Cerita Tentang Situ Mangga Bolong dan Toponimi Rawa di Perkampungan Budaya Betawi
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Wilayah perairan yang tercakup dalam Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terdiri dari Setu Babakan, Setu Mangga Bolong, serta wilayah rawa-rawa.
Toponimi dari wilayah-wilayah tersebut beragam. Ada yang memiliki banyak versi cerita, ada pula yang penamaannya telah disepakati oleh berbagai pihak. Pada bagian ini, cerita-cerita tersebut akan dijabarkan dari berbagai perspektif berdasarkan hasil penelusuran.
SETU BABAKAN
Mengapa dinamakan Setu Babakan? Begitu bunyi pertanyaan dasar tentang toponimi. Hal tersebut tentu dapat dijawab dengan melakukan penelusuran atas nama “Babakan” terlebih dahulu. Ada beberapa hal yang dapat ditelusuri dari nama “Babakan”.
Pertama, dengan mencari arti kata babakan. Jika ditelusuri secara harfiah, kata babakan memiliki arti dusun yang baru, atau dapat dimaknai sebagai sebutan bagi suatu wilayah dusun (kampung) yang baru terbentuk dibandingkan dusun (kampung) lain di sekitarnya. Tak hanya itu, babakan juga dapat berarti kulit kayu yang dikubak dari batangnya. Hal ini mungkin memiliki kaitan khusus dengan kondisi Setu Babakan jika memang betul asal katanya berasal dari arti kata tersebut.
Selain itu, kata babakan juga mungkin sekali diambil dari kata babak. Kata babak memiliki arti bagian besar dalam suatu drama atau lakon yang terdiri dari beberapa adegan; bagian dari suatu keseluruhan proses, kejadian, atau peristiwa; atau bagian permainan yang waktunya tertentu atau beronde. Hal ini mungkin sekali berkaitan, dan jika iya, maka penelusuran terhadap kaitan dari arti kata babak dengan Setu Babakan perlu ditelusuri lebih lanjut.
Selain melalui penelusuran secara harfiah, nama Babakan juga dapat ditelusuri secara geografis. Nama Babakan ternyata dapat dijumpai sebagai nama dari suatu wilayah yang terletak tak jauh dari Setu Babakan.
Wilayah tersebut dikenal sebagai Kampung Babakan, yang namanya masih dikenal dan diakui oleh orang-orang yang sudah lama tinggal di wilayah Kampung Babakan dan sekitarnya. Pada peta lama yang dibuat tahun 1897, terlihat bahwa wilayah Babakan terletak di sebelah Kampung Kalibata (pada peta tertulis “Kali bata”). Adapun Kampung Kalibata merupakan lokasi dimana Setu Babakan berada. Namun, bagaimana kaitan antara Kampung Babakan dengan Setu Babakan?
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat di Kampung Kalibata, diperoleh adanya pendapat bahwa Setu Babakan merupakan setu yang dibuat oleh orang-orang dari Kampung Babakan. Hal itulah yang menjadikan setu tersebut dinamakan Setu Babakan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa Setu Babakan dahulunya merupakan milik seorang tokoh yang berasal dari Kampung Babakan, sehingga setunya kemudian dinamakan Setu Babakan. Lebih rinci mengenai cerita tersebut memang agak sulit diketahui lebih lanjut, mengingat keberadaan Setu Babakan yang tercatat sudah ada lebih dari satu abad, sehingga tidak ada saksi mata penamaan Setu Babakan yang dapat ditemukan.
Pendapat lainnya diperoleh dari penelusuran di internet, yang disampaikan oleh Akhir Matua Harahap dalam catatannya pada poestahadepok.blogspot.com. Dalam catatannya itu, dia menceritakan tentang adanya kebutuhan air untuk persawahan di wilayah Tanjung Barat (mencakup wilayah Babakan pada masa itu), yang kemudian diatasi dengan usaha membendung air di sebuah setu, lalu mengalirkannya ke wilayah tersebut.
Wilayah yang dialirkan air tersebut salah satunya wilayah yang dikenal sebagai Kampung Babakan. Mungkin wilayah tersebut merupakan wilayah utama target dari pengaliran air yang sengaja dibendung di Setu Babakan, sehingga penamaan setu tersebut pun akhirnya berkaitan erat dengan nama Kampung Babakan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis mencoba membuat sebuah dugaan. Penulis menduga bahwa toponim Setu Babakan mungkin muncul karena air pada setu tersebut menjadi asal terbentuknya Kampung Babakan. Memang belum ada catatan sejarah yang dapat memperkuat dugaan ini.
