Sulit, Mencari Tenaga Profesional yang Dapat Dipercaya

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Awal pekan ini saya makan siang dengan dua orang kaya di ibu kota. Betul-betul kaya. Mereka kaya dari usaha sendiri, merintis dari bawah.
Aset masing-masing ratusan miliar, kemungkinan tembus triliunan rupiah – karena saya tidak tahu dan tidak mengusutnya secara rinci. Pendeknya, cukup untuk menraktir saya di resto terbaik dan kami bisa senda gurau tanpa pusing memikirkan tagihan.
Tapi bukan manusia namanya jika mereka tidak galau dan risau – dengan berlimpahnya asset masing-masing yang mereka miliki dan semua anaknya yang sudah mandiri dan sukses setelah membangun bisnisnya sendiri.
Meski sudah kaya raya, mereka juga masih punya uneg-uneg. Menyimpan kejengkelan. Dan mereka curhat kepada saya.
Saya ceritakan dulu, mengapa saya ada di antara mereka. Yang satu adalah orang kaya yang berusia muda, teman lama, mantan orang susah yang mulai nampak kaya sejak 1990-an, dan sangat kaya sekarang. Usianya masih di bawah 60 tahun. Tinggal di kawasan hijau di timur ibukota.
Sedangkan yang satunya, senior, usianya sudah kepala 7, tinggal di kawasan Jakarta Utara, di Muara Karang – Pluit, dan salahsatu penghuni wilayah elite Chinese ibukota di sana. Dia juga merintis kekayaan dari bawah. Sebagai Chindo (Chinese – Indonesia) dia merintis usaha dari nol sejak 1970-an, berbekal kegigihan, ketekunan dan yang terpenting menjaga kepercayaan.

MINTA BANTUAN

Si kaya yang lebih muda, minta bantuan saya untuk dipertemukan dengan si kaya yang lebih tua – lebih senior. ‘Sowan’ sekaligus menjajagi kerjasama bisnis. Saya diminta menjadi Mak Comblangnya. Dan dengan agak susah mengatur jadwal dua pihak yang sibuk; saya berhasil mempertemukan keduanya.
Si kaya dari Pluit itu punya usaha induk di bidang percetakan. Sekadar gambaran, kalau Anda ke apotik, supermarket, atau minimarket, Anda tidak akan ketemu produk obat yang telanjang, melainkan dibungkus kemasan kardus atau plastik. Maka, perusahaan si kawan senior yang tinggal di Muara Karang itu yang mencetak itu. Jutaan karton per bulan.
Dan, saat pertemuan kemarin, setelah lama tak kontak, dia mengabarkan, akan punya klien baru, yang akan mencetak 2-3 juta plastik kemasan per bulan untuk produk obat obatan yang lain. Dengan begitu, kekayaannya akan berlipat dalam waktu tak lama lagi.
Dia ceritakan renovasi rumahnya di tengah ibukota sudah selesai. Dia punya rumah lain di kawasan pinggiran ibukota yang dihuni para pejabat tinggi, sipil maupun militer, penentu nasib bangsa. Selain yang dihuni di Pluit itu.
Pertemuan pada jam makan siang itu berlangsung lancar, asyik masyuk, aman, damai dan sejahtera.
Ada satu hal yang kemudian saya renungkan sepanjang jalan pulang setelah makan siang itu.
Bahwa orang orang kaya itu kesulitan mencari orang yang bisa dipercaya, orang yang jujur dan bisa bekerja dengan baik.
“Lahan saya yang lima ribu meter itu terbengkelai, mas, ” curhat salahsatunya. Saya ingat lima tahun lalu pernah diajak ke lokasi itu, dan dia membayangkan akan berdiri restoran atau pom bensin (SPBU) untuk di pinggir jalan yang stretegis itu.
“Mas saya kesulitan dapat orang yang bisa kerja dan bisa dipercaya buat ngelolanya, ” curhatnya, lagi, kemarin. “Saya hobi makan, saya pengin punya restoran, tapi saya belum dapat orang yang bisa saya yakini mengelolanya, ” katanya.
PENGALAMAN TRAUMATIS
Dia punya pengalaman traumatis dikerjai oleh orang yang dia percaya. Dia mengaku, seharusnya pada hari ini, dia menguasai aset Rp1,5 triliun. Dua puluh tahun lalu, dia hampir membayari 3.000 meter tanah yang dijual murah di Pluit. Tapi duitnya ditilep orang kantor.
“Saya pernah kepikiran mau bunuh orang itu, tapi guru spiritual saya mencegah, ” dia mengenangkan dengan nada gusar.
Selain dikerjai orang kepercayaan, asetnya pernah dihabiskan oleh adik bungsunya. “Saya sempat penjarain adik saya sendiri, tapi Mama bujukin supaya bebasin. Adik saya bukan saja ngabisin uang saya, tapi merusak kepercayaan sama perusahaan Jepang. Mengkelap saya, ” paparnya.
Sejak itu dia jadi waspada. Usaha yang dirintis susah payah bisa hancur oleh orang yang dia anggap bisa bekerja dengan baik. “Di depan saya nurut, di belakang saya nilep, itu yang terjadi, ” katanya.
Dia ada kelemahan, jika sudah percaya seseorang, dia menyerahkan pekerjaan pada orang itu. Dan dia sibuk mencari peluang lain – sebagai tantangan menarik untuknya. Ternyata berakibat fatal.
SI kaya yang satunya sama, meski lebih muda, dia merasa sudah kecukupan dan ingin hidup santai, menikmati usia pensiun . Akan tetapi sekaligus dia ingin memastikan pohon perusahaannya – yang dirintis dengan susah payah – terus dikelola oleh tenaga profesional, yang bisa mengembangkan bisnisnya. Menampung lebih banyak lapangan kerja.
Kesulitan keduanya sama : mencari tenaga profesional yang bisa dipercaya.
Pameo lama berlaku dan saya dengar sendiri: “Di Indonesia ada banyak orang pintar, tapi kita sulit mencari orang jujur”. Dan lebih sulit lagi, mencari kombinasi keduanya: pintar sekaligus jujur.
Saudaraku sekalian, saya berteman dengan setidaknya dua orang kaya ibukota yang berlimpah kekayaannya, yang kini bekerja bukan semata untuk menambah kekayaan, minimal mempertahankan kekayaan mereka – melainkan memberi manfaat kepada orang banyak, masyarakat dan bangsa. Dengan membuka lapangan kerja, membuka bisnis baru.
Sebab, dengan lebih dua rumah tinggal di Jakarta, sejumlah property di kawasan strategis, tanah, kebun di berbagai daerah yang mereka punya, mereka tak memikirkan bagaimana makan besok.
Beda banget dengan saya yang cuma jadi Mak Comblang ini. Hari demi hari – day by day – berjuang untuk tetap hidup dan menyekolahkan anak.
Nasib kami memang begitu.
*) Ditulis oleh Dimas Supriyanto, Wartawan Senior

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Bisnis