‘Hadiah’ HPN 2024: Pemerintah Ngatur Pers Lagi?

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JOGJAKARTA:  Peringatan Hari Pers Nasional tahun ini dirayakan tidak seperti biasanya, bukan pada 9 Februari. Mudah diduga, hal itu dilakukan karena penyelenggara HPN 2024 tidak ingin mendahului hajatan besar nasional yakni Pemilihan Umum 14 Februari.

Sehingga, perayaan puncak HPN baru terselenggara pekan lalu, tepatnya 20 Februari, dan venue pelaksanaannya pun—untuk alasan serupa—diselenggarakan kembali di Jakarta, sama dengan ketika peringatan HPN 2021 saat sedang memuncaknya pandemi Covid-19.

Penggeseran hari-H untuk hajatan sebagian elemen wartawan di Indonesia itu biasanya digelar tepat waktu, karena penetapan HPN yang sekaligus merupakan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu didasarkan pada Keputusan Presiden RI. Beberapa waktu terakhir, sejumlah elemen di luar PWI sebenarnya menghendaki revisi hari-H penyelenggaraan HPN tersebut.

Dapat dimaklumi, karena mereka menganggap peringatan hari pers seharusnya tidak dikaitkan dengan ultah organisasi tertentu tapi dengan momentum jurnalisme pada umumnya, misalnya, hari kebebasan pers dunia pada 3 Mei. Pasca-Reformasi, terjadi eforia kebebasan pers yang mendorong tumbuh dan berkembangnya elemen pers.

DIPELOPORI AJI

Menjelang akhir dekade 1990-an PWI, bukanlah satu-satunya organisasi wartawan di negeri ini, karena setelah tumbangnya Orde Baru bermunculanlah organisasi wartawan lainnya yang dipelopori oleh berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Di Dewan Pers, lembaga tunggal penjamin kemerdekaan pers berdasarkan amanat UU No. 40/1999 tentang Pers, hingga akhir 2022 terdapat 4 konstituen dari organisasi profesi pers yakni PWI, AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).

Salah satu ‘berkah’ Reformasi 1998 adalah kemudahan mendirikan media dan kebebasan seseorang untuk menjadi wartawan. Sebelum Era Reformasi, izin penerbitan media merupakan barang mewah dan hanya tokoh tertentu/perusahaan pemilik akses ke penguasa politik sajalah yang dapat memperoleh selembar surat sakti bernama SIUPP alias Surat Izin Penerbitan Pers itu, sehingga mendadak banyak orang merasa mampu mendirikan usaha penerbitan pers.

Selain membebaskan sektor usaha penerbitan pers dari birokrasi perizinan, dengan adanya UU Pers tadi, tiba-tiba semua orang merasa mampu menjadi wartawan. Padahal ketika diteliti lebih dalam, mereka yang mengaku-aku sebagai wartawan tersebut ternyata tidak memiliki kompetensi, dan si pemilik usaha penerbitan pers itu juga belum tentu kompeten tentang tata kelola perusahaan pers ideal.

Jadi, persoalan kompetensi—baik bagi praktisi maupun pengelola media—menjadi pekerjaan rumah masyarakat pers nasional. Ketika saya masih beroleh amanah sebagai anggota Dewan Pers dari 2016-2022, terdapat taksiran jumlah wartawan di seluruh Indonesia mencapau 100.000-an orang. Dari jumlah tersebut, mereka yang lolos uji kompetensi tidak lebih dari 20% ketika itu.

Seangkan untuk perusahaan media, juga berdasarkan asumsi, diperkirakan mencapai 50.000 perusahaan pers—cetak, elektronik, dan online. Dari jumlah tersebut, rasa-rasanya tidak lebih dari 10% yang kompeten sebagai perusahaan media—sesuai kriteria yang digariskan oleh Dewan Pers.

KUALITAS ABAL-ABAL

Sebagai contoh, seorang wartawan yang baru 2 tahun berpraktik di sebuah media, karena satu dan lain hal tetiba keluar lalu mendirikan perusahaan media sendiri. Padahal, dia sebenarnya belum kompeten sebagai wartawan, dengan sendirinya media baru yang didirikannya juga jauh dari kompeten. Akibatnya, terjadilah pembengkakan jumlah media tanpa yang tentu saja banyak di antaranya berkualitas ‘abal-abal.

Sebelum era Reformasi, SIUPP sempat menjadi komoditas mewah. Tak jarang bagi mereka yang ingin memiliki perusahaan media, harus bersedia ‘dipalak’ untuk mengalokasikan—biasanya hingga 20% saham tanpa setoran modal—sebagi upeti agar perizinan untuk memperoleh selembar surat sakti tersebut. Karena dengan miliki SIUPP, seseorang atau satu lembaga dapat membuat korporasi media yang di kemudian hari terbukti dapat menjadi kendaraan politik dan sebagainya itu.

Namun, ketika, gelombang kebebasan pers timbul pasca-Reformasi 1998, SIUPP menjadi sampah, tidak diperlukan lagi untuk mendirikan lembaga media dan siapapun boleh menjadi wartawan/jurnalis/pewarta. Lanskap industri pers di negeri ini berubah total, nyaris tanpa regulasi dari pemerintah. Memang, UU Pers mengamanatkan bahwa segala urusan yang berkaitan dengan pers di Indonesia menjadi kewenangan masyarakat pers itu sendiri, pemerintah tidak boleh cawe-cawe ngurusi pers.

PEMERINTAH NGATUR LAGI?