Penulis hanya berusaha mengaitkan cerita-cerita yang telah diperoleh selama menelusuri toponimi dari Setu Babakan. Dugaan penulis, wilayah Kampung Babakan mungkin dulunya merupakan wilayah yang kering dan tidak layak huni. Barulah setelah adanya upaya pengaliran air dari sebuah setu di Kampung Kalibata, membuatnya lebih subur dan layak huni, hingga lambat-laun membentuk sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Babakan (atau kampung yang baru terbentuk). Namun demikian, dugaan ini perlu divalidasi dengan lebih banyak data kesejarahan mengenai Setu dan Kampung Babakan.
Pendapat mengenai asal-usul toponim suatu wilayah memang bisa banyak dan beragam. Hal ini pula yang akan dijumpai pada pembahasan-pembahasan berikutnya. Satu hal yang pasti adalah bahwa tidak ada benar dan salah, semua pendapat dapat diterima sebagai khazanah pengetahuan.
SETU MANGGA BOLONG
Berbeda dengan cerita tentang Setu Babakan yang mungkin memiliki kaitan dengan nama dari suatu wilayah, Setu Mangga Bolong memiliki ceritanya sendiri. Tidak rumit, penamaan Setu Mangga Bolong disepakati memang diambil dari adanya pohon mangga berbatang besar di pinggir setu, yang bagian tengah batangnya berlubang atau bolong. Pohon mangga yang dinilai ikonik itu kemudian dijadikan nama Setu Mangga Bolong.
Ada dua cerita tentang asal-usul bolongnya batang pohon mangga tersebut. Cerita pertama merupakan cerita fiksi tentang seorang pencuri yang bersembunyi dibalik pohon mangga. Dikisahkan pernah terjadi pencurian di sekitar Setu Mangga Bolong. Sang pencuri yang tertangkap basah aksinya, lari dikejar warga sekitar. Sampailah ia pada sebuah pohon mangga di pinggir setu, yang memiliki batang yang sangat besar. Ia pun bersembunyi disana. Warga yang merasa yakin sang pencuri berada di sekitar pohon mangga tersebut, akhirnya berusaha mencari si pencuri. Adegan selanjutnya seperti adegan yang biasa ada di film-film.
Saat warga bergerak ke salah satu sisi pohon mangga, sang pencuri bergerak ke sisi lainnya. Begitu terus, hingga warga memutuskan untuk melubangi pohon mangga tersebut. Peristiwa tersebut meninggalkan lubang pada pohon mangga, yang menjadikannya ikonik di wilayah tersebut. Oleh karena posisinya yang dekat dengan setu, akhirnya setu tersebut pun diberi nama Setu Mangga Bolong.
Saat penulis mewawancarai warga yang tinggal di sekitar Setu Mangga Bolong, ternyata banyak warga yang tidak setuju dengan cerita tersebut. Bagi mereka, adegan nguber maling di balik pohon mangga ini dianggap tidak masuk akal dan memberikan kesan yang buruk kepada orang Betawi. “Ya masa nguber maling aja sampe bolongin pohon mangga?!”, begitu tanggapan warga daerah Setu Mangga Bolong, yang hingga saat ini pun tidak tahu dari mana cerita tersebut berasal.
Cerita lainnya datang dari warga yang menyatakan bahwa bolongnya pohon mangga tersebut bukan karena disengaja, melainkan memang berlubang secara alami. Namun pendapat tersebut ditentang, salah satunya oleh Pak Sabar, yang kini menjabat sebagai ketua Rukun Warga 007. Menurutnya, pohon mangga yang ikonik dan dijadikan toponim Setu Mangga Bolong memang sengaja dilubangi. Informasi tersebutlah yang juga disampaikan oleh orang tua beliau. Namun, untuk alasan apa dan siapa yang melubangi, Pak Sabar juga kurang tahu pasti, karena beliau bukanlah saksi mata dalam hal ini.
Wajar sekali jika warga kurang dapat menceritakan asal-usul toponim Setu Mangga Bolong. Jika ditelusuri dalam sejarah, bukti peta lama yang dibuat tahun 1897 sudah menunjukkan eksistensi Setu Mangga Bolong yang ditandai dengan toponim “Sitoe Manggabolong”. Hal ini menunjukkan bahwa Setu Mangga Bolong sudah ada sejak satu abad lebih yang lalu, yang artinya tidak ada saksi mata pencetusan toponim Setu Mangga Bolong yang dapat ditemui, kecuali jika ada peninggalan data sejarah. Namun data sejarah yang membahas hal tersebut juga belum ditemukan, sehingga hanya itulah toponim Setu Mangga Bolong yang baru dapat disampaikan.
