APBN Tidak Cukup Untuk Bangun Jalan Tol, Jasa Marga Terbitkan Obligasi
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Peraturan Pemerintah No. 04 Tahun 1978 menjadi dasar pemerintah mendirikan PT Jasa Marga (Persero) Tbk.
Pada awal berdirinya, Perseroan berperan sebagai operator sekaligus regulator jalan tol di Indonesia. Jasa Marga bertugas merencanakan, membangun, mengoperasikan, dan memelihara serta sarana kelengkapannya. Pada 1980, lahirlah undang-undang tentang jalan yang di dalamnya mengatur tentang jalan tol.
Salah satu aspek paling fundamental yang diatur dalam pengelolaan jalan tol saat itu adalah soal skema pembiayaan. Mengapa hal itu dianggap penting? Tidak lain karena pembangunan infrastruktur jalan selalu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Sedangkan, skema anggaran waktu itu masih menggunakan dana pemerintah yang sangat terbatas. Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan, terutama Penjelasan Pasal 14 yang menegaskan bahwa pada dasarnya pembangunan jalan tol harus dibiayai dari hasil tol itu sendiri.
Tidak lagi dibiayai dari APBN, melainkan harus dicari sendiri sumber-sumber dana lain. Jika sebelumnya, pada proyek Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi), yang digunakan adalah dana Pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri serta penerbitan obligasi.
Kini, Jasa Marga dituntut untuk mencari sumber pembiayaan lain, seperti penerimaan hasil tol, pendapatan lain-lain seperti bunga, pinjaman dari luar perusahaan, dan penyertaan modal pihak ketiga. Di sisi lain, dengan adanya UU No. 13 Tahun 1980 tentang Jalan, sebenarnya pemerintah berupaya mencegah pembauran fungsi jalan arteri, kolektor dan lokal, serta berupaya lebih menerapkan pemerataan dalam pembinaan jaringan jalan.
Pembangunan Ruas Ruas Jalan Tol
Hal itu dapat dilihat dari skema pembiayaan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya, terbit Surat Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1981 tentang Penetapan Jalan Bebas Hambatan dan Jembatan menjadi Jalan Tol dan Jembatan Tol.
Sebagai pelaksana tugas pemerintah, PT Jasa Marga (Persero) dipercaya membangun dan menerapkan sembilan ruas jalan sebagai jalan dan jembatan tol, di samping ruas yang telah dioperasikan saat itu, yaitu Jagorawi dan Citarum. Selain sembilan ruas tol tersebut, Jasa Marga juga diminta menyelenggarakan dua ruas jalan lainnya, yaitu Jembatan Mojokerto dan Akses Cengkareng.
Jembatan Mojokerto, yang dibangun dengan dana APBN selesai tahun 1982, menghubungkan Surabaya dengan daerah bagian Selatan dan Barat Jawa Timur yang merupakan daerah produksi provinsi tersebut. Akses Cengkareng sepanjang 14 km menghubungkan kota Jakarta dengan Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng.
Proyek ini dimulai 1983 sampai April 1985, bersamaan dengan dioperasikannya bandara internasional yang baru tersebut. Akses ini kemudian diberi nama Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo
Beberapa ruas jalan dan jembatan tersebut semula tidak direncanakan sebagai jalan tol, misalnya Jembatan Citarum, Jembatan Mojokerto, Surabaya-Gempol, Arteri Semarang, dan sebagian ruas jalan Jakarta-Merak, yaitu Jembatan Ciujung dan Serang By Pass. Namun, karena berkaitan dengan segi pendanaan, ruas tersebut dijadikan jalan tol.
Kesulitan Pendanaan
Anggaran APBN pun tidak mampu mendukung kecepatan pembangunan proyek tersebut. Saat itu, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dr. Ir. Purnomosidi Hadjisarosa, menginstruksikan kembali Jasa Marga untuk turut serta mendukung pendanaannya, yang antara lain diperoleh dari hasil pengoperasian ruas jalan tol yang sudah berjalan, yaitu Jagorawi.