Makanya, tidak sedikit kritik yang dilontarkan oleh kalangan internasl pers tentang ‘hadiah’ dari Presiden Jokowi pada peringatan HPN pekan silam, yakni dengan dikeluarkannya Perpres No. 32/2024. Perpres tersebut mengatur tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Mereka yang kontra menganggap bahwa Perpres tersebut dapat menjadi ‘pintu masuk’ bagi pemerintah untuk kembali ikut ngobok-obok alias mencampuri urusan pers yang dijaga sejak 1999 tersebut.

Namun, sejumlah awak pers yang pro beranggapan bahwa Perpres yang bertujuan mengatur tanggung jawab Perusahaan Platform Digital agar produk berita—yang merupakan karya jurnalistik—dihormati dan dihargai kepemilikannya secara adil dan transparan dan untuk soal pengaturan seperti ini memang harus melibatkan pemerintah, seperti yang terjadi di sejumlah negara di Eropa dan Australia.

Terlepas dari prokontra ‘hadiah’ HPN 2024 itu, terus terang masih banyak wartawan di Indonesia, terutama di sejumlah daerah, yang belum sepenuhnya memahami perihal kompetensi wartawan. Mereka menganggap bekerja sebagai wartawan adalah pekerjaan mudah, dan cenderung mengalir begitu saja mengikuti arus. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa kalau dia bisa melakukannya, saya juga bisa alias mee too.

Tidak jarang terjadi seorang wartawan sedang mewawancarai nara sumber/tokoh tertentu, dia hanya ikut-ikutan mewawancarai, tanpa mengetahui konsep berita yang akan ditulisnya dengan mewawancarai si tokoh tersebut. Bahkan kadang juga tidak memahami apa konteks pemberitaan yang akan diangkatnya dengan ikut mewawancarai si tokoh tadi.

Wartawan masa kini dituntut memiliki produktivitas setinggi mungkin, karena mereka harus bersaing satu sama lainnya untuk menjadi yang paling duluan membuat topik berita tertentu. Selain itu, adanya target setoran berita yang harus ditayangkan oleh media tempat mereka bekerja menjadikan kuantitas yang tidak jarang mengesampingkan kualitas informasi yang disajikan.

Mereka, terutama wartawan pemula, beranggapan bahwa konteks berita dapat dilihat/dibaca dari Internet. Yang penting, mereka mengetahui keyword atas suatu isyu pemberitaan. Jadi, prinsip perencanaan produk pemberitaan bagi wartawan di era siber ini jelas berbeda, bahkan nyaris tidak mereka kenal. Itulah hal yang membedakan mereka dengan generasi wartawan sebelum era Internet.

Pra 1990-an, wartawan—terutama yang bekerja pada media nasional—dituntut untuk membaca sebanyak mungkin topik/berita/cerita, terutama yang berkaitan dengan bidang liputannya. Dengan demikian, ketika di lapangan, si wartawan selalu siap dengan konteks tertentu yang harus dikembangkan sebagai bahan informasi yang ingin diperolehnya ketika bertemu dengan nara sumber tertentu. Dengan demikian, si wartawan tadi tidak hanya menjadi follower atas konteks/topik tertentu, tapi dapat menjadi leader ketika berdiskusi dengan nara sumber.

Kompetensi wartawan berbanding lurus dengan jam terbang yang bersangkutan. Untuk wartawan di daerah yang bekerja di media lokal, dengan segala keterbatasannya, memiliki scope lebih terbatas tentunya, karena mereka dituntut untuk membuat berita yang ber-scope lebih lokal, dengan lebih memperhatikan a.l. proximity, bird view, dsb. Itu merupakan hal yang wajar. Sedangkan wartawan media nasional memang dituntut untuk memiliki helicopter view atau bahkan satellite view.

KOMPETENSI WARTAWAN

Suasana UKW di Sorowako

Nah, dari sudat pandang ini kemudian terbentuklah nilai kompetensi wartawan yang bekerja pada media lokal dan media ber-scope nasional. Karena mereka harus bekerja on daily basis sebagai wartawan profesional dan dedicated (tidak boleh disambil bekerja di bidang lainnya), nilai kompetensi mereka masing-masing pun terbangun pula sesuai pola kerja tersebut.

Sebagai contoh, ketika harus menyampaikan penugasan tertentu terkait dengan kompetensi wartawan di wilayah Jakarta dan luar Jakarta—terlebih lagi bagi mereka yang berasal dari Indonesia Timur. Misalnya, saya sering kesulitan memahami hasil kerja masing-masing kategori wartawan tersebut. Terus terang lebih mudah memberikan penugasan kepada rekan wartawan di Jakarta/Jawa ketimbang wartawan di luar Jawa—terlebih lagi di Indonesia Timur.

Selain itu, dalam hal penulisan teks/naskah berita/opini, rekan-rekan di kawasan Nusa Tenggara Timur sekarang cenderung berkualitas sedang atau bahkan biasa-biasa saja. Padahal, berdasarkan pengalaman pribadi saya, kualitas kebahasaan sejumlah wartawan senior dari wilayah NTT rata-rata bagus, lebih bagus dari wartawan dari wilayah Jawa dan Sumatra.

Karena tidak sedikit pakar Bahasa Indonesia berasal dari NTT. Tapi sekarang, kemampuan kebahasaan mereka tidak lagi sebagus para senior mereka. Perubahan ini mungkin juga terjadi karena pengaruh meluasnya pemakaian media sosial, yang umumnya cenderung abai terhadap gramatika dan kualitas kebahasaan lainnya.

*) Ditulis oleh Ahmad Djauhar, Redaktur Khusus Indowork.id

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Bisnis