Potensi Indonesia sebagai Pemain Besar Industri Baterai Kendaraan Listrik
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Indonesia memiliki keunggulan tetap yang berasal dari populasi yang besar serta potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Bahkan, pada 2045, Indonesia bisa melesat menjadi perekonomian terbesar di dunia dengan memanfaatkan puncak bonus demografi. Faktor ini merupakan magnet bagi para pemain otomotif dunia. Dengan adanya potensi ekonomi sekaligus permintaan yang tinggi sebagai akibat bonus demografi tersebut.
Cadangan Nikel Indonesia Faktor Kunci Kesinambungan Rantai Pasok Baterai EV
Di sisi lain, Indonesia memiliki garansi material untuk pembuatan mobil, terlebih lagi untuk jenis EV. Indonesia memiliki cadangan nikel yang sangat memadai, sehingga akan mampu menjamin kesinambungan rantai pasok baterai kendaraan listrik dalam jangka panjang.
Terlebih lagi, ongkos pembuatan baterai merupakan bagian terbesar dari komponen biaya produksi. Bagi produsen otomotif, Indonesia bisa dilirik karena telah berdekade lamanya masuk sebagai rantai pasok otomotif dunia.
Dengan begitu, tersedia infrastruktur produksi, tenaga manusia terampil, serta pasar yang menjanjikan. Sejauh ini tingkat motorisasi hanya mencapai 99 per 1.000 orang—berdasarkan data Organisasi Produsen Mobil Internasional/Organisation Internationale des Constructeurs d’Automobiles (data OICA).
Selain itu, hampir semua bahan baku pembuatan baterai dimiliki Indonesia tersedia dengan memadai. Sebut saja aluminium, tembaga, nikel, hingga mangan.
Investasi dan Peta Jalan Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia
Sejalan dengan hal itu, pertumbuhan permintaan baterai (EV Battery dan ESS), diproyeksikan terus tumbuh dengan adanya kehadiran EV yang mulai dipasarkan belakangan ini.
Diperkirakan pada 2025, permintan EV dalam negeri akan mencapai 5% dari total. Sedangkan diperkirakan pada 2035 meningkat hingga 29% (Sumber: PT IBI).
Untuk mempersiapkan arah pengembangan kendaraan listrik, terutama pada industri baterai, diperlukan investasi minimal sebesar US$15,3 miliar berdasarkan “benchmark”. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun kapasitas produksi cell hingga mencapai 140 GWh.
Gelontoran investasi tersebut dibutuhkan untuk membangun rantai pasok hulu hingga hilir pada industri baterai, dimulai dari pertambangan, pengolahan, produksi baterai, hingga sistem daur ulang.
Hal ini dimungkinkan dengan kehadiran IBI. Holding baterai inipun memiliki peluang menjadi pemain besar pada era EV. Dari sisi hulu, IBI akan mengendalikan produksi paling tidak sekitar sebanyak 50 hingga 150 ribu ton nikel atau setara 195 GWh di tingkat hulu sampai dengan cell.
Sedangkan dari sisi midstream, IBI akan menguasai produksi katoda dan prekusor yang diperdagangkan secara domestik maupun untuk pasar ekspor. Alhasil, perusahaan inipun kelak bisa dapat menguasai rantai pasok baterai yang akan memperkuat industri otomotif nasional di tataran regional Asean dan Asia.
Dengan peta jalan pengembangan tersebut serta realisasi kebijakan dan target-target yang telah ditetapkan, Indonesia diharapkan pada 2030 menjelma menjadi hub produksi EV untuk lingkungan kawasan. Dengan proyeksi kemampuan produksi EV mencapai 340.000 unit, Indonesia diperkirakan akan dapat mengekspor sebanyak 112.000 unit EV ke berbagai negara Asean (Sumber: PT IBI).
Kebijakan untuk Mendorong Penggunaan Kendaraan Listrik di Indonesia
Berharap penggunaan kendaraan listrik (EV) semakin luas di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, harapan tersebut tidak akan hadir jika kebijakan tak selaras pelaksanaan.
Saat ini, pemerintah setidaknya telah mendorong dari supply side. Yaitu di mana terdapat insentif pajak, fasilitas kawasan industri, hingga kelonggaran fiskal lainnya guna merangsang produksi EV.
Selain itu, pemerintah juga berupaya menggunakan modal yang ada untuk mengembangkan infrastruktur kelistrikan sehingga dapat menjamin keberlangsungan penggunaan kendaraan listrik.
Di lain sisi, kebijakan investasi serta konsolidasi kapital tengah dikebut untuk menciptakan rantai pasok industri baterai yang efisien dan menjadi daya tarik bagi pemain otomotif global. Sedangkan dari sisi demand, pemerintah pun telah menyiapkan fasilitas fiskal yang meringankan harga pembelian, dengan menihilkan berbagai tarif pajak pembelian.
Kelak diharapkan terjadi efisiensi dalam ranah produksi dan pembebanan pajak penjualan yang bisa dapat mengikis harga jual EV. Sebab, merujuk hasil penelitian LPEM FE UI pada 2018, sebanyak 3 dari 10 orang pembeli kendaraan bersedia atau mau membeli EV andaikata tidak ada perbedaan harga dengan mobil konvensional.