Polusi Udara Jakarta, Mau Dibawa ke Mana?
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Presiden Joko Widodo menyebut pengurangan beban Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan menggesernya sebagian ke Ibu Kota Nusantara merupakan salah satu solusi mengurangi tingkat polusi. Solusi lainnya adalah dengan mengembangkan transportasi massal dan kendaraan listrik.
”Ya, polusi itu tidak hari ini, sudah bertahun-tahun kita alami. (Polusi) Di Ibu Kota DKI Jakarta ini bertahun-tahun kita alami,” kata Presiden Joko Widodo saat menjawab pertanyaan awak media seusai meresmikan Indonesia Arena di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Senin (7/8/2023).
Melanjutkan jawabannya, Kepala Negara pun menuturkan sejumlah solusi untuk mengurangi polusi di Jakarta tersebut. ”Salah satu solusinya adalah mengurangi beban Jakarta sehingga sebagian nanti digeser ke Ibu Kota Nusantara,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
APA BENAR IKN SOLUSINYA?
Menurut data dari Vital Strategies, Institut Teknologi Bandung, yang didukung oleh Toyota Clean Air Project (TCAP) menjelaskan asap knalpot kendaraan menyumbangkan po;usi sebanyak 42%-57% di seluruh kota pada musim kemarau.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman menyebutkan bahwa indeks kemacetan di Ibu Kota sudah melebihi 50 persen. Prakiraan tersebut bisa jadi mendekati atau bahkan melebihi situasi pada tahun 2019. Kala itu, skor indeks kemacetan mencapai 53 persen. Idealnya indeks kemacetan sebesar 35 persen
Sebagai perbandingan, selama pandemi, indeks kemacetan turun drastis. Pada awal 2019, skornya menurun drastis menjadi 36 persen dan pada 2021 terus menyusut menjadi sebesar 34 persen. Selanjutnya, pada kuartal pertama 2022, indeks kemacetan kembali merangkak naik menjadi 48 persen.
Parahnya kemacetan di Ibu Kota tersebut terlihat dari data kecepatan dan waktu tempuh perjalanan yang terekam di situs Tomtom.com. Berdasarkan situs ini, Jakarta menempati peringkat ke-29 berdasarkan lama waktu perjalanan yang diperlukan untuk menempuh jarak 10 kilometer. Pada 2022, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut adalah 22 menit 40 detik.
Pada saat puncak mobilitas, waktu tempuh bisa lebih lama. Waktu puncak mobilitas inilah yang menjadi pola kemacetan di Jakarta. Dalam situs Tomtom.com, puncak kemacetan di Jakarta terjadi pada pukul 08.00 WIB dan pukul 17.00-18.00 WIB pada hari kerja.
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta, selama 2018-2022, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta tumbuh 4,1 persen per tahun. Pertumbuhan unit kendaraan baru sempat menurun drastis saat tahun pertama pandemi, yakni sebesar 1,7 persen. Namun, pada 2021 dan 2022, jumlah kendaraan terus bertambah dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 4,1 persen dan 4,4 persen setahun.
Pada 2022, tercatat ada 26,4 juta kendaraan bermotor di Jakarta. Terdiri dari sepeda motor sebanyak 17,3 juta, mobil penumpang 3,8 juta, serta sisanya sekitar 5 juta unit terdiri dari bus dan truk.
APA SOLUSINYA?
Masalah kemacetan adalah hal utama. Jumlah kendaraan yang kemungkinan akan terus bertambah itu tidak sebanding dengan infrastruktur jalan yang justru semakin terbatas. Terjadi kesenjangan antara ketersediaan panjang dan luas jalan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.
ada 2012, Kementerian PUPR memperkirakan Jakarta akan mengalami kemacetan total pada 2014. Penyebabnya karena kendaraan bertambah 9 persen per tahun dan tidak dapat diimbangi dengan pertumbuhan panjang atau luas jalan yang hanya 0,01 persen setahunnya.
Pada saat itu, jalan di DKI Jakarta sepanjang 7.208 kilometer dan baru mencukupi 60 persen dari total kebutuhan. Jika dihitung berdasarkan populasi waktu itu yang sebanyak 12 juta jiwa, panjang jalan yang dibutuhkan seharusnya berkisar 12.000 kilometer.
Tidak jauh berubah dari satu dekade silam, kesenjangan ketersediaan infrastruktur dengan padatnya kendaraan di jalanan masih menjadi problem hingga saat ini. Data BPS DKI Jakarta pada 2020 menyebutkan panjang dan luas jalan di Ibu Kota hanya 6.653 kilometer dan 46,4 kilometer persegi.
Jika pada 2014 saja sudah diprediksi akan menyebabkan kemacetan total, situasi kemacetan sekarang menjadi sebuah keniscayaan yang memang harus dihadapi dan dirasakan setiap saat. Apalagi, jumlah kendaraan bermotor saat ini sudah mencapai 26,4 juta unit atau hampir terpaut 9 juta unit kendaraan dari kondisi tahun 2014.
Selain itu, jumlah penduduk juga menjadi faktor kemacetan itu. Pada 2020, jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 10,56 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 0,9 persen dibandingkan tahun 2010. Secara tren pertumbuhan, angka peningkatan penduduk di Jakarta ini relatif tidak terlalu besar. Hanya saja, jika membicarakan topik mobilitas penduduk di kawasan Ibu Kota perlu melibatkan keseluruhan masyarakat di sekitar wilayah Jakarta.
Jadi, bukan hanya membahas penduduk Jakarta semata. Hingga saat ini, lalu lintas Ibu Kota juga dipadati kendaraan dari para komuter yang berasal dari daerah sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Dengan meningkatnya penduduk di kawasan Bodetabek serta bertambahnya komuter yang beraktivitas di Jakarta, arus lalu lintas di Ibu Kota akan terus meningkat kepadatannya.
Berdasarkan Statistik Komuter Jabodetabek 2019, jumlah komuter di wilayah ini mencapai 3,3 juta orang atau 11 persen dari total jumlah penduduk berusia di atas lima tahun. Seiring dengan kembalinya aktivitas masyarakat pascapandemi, bukan tidak mungkin jumlah komuter akan bertambah dan kepadatan lalu lintas juga kian meningkat.
Pertumbuhan jumlah penduduk, bertambahnya unit kendaraan, serta mobilitas penduduk yang meningkat membuat jalanan Ibu Kota yang terbatas menjadi sangat padat. Ketiga hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang sulit terhindarkan di Jakarta karena daerah ini masih menjadi pusat dari berbagai aktivitas skala nasional. Mulai dari kegiatan ekonomi, politik, pemerintahan, hingga berbagai kegiatan masyarakat lainnya.
Tanpa kontrol menyeluruh mengenai pertumbuhan penduduk, kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi, serta arus mobilitas penduduk, kemacetan di Ibu Kota akan sulit diatasi. Kemacetan akan menjadi situasi yang ”lumrah” yang akan dihadapi masyarakat sehari-hari.