SETU ATAS DAN BAWAH
Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong terletak cukup berdekatan. Keduanya masih sama-sama berada di Kampung Kalibata, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Hanya membutuhkan waktu yang sebentar untuk sampai ke Setu Mangga Bolong, jika berangkat dari Setu Babakan. Begitupun sebaliknya. Sebutan lain pun muncul untuk keduanya, yaitu “setu atas” dan “setu bawah”.
Sebutan “setu atas” dan “setu bawah” muncul dari warga yang tinggal di antara Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Setu atas merujuk pada Setu Mangga Bolong yang terletak lebih tinggi dibanding Setu Babakan. Sementara setu bawah merujuk pada Setu Babakan. Tidak ada alasan lain selain bentuk penyederhanaan dalam penyebutan kedua setu bagi warga sekitar.
Penyederhanaan seperti itu memang sangat lumrah terjadi dalam lingkup kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dapat menunjukkan karakteristik masyarakat di sekitar Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong dalam mendefinisikan atas dan bawah, yang kemudian hasil pendefinisian tersebut diwujudkan menjadi identitas bagi wilayah yang ada dalam lingkup hidupnya.
Dalam hal ini, gagasan masyarakat di sekitar Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong diwujudkan pada keberadaan dua setu, yaitu Setu Babakan yang diberi identitas baru sebagai setu bawah dan Setu Mangga Bolong yang diberi identitas baru sebagai setu atas. Meski nama tersebut lumrah bagi masyarakat sekitar, namun nama resmi kedua setu yang disepakati tetaplah Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong.
Berbagai Rawa
Setelah membahas tentang wilayah perairan utama pada Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, kini saatnya membahas tentang wilayah perairan lain berupa rawa yang ada pada Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Pada bagian ini, toponim rawa yang akan dibahas merupakan rawa-rawa yang masih ada eksistensinya sampai sekarang, maupun rawa yang sudah hanya tinggal namanya saja. Beberapa toponim rawa yang akan dibahas yaitu Rawa Bubu, Rawa Pule, Rawa Bakul, Rawa Bungur, Rawa Songseng, Rawa Krilin, dan Rawa Kramat.
RAWA BUBU
Rawa Bubu secara administratif terletak di wilayah RW 006, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Meski namanya masih diingat oleh warga Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, namun keberadaannya sudah tidak dapat dijumpai pada masa sekarang. Saat ini, lokasi Rawa Bubu sudah tergantikan dengan kompleks sekolah Yayasan Perguruan Rakyat atau yang umum disebut sebagai YPR.
Berdasarkan penuturan warga, toponim “bubu” pada Rawa Bubu diambil dari nama alat penangkap ikan yang biasanya dibuat dari potongan bambu yang dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Bubu umumnya berbentuk kerucut dengan bagian badan yang lebar. Salah satu ujung bubu dibiarkan terbuka, sementara ujung lainnya ditutup, biasanya dengan menggunakan batok kelapa. Bubu sengaja dibentuk demikian untuk merangkap ikan-ikan yang terbawa arus ke arah bubu. Dengan demikian, ikan yang terperangkap dapat dimanfaatkan oleh warga untuk diolah menjadi pangan.
Penggunaan bubu pada masa lalu sangatlah lumrah di kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah Perkampungan Budaya Betawi. Dapat dikatakan pula bahwa penggunaan bubu merupakan budaya khas masyarakat Betawi di lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak warga yang kini sudah mulai jarang menggunakan bubu untuk mencari ikan. Jangankan menggunakan bubu, kegiatan mencari ikan untuk pangan sehari-hari juga sudah mulai jarang dilakukan. Kebanyakan warga Perkampungan Budaya Betawi saat ini lebih memilih untuk membeli sumber pangan yang akan diolahnya.
Banyak faktor yang melatari hal ini. Namun demikian, hal tersebut merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat yang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana upaya kita untuk tetap melestarikan nilai budaya yang ada.
RAWA PULE
Toponim Rawa Pule diambil dari nama pohon pulai atau yang pelafalannya lebih dikenal sebagai “pule”. Dikutip dari jurnal mengenai Botani dan Bioaktivitas Pulai yang ditulis oleh Marina Silalahi, pohon pulai memiliki nama ilmiah Alstonia scholaris, yang merupakan tumbuhan tropis yang hijau sepanjang tahun.
