Bung Hatta Prihatin, Rakyat Berhak Dapat Tempat Tinggal

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: ”Tentang perumahan rakyat, kita menunjukkan ketinggalan yang besar, dan sebagian besar rakyat masih menempati rumah yang tidak layak bagi bangsa merdeka.”

Begitulah keprihatinan mendalam dari seorang founding father Republik Indonesia Mohammad Hatta perihal perumahan rakyat. Sang Proklamator menegaskan rakyat berhak mendapatkan penghidupan yang layak termasuk urusan tempat tinggal.

Meski begitu, Bung Hatta dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada 25—30 Agustus 1950 di Bandung memiliki keyakinan terpenuhinya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil untuk diwujudkan. Cita-cita Bung Hatta yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Perumahan tentu sejalan dengan amanat falsafah bernegara bangsa ini yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

Mukadimah konstitusi Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyat termasuk urusan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia.

ADA DI UNDANG-UNDANG

“Kemudian, untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia mewujudkan kesejahteraan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial….”

Pernyataan yang termaktub dalam paragraf keempat Mukadimah UUD 1945—juga memuat sila-sila dalam Pancasila—kemudian dijabarkan dalam Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 H, Pasal 33, dan Pasal 34 konstitusi tersebut. Pasal 27 ayat 2 berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28H antara lain menyebutkan pada butir (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, selain sandang dan pangan, tentu bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar lagi. Secara teoritis, menurut para ahli, hunian tak sekadar sebuah bangunan dalam artian fisik. Bukan sekadar house, tetapi home. Dengan begitu, rumah tinggal harus memenuhi syarat berbagai segi kehidupan seperti perlindungan, kebutuhan, rohani, kesehatan, dan keamanan.

KEWAJIBAN PEMERINTAH

Sebagai sebuah amanat konstitusi, penyediaan rumah yang layak untuk warganya tentu menjadi kewajiban bagi pemerintahan yang mendapatkan mandat untuk menjalankan negara. Meski sudah pasti, hal itu bukanlah sebuah pekerjaan gampang, semudah membalikkan tangan, misalnya.

Apabila ditarik jauh ke belakang, niat baik menyediakan rumah bagi rakyat sebenarnya sudah berjalan sejak masa kolonial. Meski begitu, tentu kita tidak bisa membandingkan pembangunan permukiman pascakemerdekaan dan masa-masa penjajahan.

Filosofi yang mendasari niat itu jelas berbeda. Pada masa kolonial Belanda, permukiman secara umum terbagi dua golongan yang perbedaannya bak langit dan bumi.

Perumahan bagi kalangan Belanda atau Eropa dibangun dengan rapih mengikuti pola Eropa. Biasanya dilengkapi dengan pekarangan yang luas.

Sementara itu, pola pemukiman golongan pribumi umumnya bergerumbul tidak teratur. Fasilitas pendukungnya juga terbatas. Warga pribumi biasanya membangun sendiri rumah mereka.

Ketidakteraturan dan minim fasilitas di pemukiman pribumi sepertinya bukan sesuatu yang muncul dengan sendirinya. Ada yang memandang hal itu menjadi bagian dari strategi penjajah untuk memecah-belah solidaritas warga.

Pada 1924, Pemerintah Belanda menerbitkan Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Burgelijk Woning Regeling (BWR). Dilihat dari namanya, jelas beleid ini berhubungan dengan ketersediaan hunian bagi mereka yang bekerja untuk pemerintahan kolonial.

Selanjutnya terjadi beberapa kali revisi terhadap kebijakan tersebut. Antara lain melalui BWR Staatsblad 1934 Nomor 147 dan terakhir Staastsblad 1949 Nomor 338. Ketentuan dalam beleid terakhir itu terbatas hanya mengatur tentang pengadaan, penghunian, pengelolaan, pengalihan status, dan hak atas rumah negara.

Tentu bisa kita pahami kalau pada masa penjajahan Belanda kebijakan apalagi pelaksanaan program untuk menyiapkan hunian yang layak bagi kaum pribumi masih terbatas sekali. Dari penelusuran sejarah didapatkan bahwa andaipun dilakukan upaya pembinaan perumahan rakyat, kebijakannya lebih berorietasi pada soal kesehatan dan sosial.

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Humaniora