Tidak dapat dipungkiri, pembiayaan pembangunan jalan tol saat itu menjadi suatu kendala tersendiri. Porsi APBN hanya dipakai untuk membiayai perencanaan.
Perolehan tanah serta biaya administrasi proyek di tahap awal. Pembangunan fisik serta supervisi menjadi beban Jasa Marga.
Namun, pendapatan tol ternyata juga tidak bisa sepenuhnya mencukupi. Setelah dikurangi biaya operasi perusahaan, hasil yang diperoleh masih jauh dari kebutuhan tersebut.
Sehingga sebagian besar biaya masih mengandalkan pinjaman luar negeri yang disalurkan menjadi pinjaman pemerintah kepada Jasa Marga. Pinjaman luar negeri ini pada umumnya digunakan untuk membiayai porsi asing dari pekerjaan sipil dan supervise. Sedangkan kebutuhan porsi rupiah biasanya diperoleh dari sumber-sumber di dalam negeri, yang berupa pinjaman pemerintah melalui rekening dana investasi.
Pinjaman ini merupakan dana penunjang sementara untuk dapat memulai suatu proyek, sampai sumber keuangan lain benar-benar tersedia. Kendati berasal dari pemerintah, dana itu tetap dianggap sebagai pinjaman, dan sebagian pinjaman tersebut dijadikan Penyertaan Modal Negara.
Peluncuran Obligasi Pertama
Dalam berbagai upaya mengejar kebutuhan dana yang masih cukup besar, muncul gagasan dari pimpinan Jasa Marga saat itu untuk menerbitkan obligasi, yaitu meminjam dana dari masyarakat dengan cara menjual surat obligasi di pasar modal. Namun, hal ini tidak mudah karena kendala internal waktu itu, antara lain, adalah laporan keuangan Jasa Marga sendiri yang masih belum memenuhi syarat sehingga tidak bisa langsung menerbitkan.
Oleh karena itu, Jasa Marga mengajukan permohonan kepada pemegang saham, yaitu Menteri Keuangan, agar modal dasarnya dapat dinaikkan. Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 8 Februari 1985, dan Akte Nomor 7, Tanggal 1 Maret 1985, dari Notaris Kartini Mulyadi SH, modal dasar Jasa Marga ditingkatkan menjadi Rp350 miliar.
Akhirnya, pada 1983, Jasa Marga dapat menerbitkan obligasi untuk pertama kali dengan nilai Rp23,718 miliar. Melalui beberapa tahap emisi, sampai dengan 1992, Jasa Marga berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp688,7 miliar.
Pembangunan jalan tol di Indonesia, yang pola pendanaannya masih mengandalkan APBN, pinjaman luar negeri, pendapatan tol, dan obligasi dikenal dengan istilah Jalan Tol Generasi l. Pada periode ini, Jasa Marga berhasil membangun 14 ruas jalan dan jembatan tol yang sebagian besar berada di Pulau Jawa, untuk di luar Pulau Jawa meliputi Belmera di Sumatera Utara, Jembatan Sungai Kapuas dan Sungai Landak di Kalimantan Barat, dan Jembatan Tallo Lama, di Ujungpandang, Sulawesi Selatan.
Dana pinjaman obligasi memang sangat membantu Jasa Marga di dalam melaksanakan tugasnya memperluas jaringan jalan tol baru. Namun, kebijaksanaan tersebut mengakibatkan beban bunga yang tinggi, juga mengurangi tingkat keuntungan perusahaan.
Jadi, secara jangka panjang, terbukti bahwa di dalam upaya membangun ruas-ruas jalan baru, Jasa Marga tidak mungkin hanya mengandalkan sumber-sumber dana yang diterapkan pada Jalan Tol Generasi I. Yaitu memakai dana APBN, pinjaman luar negeri, pinjaman obligasi, dan hasil pendapatan tol.