Menurut Wang dkk, ilmuwan yang juga meneliti pohon pulai, tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli dari wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, salah satunya dapat ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan keterangan yang ditulis oleh Sidiyasa pada 1998 mengenai pohon pule, pohon pule dikenal sebagai tumbuhan berbatang tinggi dengan kanopi yang rimbun. Tinggi pohon ini dapat mencapai 60 meter lebih, dengan diameter batang dapat mencapai 20-40 cm lebih.
Kulit batangnya halus bersisik berwarna coklat, dan daunnya berkarang (whorl). Pohon pulai memiliki bunga berwarna putih atau krem, yang memiliki aroma khas. Marina Silalahi dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa bunga pulai ini seringkali digunakan untuk ritual karena aromanya yang khas dan adanya kepercayaan mistis yang dimiliki bunga tersebut.
Menurut penuturan warga Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, pemberian toponim Rawa Pule yang merujuk pada pohon pulai dilatari karena adanya pohon pulai di sekitar rawa pada masa itu. Adapun saat ini, keberadaan rawa sudah tergantikan dengan rumah-rumah warga. Namun demikian, pohon pule masih dapat dijumpai di wilayah bekas rawa tersebut. Adapun secara spesifik, rawa pule terletak di bagian selatan RW. 007, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan–tak jauh dari lokasi Setu Mangga Bolong saat ini.
RAWA BAKUL
Jika Rawa Pule yang diberi nama demikian karena adanya pohon pulai di sekitar rawa, pemberian toponim Rawa Bakul memiliki cerita yang berbeda. Cerita versi pertama yaitu adanya pendapat yang menyatakan bahwa bentuk rawanya cekung seperti bakul. Bakul itu sendiri merupakan sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, yang berkaitan dengan peralatan dapur. Bakul seringkali digunakan sebagai wadah untuk menyimpan beras, nasi yang sudah tanak, menyimpan botol-botol jamu, dan lain-lain. Seperti bubu, bakul juga erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.
Cerita versi lain tentang toponim Rawa Bakul menyebutkan bahwa dulunya banyak ditemukan bakul di Rawa Bakul. Tidak tahu pasti siapa pemilik bakul yang menyimpan bakulnya di rawa tersebut. Namun hal itulah yang menyebabkan Rawa Bakul dinamakan demikian. Ada pula yang menyebutkan kisah tentang hilangnya seorang penjual bakul pada rawa tersebut, yang akhirnya mengilhami penamaan Rawa Bakul.
Cerita mengenai asal penamaan Rawa Bakul sangat beragam, namun tidak ada satu warga pun yang benar-benar yakin tentang asal penamaan rawa tersebut. Memori yang melekat tentang eksistensi Rawa Bakul diceritakan oleh Pak Wamil, warga RW. 008 yang menghabiskan masa kecilnya di wilayah sekitar rawa tersebut. Dalam ceritanya, Pak Wamil menjelaskan kondisi Rawa Bakul pada masa lalu. Rawa tersebut akan memiliki debit air yang banyak saat musim hujan. Pada saat itu pula, rawa tersebut akan memiliki banyak ikan yang dapat dimanfaatkan warga sebagai sumber pangan.
Sebaliknya, pada saat kemarau, air rawa akan mengering. Yang tersisa pada rawa hanyalah rumput-rumput liar. Pada saat itulah, rawa berubah fungsi menjadi lapangan, tempat anak-anak kecil bermain sepak bola. Pernah suatu hari, rumput-rumput yang ada pada rawa tersebut dibakar, hingga menyisakan residu hitam bekas pembakaran. Sambil mengingat memori masa kecilnya, Pak Wamil menceritakan betapa asyiknya bermain di Rawa Bakul pada saat itu. “Dulu kaki sampe pada hitam, kena bekas bakaran rumput”, begitu cerita yang disampaikannya.
Kini, rawa yang dikenal sebagai Rawa Bakul itu hanya tinggal nama. Sejak tahun 2000-an, Rawa Bakul telah berubah menjadi wilayah perumahan warga yang termasuk dalam wilayah RW. 008. Meski demikian, toponim Rawa Bakul masih dipertahankan hingga sekarang. Yang dahulu berupa rawa, kini telah berubah menjadi tempat tinggal. Begitulah dinamika kehidupan di Rawa Bakul, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
RAWA BUNGUR
Seperti Rawa Pule, toponim Rawa Bungur juga diambil dari adanya pohon bungur di sekitar rawa tersebut. Dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Siti Muthia Rahmah, Dharmono dan Aminuddin Prahatama Putra, pohon bungur memiliki nama ilmiah Lagestroemia speciosa. Pohon ini merupakan pohon yang memiliki akar tunggang bulat berserabut banyak. Batangnya berwarna coklat, daunnya memanjang, serta bunganya majemuk terbatas.
