Histeria Anies Baswedan, Berbeda dengan SBY, Jokowi, dan Prabowo

INDOWORK.ID, JAKARTA: Histeria publik kepada Anies Rasyid Baswedan jauh lebih berkualitas dibanding hal sama yang terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004, Joko Widodo (2014) dan Prabowo Subianto (2019). Begini penjelasannya:

Anies seperti punya daya magis. Ke mana pergi disambut histeria massa. Panggung sederhana Desak Anies melahirkan gaung sambung-menyambung. Bikin lawan-lawan politiknya terbingung-bingung.

Apa pun yang disentuh nimbulkan gemuruh. Platform TikTok yang selama ini banyak dipakai sarana joget begitu disentuh Anies jadi “PoliTikTok”. Goyang gemoy pun letoy. Di TikTok mereka benar-benar keok.

Beberapa detik saja muncul di videotron, Anies bisa bikin panggung politik terguncang. Lahir drakor (drama kotor). Kisahnya penguasa kelam nancapkan kuku besinya yang karatan untuk mastikan kekuasaan hanya berputar dilingkaran keluarga. Tapi dinasti sudah terlanjur dinista.

MENJADI MANTRA

Daya magis Anies juga membuat kata menjadi mantra. Kata PERUBAHAN adalah solusi untuk membongkar kebuntuan dan keputusasaan. Menjanjikan keadilan dan kesejahteraan. Mempesona secara lintas batas. Tak soal Generasi X, Y, Z, yang milenial maupun yang kolonial. Tapi jadi ancaman bagi pemegang kekuasaan.

Maka para pendukung Anies bergerak secara organik. Tumbuh tanpa harus disentuh. Mandiri karena memang berdikari. Berhimpun di atas kaki sendiri.

Mereka, kaum HumAnies ini, memang seperti kawanan burung walet. Tak mudah diternakkan. Burung walet akan datang berbondong-bondong di tempat yang diberkahi langit. Lalu membuat bersarang yang bisa menghasilkan banyak uang.

Itu sebabnya di kalangan pegiat survei politik yang berintegritas, angka Anies grafiknya terus naik. Belum ada indikasi menurun. Sementara rivalnya terpontal-pontal.

‘DEMAM’ ANIES

Anies Baswedan memang bukan orang pertama yang melahirkan histerai politik dalam pilpres. Tapi “demam Anies” pada Pilpres 2024 berbeda jenis dan kualitasnya dengan SBY pada Pilpres 2004, Jokowi (2014) dan Prabowo (2019).

Pada 2004 SBY jadi bintang pilpres karena mainkan skenario “seolah korban” (playing victim) hanya gegara Taufik Kiemas (alm), suami Presiden Megawati Soekarnoputri dipancing wartawan untuk (seolah) bilang “SBY itu jenderal anak kecil!”

Pada 2014 Jokowi jadi bintang pilpres karena dianggap datang dari kalangan rakyat jelata yang masih lugu, dan belum pandai berbohong seperti para politisi dari parpol korup. Ada juga dampak rekayasa seolah mau produksi mobil lokal SMK.

Pada 2019 Prabowo dielu-elukan massa pada pilpres karena lawannya Jokowi, petahana yang bikin muak rakyat (emak-emak, buruh, sebagian besar umat Islam) karena sudah terlalu banyak bohongnya.

Sekarang, 2024, histeria rakyat kepada Anies Baswedan tidak hanya karena faktor emosi sesaat, bukan juga lantaran jadi korban tekanan rezim yang ingin melestarikan kekuasaan.

MASYARAKAT MUAK

Histeria kepada Anies karena kesadaran penuh masyarakat yang sudah muak melihat tingkah laku penguasa yang korup dan pembohong, dan mereka ingin keluar dari berbagai persoalan yang dibuat rezim Widodo.

Anies Baswedan dipandang memiliki integritas dan kapasitas untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa yang sudah terpuruk begini. Sedangkan Muhaimin Iskandar, tokoh Islam moderat (Nahdliyin) yang jadi wakilnya, bisa menutupi kekuarangan Anies.

HisteriAnies memang pilihan paling rasional karena memungkinkan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara menjadi lebih HumAnies.

*) Ditulis oleh Adhie M. Massardi

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Headline