Berawal di Orde Baru, Mobil Nasional Bangkit Setelah Reformasi
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Mobil nasional merupakan isu menarik dan selalu bergulir dalam momen-momen tertentu di banyak negara di dunia termasuk di Indonesia.
Beberapa negara bahkan dengan jelas berpacu ingin menguasai teknologi otomotif supaya bisa memproduksi mobil nasional. Keberhasilan membangun mobil nasional dianggap salah satu pencapaian tertinggi secara teknologi bagi satu negara. Mobil nasional merupakan tanda naik derajatnya suatu negara sebagai negara maju di dunia karena bisa menguasai industri otomotif.
Keberhasilan program mobil nasional banyak diartikan sebagai keberhasilan satu negara menguasai teknologi tinggi yang mencerminkan tingkat kemajuan satu negara. Di Indonesia, cerita membangun produk otomotif merek sendiri atau mobil nasional sudah bergulir jauh sebelum program mobil nasional Timor dirilis pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1986.
SEJARAH MOBIL NASIONAL
Visi dan Ikhtiar membangun mobil nasional sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1970-an yang diawali dari kerja sama beberapa pihak nasional. Kerja sama ini menghasilkan produksi mobil yang bekerja sama dengan perusahaan mobil transnasional.
Dengan dukungan dari kebijakan proteksi dan produksi komponen mobil dalam negeri, muncul beberapa perintis produsen mobil nasional. Seperti Eman dan PT Udatin dengan merakit mobil merek Holden, Mitsubishi dan PT Krama Yudha yang merakit mobil merek Mitsubishi, serta Volkswagen dan PT Garuda Mataram yang merakit mobil merek VW (Anugerah Yuka Asmara, LIPI Press: 2015).
Perkembangan mobil hasil karya anak banga yang bekerja sama dengan pelaku otomotif asing mulai tampak pada akhir tahun 1980-an. Hingga sebelum tahun 1997, berbagai merek mobil dan model prototipe atau purwarupa diperkenalkan untuk meramaikan dunia otomotif di Indonesia.
Beberapa model tersebut antara lain mobil Maleo yang pengembangannya dipimpin langsung oleh Menristek RI BJ Habibie dengan melibatkan PT IPTN, Rover, dan rumah desain asal Australia: Millard Design. Namun, Proyek mobil Maleo lambat dikembangkan setelah Presiden Soeharto mengumumkan Program Mobil Nasional dengan menunjuk PT Timor Putra Nasional sebagai pelaksana satu-satunya di Indonesia.
Kemudian ada pula proyek mobil Bakrie Beta 97 MPV. Mobil ini dikembangkan oleh perusahaan swasta PT Bakrie Brothers bersama Shado dan Leyland (Inggris).
Namun, proyek mobil Bakrie ini juga tidak bisa dilanjutkan akibat krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998. Akhirnya investasi proyek mobil ini dianggap tidak ekonomis lagi karena nilainya melonjak drastis. Akibat krisis itu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada saat itu anjlok.
BANGKIT PASCAREFORMASI
Setelah pasca-reformasi (1998) atau awal tahun 2000-an, cerita mobil nasional kembali mewarnai Tanah Air. Beragam nama atau merek yang muncul di permukaan, seperti mobil GEA yang memiliki arti Gulirkan Energi Alternatif (GEA). Mobil GEA merupakan produksi mobil oleh PT INKA yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN).
Kemudian ada merek Tawon dan FIN Komodo yang diproduksi oleh perusahaan swasta. Dan beberapa merek yang dikembangkan oleh lembaga penelitian pemerintah dan perguruan tinggi seperti Arina, Nuri, Wakaba, dan Marlip.
Meski nasib merek-merek mobil nasional tersebut tidak jelas, antara hidup dan mati, cerita mobil nasional kembali hangat dan menjadi perbicangan publik pada 2012 ketika sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Solo “berhasil” memproduksi mobil dengan merek Esemka dengan suporter nomor satu Walikota Solo Joko Widodo. Kini Presiden Indonesia periode 2019-2024.
Sejak itu cerita tentang mobil nasional Esemka terus menjadi bahan diskusi publik yang nyaris tanpa henti hingga 6 September 2019. Ya pada hari itu, Jumat, 6 September 2019, pabrik mobil Esemka diresmikan oleh Presiden Jokowi di Boyolali, Jawa Tengah.
Peresmian pabrik otomotif PT Solo Manufaktur Kreasi (Esemka) ini sekaligus menjawab pertanyaan besar soal kebenaran mobil ini dan kemampuan produksi pabriknya karena memiliki banyak sentimen negatif di masyarakat soal mobil ini. Peresmian pabrik itu dibarengi dengan peluncuran dua mobil Esemka, yakni Bima 1.2 dan Bima 1.3 (model pikap) yang dipasarkan dengan harga jual Rp110 jutaan (on the road).
Fasilitas produksi mobil Esemka berada di Jalan Raya Demangan KM 3,5 Sambi-Boyolali, Jawa Tengah. Presiden Direktur PT Solo Manufaktur Kreasi Eddy Wirajaya menegaskan bahwa pabrik Esemka adalah perusahaan swasta nasional yang seluruh sahamnya atau 100 persen dimiliki oleh pihak swasta nasional.