Rahmah dkk juga menyebutkan bahwa tinggi pohon bungur berkisar antara 10-30 meter, dengan diameter batang bisa mencapai 150 cm. Namun umumnya, tinggi pohon bungur hanya 25-30 meter saja, dengan diameter 60-80 cm. Tentang daunnya, daun pada tumbuhan ini berbentuk oval memanjang dengan tekstur seperti kertas berwarna hijau tua. Panjang daunnya berkisar antara 9-28 cm dengan lebar 4-12 cm.
Sementara itu, bunga bungur merupakan bunga majemuk yang memiliki warna ungu yang khas. Susunan bunga bungur, panjangnya dapat mencapai 10-15 cm. Bunga bungur umumnya terletak di ketiak daun atau ujung ranting, yang akan mekar dua kali dalam setahun. Tentang buahnya, buah bungur berbentuk bulat dengan panjang 1,8-2,5 cm, dan memiliki diameter 1,5-2 cm. Ujung buah meruncing seperti jarum. Saat muda, buah akan berwarna hijau, dan berubah coklat saat sudah tua.
Pohon bungur yang terletak di pinggir Rawa Bungur ini cukup ikonik, sehingga mengilhami pemberian nama rawa tersebut. Bahkan tak hanya nama rawanya saja, nama gang yang menjadi akses menuju rawa tersebut pun akhirnya diberi toponim demikian. Rawa dan Gang Bungur ini merupakan bagian dari wilayah RW. 009, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
RAWA KERAMAT
Kramat atau keramat dalam bahasa Indonesia memiliki dua arti harfiah, yaitu berkaitan dengan orang yang bertakwa dan berkaitan dengan barang atau tempat suci. Berdasarkan pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, keramat yang berkaitan dengan orang diartikan sebagai orang suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan. Sementara itu, keramat yang berkaitan dengan barang atau tempat suci diartikan sebagai barang atau tempat suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain.
Rawa Kramat yang terletak di wilayah RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan dianggap memiliki sesuatu yang bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada orang-orang yang mempercayainya. Sesuatu itu berupa batu besar yang terletak di tengah rawa. Menurut penuturan warga, batu yang dianggap keramat tersebut tak jarang didatangi orang sebagai tempat untuk melangsungkan ritual. Namun orang yang datang untuk ritual bukanlah orang-orang yang tinggal di wilayah sekitar. Kebanyakan dari mereka datang dari luar kota.
Berdasarkan kesaksian warga, batu yang dikeramatkan tersebut merupakan batu yang besar di tengah rawa. Biasanya di sekitar batu banyak ditemukan benda-benda untuk keperluan ritual. Namun demikian, keberadaan batu tersebut hanya tinggal dalam memori warga saja. Kini batu yang dikeramatkan itu sudah tidak ada. Setidaknya begitu kesaksian warga RW. 009 yang tinggal di sekitar rawa.
RAWA SONGSENG
Penelusuran tentang toponim Rawa Songseng pada mesin pencarian Google diakui sangat menyulitkan. Apa itu “Songseng”? Kata yang sangat asing sekali. Namun hal tersebut akhirnya terjawab melalui wawancara yang dilakukan dengan warga RW. 009 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
Rawa Songseng terletak di bagian barat RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dahulu, rawa tersebut berada pada sebuah lahan tak berpenghuni. Di sekitar rawa banyak ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Ada pohon bambu, pohon kirai, pohon kelapa, dan pohon lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya di sekitar rawa dibangun sebuah perguruan tinggi yang kini dikenal sebagai Institut Sains dan Teknologi Nasional atau ISTN. Dengan demikian, Rawa Songseng saat ini berada di dalam kawasan Kampus ISTN.
Toponim Rawa Songseng memiliki beberapa versi cerita. Cerita pertama berkaitan dengan kata “seng”. Menurut penuturan warga, pada masa lalu, Rawa Songseng merupakan rawa yang sangat besar. Besarnya rawa dimanfaatkan warga untuk menanam padi, mencari ikan, hingga bermain. Rawa Songseng yang memiliki mata air atau ntuk (istilah warga sekitar untuk mata air) juga kerap dimanfaatkan warga untuk mandi dan mencuci.
