Indonesia Dorong Percepatan Produksi Mobil Listrik Berbasis Baterai
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam industri kendaraan bermotor.
Perkembangan industri mobil di Indonesia sudah dimulai sejak 1970-an, namun pada masa itu kendaraan yang dikembangkan adalah mobil dengan motor pembakaran dalam. Memasuki era 2000-an, pabrikan otomotif Jepang yang beroperasi di Tanah Air mulai memperkenalkan kendaraan listrik sebagai kendaraan masa depan.
Sayangnya, regulasi yang mengatur hal ini belum mendukung sepenuhnya pengembangan mobil listrik, baik mobil listrik penuh (BEV) maupun mobil hybrid (HEV). Yang membuat kendaraan semacam ini menjadi bersaing dalam hal harga jual. Hal ini lantaran teknologi yang digunakan masih terbilang mahal selain minimnya volume pasar, sehingga produksi kendaraan tersebut belum memenuhi skala ekonomi.
Menyadari ketertinggalan tersebut, untuk mengakselerasi produksi mobil listrik di Indonesia, pada 2019, diterbitkanlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.
Peraturan ini menjadi payung untuk pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia. Sejumlah infrastruktur dasar kendaraan listrik sudah dimiliki oleh bangsa ini.
Potensi Yang Besar
Indonesia ditargetkan bukan sekadar menjadi konsumen mobil listrik, tetapi menjadi salah satu pemain besar di dunia, mengingat cadangan sumber daya yang dimilikinya. Berdasarkan data dari berbagai sumber, Indonesia disebutkan memiliki cadangan yang sangat besar.
Nikel yang menjadi bahan baku dasar pembuatan baterai mobil listrik tersebut, merupakan industri dasar dan utama bagi pengembangan mobil listrik. Seperti halnya bensin atau solar, baterai pada mobil listrik merupakan sumber tenaga utama dalam menggerakkan kendaraan.
Perpres No. 55 tahun 2019 itu kemudian menelurkan aturan teknis lain yang mendukung percepatan pengembangan industri hulu mobil listrik. Hal ini sesuai dengan target pemerintah yang mematok angka penggunaan mobil listrik di Tanah Air sebanyak 2,2 juta unit. Sedangkan untuk sepeda motor listrik dipatok target sebanyak 13 juta unit pada 2030.
Langkah Pemerintah
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) misalnya, mendorong adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) di mana dalam UU ini diatur mengenai ketentuan peningkatan nilai tambah untuk mineral logam seperti terdapat pada pasal 102-104 UU Minerba yang mewajibkan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian komoditas tambang dan mineral logam, di dalam negeri. Termasuk di dalamnya adalah industri nikel yang menjadi bahan pokok pembuatan baterai jenis 4 eknologi.
Aturan lain yang diterbitkan, adalah Permen (Peraturan Menteri) ESDM No. 11 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan harga mineral dan ketentuan bijih nikel oleh smelter mengacu HPM (harga patokan mineral). Sebelumnya juga sudah diterbitkan Permen ESDM No.11 Tahun 2019 tentang pengendalian ekspor nikel.
Dalam aturan ini disebutkan mengenai jaminan keberlangsungan pasokan fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel melalui adanya pengaturan ekspor. Adanya beleid itu dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah cadangan bijih nikel yang besar di Indonesia supaya memberikan kesejahteraan bagi negara dan rakyat di sekitar tambang. Dan bisa mendapat jaminan pasokan bahan baku yang terjamin hingga mampu membuat produk hilir nikel termasuk baterai untuk mobil listrik.
Sebelumnya, pada 2018, KESDM sudah menelurkan aturan mengenai nilai tambah batasan minimum pengolahan dan pemurnian nikel. Sebagai contoh tentang batasan minimum pengolahan dan pemurnian pada Mix Hydroxide Precipitate (MHP), Mix Sulfide Precipitate (MSP), Nikel Sulfat (NiSO4), Cobalt Sulfat (CoSO4), dan Mangan Sulfat (MnSO4). Kesemuanya itu merupakan bahan baku industri baterai kendaraan listrik.