Pasang Surut Industri Komponen Indonesia
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Sekretaris Jenderal GIAMM menguraikan secara panjang lebar bagaimana Industri komponen KBM (Kendaraan Bermotor) di Indonesia harus berjuang sejak awal.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing hingga sekarang. Pertama, menghadapi tarif bea masuk yang tidak harmonis sejak awal program. Yaitu menghadapi tarif CKD KBM yang 0% dengan bea masuk yang harus dibayar untuk bahan baku dan bahan penolongnya.
Akibatnya, anggota GIAMM selalu bertengkar dengan pelanggan Original Equipment Manufacturer (OEM) tentang tingginya penalty cost yang diakibatkan, selain terdapat faktor. Masih rendahnya pasar produk otomotif dalam negeri dengan volume penjualan baru mencapai 100.000 unit.
Menurut Hadi, keadaan ini agak berubah setelah pemerintah pada 1992 mengganti kebijakan penanggalan per item menjadi besarnya kandungan lokal. Yaitu jika mencapai 40% maka terhadap sisa komponen atau bahan baku yang digunakan akan berikan pembebasan BM. Hal ini juga termasuk untuk importasi KBM.
Sayang, program yang baik ini harus berakhir karena kekalahan Indonesia di sidang WTO. Program ini harus mencabut kebijakan yang dinilai pilih kasih tersebut. Di samping itu, juga terjadi krisis keuangan pada 1997 yang meluluhkan volume pasar otomotif di pasar domestik kala itu. Yang awalnya dari 380.000 unit menjadi hanya 58.000 unit (pada 1998).
Akibat krisis finansial 1997 itu pula, pemegang saham lokal di sejumlah perusahaan joint venture yang sebelum krisis umumnya merupakan mayoritas (juga karena adanya program Indonesianisasi), berubah menjadi minoritas. Setelah krisis, mayoritas pemegang saham perusahaan patungan tersebut adalah pihak asing.
Akhir Program Lokalisasi
Pemerintah mengeluarkan peraturan berakhirnya program lokalisasi pada 1999. Dan pemerintah menempuh sejumlah langkah penyelamatan industri otomotif dengan mengeluarkan program IKD KBM serta Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk bahan baku yang mulai sebesar 0% kemudian dinaikkan menjadi 5%.
Selanjutnya, para prinsipal yang berinvestasi di Asean membagi pasar KBM menjadi Thailand untuk kendaraan jenis Low Cost Vehicle (LCV) & sedan, sedangkan Indonesia untuk MPV. Selain itu, kesepakatan FTA Asean yang dimulai 2010 menjadikan semua produk otomotif bebas Bea Masuk (Completely Built Up (CBU), CKD, dan parts komponen KBM) asalkan memenuhi Asean content 40%.
Hadi Suryapradja mengungkapkan bahwa upaya meningkatkan daya saing menjadi kunci untuk industri komponen. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa produksi R2 [sepeda motor] sebenarnya telah mencapai skala ekonomi untuk model-model tertentu di pasar lokal dan sangat kompetitif.
Volume pasar dalam negeri telah mencapai angka maksimal 8 juta unit pada 2013. Lalu stagnan di 6 juta-7 juta unit pada tahun berikutnya. Tetapi ekspor kita masih kalah dari Thailand, walaupun pemerintah telah mendorong prinsipal untuk mengekspor.
Untuk produk R4 [mobil] lebih dilematis karena setelah volume pasar lokal mencapai 1,2 juta unit (2013) lalu stagnan di 1 jutaan unit. Kinerja ekspor lebih lumayan, tapi juga hanya mencapai 300.000-an unit (2019), sehingga produksi Indonesia hanya 1,3 jutaan unit. Juga cukup jauh bila dibandingkan dengan volume produksi Thailand yang sebesar 2,5 juta walaupun volume pasar dalam negeri mereka hanya 1 jutaan unit.
Perjuangan Industri KBM Indonesia
Hadi menjelaskan dari kondisi itu, dapat dilihat industri komponen KBM di Indonesia harus berjuang meningkatkan daya saing yang relatif berat. Hal ini karena volume yang terbatas serta nilai tambah yang makin tergerus karena adanya kebijakan protektif dari hulu (industri bahan baku) yang kalah dalam hal skala ekonomis.
Di samping hulu belum mempunyai budaya industri dalam menghadapi masalah dari pelanggan industri. Faktor lain yang sangat menggerus adalah kenaikan upah minimum yang didasarkan pada demo (sejak 2013) daripada produktivitas mereka (kenaikan upah minimum selama periode 10 tahun dapat mencapai hampir 3 kali).
Kelemahan industri otomotif terutama terletak pada KBM komersial yang bermesin diesel, akibat adanya kebijakan IKD yang terlambat ditinjau. Sehingga hal ini mengakibatkan terhentinya pendalaman komponen yang juga tidak didukung oleh volumenya.
Praktis hanya chasis, body, suspensi, propeller shaft dan komponen-komponen kurang presisi yang dibuat di dalam negeri. Mengacu data GIAMM, para produsen komponen kendaraan roda dua maupun roda empat atau lebih, ikut berkontribusi terhadap ekspor otomotif. Rata-rata ekspor tersebut mencapai 10%-15% dari jumlah produksi.