Film Buya Hamka, dari Penjara Hingga Politik
INDOWORK.ID, JAKARTA: Dibalik kehebatan seorang pejuang, ada peran istri yang mendampinginya. Itulah kesan yang saya tangkap dalam film Hamka dan Siti Raham, film bermutu yang baru saya tonton kemarin sore.
“Saya bukan lah ahli pidato. Saya hanya yang merawat, memasak, menyiapkan pakaian ahli pidato, dan saya yang menjaga kehormatannya,”kata Siti Roham, istri Buya Hamka, dalam sambutannya saat Buya bebas dari tehanan penjara.
Menurut saya, itulah ucapan yang sederhana dari seorang istri pejuang, namun teramat bernas dan menyentuh kalbu.
Bukan hanya itu yang membuat saya terkesan. Siti Roham lah yang menemani Buya Hamka di tempat pengungsian, saat suaminya ditembak oleh bangsa sendiri. Saat pertikaian Hizbullah dg TNI di belantara hutan Minang.
Siti Roham pula yang menenangkan Buya Hamka saat ia memutuskan keluar dari abdi negara (pegawai pemerintah), karena tak ingin dipasung kebebasannya untuk berpikir dan berkarya dalam beberapa tulisannya yg kerap menyindir kebijakan pemerintah Soekarno.
PRIHATIN DAN SABAR
Buya Hamka mengumpulkan istri dan anak anaknya di ruang keluarga, bahwa mulai bulan esok, ia tak akan menerima gaji dari pemerintah. Buya mengajaknya agar hidup prihatin dan tetap bersabar.
“Kita sudah terbiasa hidup susah. Jadilah Buya Hamka saja. Jadikanlah Menulis sbg ladang dakwah baru,” hibur Siti Roham menenangkan suaminya.
Berkat perkataan Siti Roham lah yang menguatkan Buya Hamka untuk tidak jadi memutuskan tindakan bodoh, upaya bunuh diri di dalam penjara dengan menggunakan silet, karena beratnya tekanan hidup dan siksaan oleh rezim pemerintah Soekarno. Terus terang, saya juga baru tahu ada kisah, ternyata seorang Buya pun bisa putus asa dan hampir membinasakan dirinya sendiri.
Siti Roham bersama anak anaknya pula yang selalu datang membesuk suaminya dengan membawakan rantang berisi masakan Padang, kesukaan suaminya tercinta.
UJIAN BERAT DI PENJARA
Begitulah ujian berat pejuang seorang Buya Hamka di dalam penjara. Seseorang yang kita anggap tegar dan tabah pun sempat terpikir untuk bunuh diri. Setan membisiki ulama itu utk menghabisi nyawanya sendiri. Tapi ucapan istrinya yang selalu diingat untuk tetap bertahan dalam keimanan, sering seringlah bercermin diri agar selamat dunia akhirat.
Seorang ulama jangan hanya bisa menasihati orang lain, akan tetapi tak bisa menasihati diri sendiri. Seorang ulama juga jangan cuma bisa menasihati orang lain untuk bersabar dalam menjalani hidup, tapi tak bisa sabar pada dirinya sendiri. Begitulah kesan yang saya tangkap dlm film ini.
Sejak nonton film ini, saya jadi ingin menggali sejarah dan perjalanan Buya Hamka lebih jauh, tatkala berjuang membela Tanah Air. Terlebih ketika ada adegan tentara Hizbullah saling berperang melawan pihak TNI. Sebagai generasi masa kini, saya juga baru tahu, ada konflik sesama anak bangsa, ada pengkhianatan di internal pejuang kemerdekaan.
Saya juga ingin tahu lebih dalam ketika Buya Hamka berkata, “Dalam politik, kawan bisa menjadi Lawan.” atau tentang Partai Masyumi yg dituduh sebagai musuh pemerintah. Atau anggota partai Masyumi yang dilarang menjadi pegawai pemerintah.
MAJALAH DAN KORAN
Saya juga jadi ingin tahu tentang sejarah berdiri dan dibredelnya majalah Pandji Masyarakat, yang diembargo kertas untuk mencetak. Begitu juga sejarah koran Pedoman Islam yang dipimpin Buya, karena tuduhan kepadanya yang dianggap menyerang pemerintah.
Saya juga ingin tahu lebih jauh tentang tuduhan pihak tertentu yang menyebut buku Tenggelamnya Kapal Vanderwijksebagai karya plagiat Buya Hamka. Tapi kemudian Kritikus sastra HB Yasin membela Buya.
Yang menarik, saya juga ingin tahu tentang fitnah kepada Buya yang ingin gulingkan Soekarno, atas dasar kehadirannya rapat di Tangerang.
Saya juga ingin tahu tentang proses Tafsir Al Azhar yang diselesaikan di dalam penjara. Saya juga terkesan, ketika Buya menyembunyikan kertas berisi tulisannya di belakang sarung yang dikenakannya.
Atau tentang Sipir Penjara bernama Dadang yang tak yakin dengan tuduhan Buya telah berkhianat kepada negara.
Saat Buya bebas, ia banyak kedatangan tamu di rumahnya untuk menerima konsultasi dari masyarakat tentang segala persoalan, mulai dari bagaimana sikap istri ketika suaminya kerap bermain judi, hingga ingin menjadi mualaf.
Yang menarik lagi, Buya Hamka yang pernah menjadi musuh politik Soekarno, bersedia menjadi imam untuk menyolatkan lawan politiknya yang pernah memenjarakan dan menyiksanya di dalam penjara.
PENULIS MAKIN KAGUM
Bertambah kagum dan bangganya saya kepada Buya Hamka, beliau bukan hanya seorang pejuang kemerdekaan yg pemberani dan merindukan syahid, tapi juga ulama yang berkharisma, seorang orator di atas mimbar. Satu hal kekaguman saya pada beliau, Buya Hamka adalah ulama yang lurus, ulama yang tak bisa dibeli oleh siapa pun. Beliau hanya ingin dibalas dengan surga dari Tuhan.
Buya juga seorang penulis yang hebat, pujangga yang romantis, suami setia, ayah bijak dan penyayang. Juga negarawan yang lebih mendahulukan bangsa dan persatuan. Ia juga sosok yang pemaaf terhadao lawan lawan politiknya. Masyaallah.
*) Ditulis oleh Adhes Satria Agustian bin Misfallah Zulfikar, wartawab senor aktivis Betawi yang bermukim di Depok.