295/PRT/M/2005 tentang Badan Pengatur Jalan Tol.
Terkait dengan wewenang pengusahaan, BPJT berusaha mendorong keterlibatan Badan Usaha dan Pemerintah Daerah dalam percepatan pembangunan jalan Tol. Kebijakan ini juga menjadi salah satu momentum perubahan bagi Jasa Marga untuk kembali fokus sebagai operator yang handal. Dampak dari kebijakan tersebut, pada 07 Juli 2006, Jasa Marga menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Dengan begitu, 13 (tiga belas) ruas jalan Tol yang dikelola Jasa Marga saat itu diberlakukan sistem konsesi selama 40 tahun berlaku efektif sejak 01 Januari 2005. Dalam perkembangannya, perseroan terus melakukan upaya untuk menambah kepemilikan konsesi jalan tol baru