Air yang tersedia pada Rawa Songseng banyak dimanfaatkan warga, hingga akhirnya warga mulai membagi rawa tersebut ke beberapa bagian. Bagian-bagian rawa selanjutnya disekat dengan menggunakan seng, yang didatangkan dari Tanjung Priok, Jakarta Utara. Seng tersebut disusun sedemikian untuk menandakan kepemilikan lahan warga pada rawa. Seng juga disusun untuk dapat mengalirkan air dari rawa ke lahan-lahan milik warga. Akhirnya, sebuah rawa yang tenang kini dipenuhi oleh seng. Warga pun mulai menyebut rawa tersebut sebagai Rawa Songseng.
Jika kata “songseng” berasal dari kata “seng”, lalu mengapa tidak dinamakan Rawa Seng saja? Hal ini disebabkan karena adanya penyesuaian pelafalan lidah masyarakat lokal. Masyarakat lokal merasa penyebutan Rawa Seng terasa kurang afdol dan kurang enak untuk diucapkan. “Kayak ada yang kurang aja di lidah”, begitu pendapat warga. Jadilah penyebutan Rawa Seng yang menyesuaikan dengan lidah masyarakat lokal berubah menjadi Rawa Songseng. Lebih lanjut, penyebutan Rawa Songseng juga kerap disebut sebagai Roh Songseng.
Asal penyebutan Roh Songseng memiliki dua versi cerita. Cerita pertama masih berkaitan dengan pelafalan lidah masyarakat lokal. Banyak masyarakat merasakan adanya pemborosan pada penyebutan Rawa Songseng. Dipersingkatlah penyebutan tersebut menjadi Ro Songseng atau Roh Songseng. Jika ditinjau kembali, hal ini jadi bertentangan dengan apa yang terjadi pada kata Rawa Seng.
Kata Rawa Seng yang sudah cukup singkat (terdiri dari tiga suku kata), akhirnya ditambahkan menjadi Rawa Songseng (empat suku kata). Sudah begitu, terjadi penyederhanaan penyebutan lagi menjadi Roh Songseng yang mengembalikannya menjadi empat suku kata. Namun tentu saja, penyebutan yang nyaman bagi lidah lokal tidak hanya mempertimbangkan soal jumlah suku kata saja. Itulah dinamika budaya Betawi yang berkembang di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
Selanjutnya, cerita kedua tentang asal penyebutan Roh Songseng lebih mengarah kepada kepercayaan mistis. Orang yang memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia biasa percaya bahwa di tengah rawa terdapat sebuah kerajaan yang dihuni oleh para roh. Di antara roh tersebut adalah Roh Songseng.
Roh Songseng-lah yang diyakini berkuasa atas seluruh wilayah rawa, sehingga bagi siapapun yang tidak melakukan hal baik akan celaka. Penjelasan mistis ini pula yang kadang dikaitkan jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakan di Rawa Songseng. Bagaimanapun cerita mistis yang berkembang, kita sebagai umat yang beragama tetap perlu meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada satu zat pun yang melampaui-Nya.
RAWA KRILIN
Rawa Krilin terletak di perbatasan antara RW. 009 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dengan wilayah Depok, Jawa Barat. Rawa tersebut merupakan rawa milik seseorang bernama Rilin. Adapun Pak Rilin, pemilik rawa, kerap dipanggil dengan sebutan “Ki” atau “Aki” oleh warga sekitar.
Panggilan “Aki” merupakan panggilan yang ditujukan untuk seorang laki-laki yang sudah tua. Aki sepadan dengan kakek, sehingga panggilan “aki” sekaligus dapat menunjukkan perawakan dari orang yang menyandang panggilan tersebut. Tidak banyak cerita yang diperoleh mengenai sosok Ki Rilin selain dari panggilan dan kepemilikannya atas rawa besar di perbatasan wilayah Jakarta dan Depok itu.
Rawa Ki Rilin, begitu warga menyebutnya, selanjutnya turut mengalami penyesuaian dengan lidah masyarakat lokal. Bagi masyarakat, penyebutan Rawa Ki Rilin terlalu panjang dan kurang praktis. Penyebutan Rawa Ki Rilin pun disederhanakan, hingga akhirnya melahirkan nama “Rawa Krilin” yang dikenal hingga sekarang.
*) Penulis, Ide Nada Imandiharja, Mahasiswa Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.