Segera Revitalisasi, Ini Sejarah Gereja Immanuel Jakarta
INDOWORK.ID, JAKARTA: Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Jakarta yang terletak di Jalan Merdeka Timur No. 10, Gambir, Jakarta Pusat berencana akan melakukan revitalisasi gereja.
Selaku Pengendali Teknis, Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta akan terus berupaya maksimal untuk melakukan revitalisasi bangunan-bangunan Cagar Budaya dengan tetap menjaga prinsip-prinsip pelestarian, salah satunya Gereja Immanuel Jakarta.
“Pekerjaan ini tidak mudah, karena yang diniatkan dan dikerjakan bukan hanya fisik semata, tapi bagaimana memuliakan keberadaan Gereja Immanuel sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan perkembangan Kota Jakarta,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, di Jakarta pada Senin (2/8/2021).
Gereja Immanuel Jakarta berstatus Cagar Budaya ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya.
ARSITEKTUR NEO KLASIK
GPIB Immanuel Jakarta ini memiliki halaman cukup luas, bergaya arsitektur Imperial yang merupakan bagian dari Neo Klasik dan mendapat pengaruh Barok dan Rokoko pada interiornya.
Bangunan gereja berdenah lingkaran simetris dengan 4 pintu masuk, dan beratap kubah berpenutup sirap dengan cupola di puncaknya. Atap pada pedimen dan teras belakang merupakan atap perisai dengan penutup genteng.
Di sekeliling dinding bagian atas bangunan gereja terdapat entablatur. Struktur bangunan merupakan dinding pemikul yang terbuat dari susunan bata yang diplester dengan campuran kapur dan pasir. Lantai bangunan gereja dibuat lebih tinggi 3,2 m dari halaman.
Awalnya, pembuatan Gedung Gereja Immanuel Jakarta untuk beribadat umat protestan Lutheran dan Hervormd di Batavia. Hingga awal abad ke-19, masyarakat protestan Hervomd di Batavia tidak memiliki sebuah gereja.
Selama berpuluh tahun mereka terpaksa menggunakan salah satu ruangan yang terbuat dari bambu pada sebuah Sekolah Rendah di Weltevreden, dan juga diharuskan untuk menggunakan ruang dalam sebuah gereja Portugis di kota Batavia.
Karena tidak memiliki gereja sendiri, tentunya mereka merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut. Umat Protestan Hervormd dan Lutheran telah sepakat untuk mempunyai sebuah gereja yang akan digunakan bersama-sama.
Pembangunan gereja tersebut mulai pada 1834 berdasarkan rancangan dari J.H. Horst. Ia adalah seorang kepala kantor pegadaian dan pengukur tanah. Untuk pekerjaan merancang gereja ini, Horst mendapat imbalan sebesar f 10.000,-.
Dalam perkembangannya, pembangunan gereja tersebut sempat mengalami kekurangan dana. Dana dari kedua umat tidak mencukupi untuk pembangunan gereja tersebut. Untuk itu pada 1838, mereka meminta agar bantuan dana dari pemerintah segera cair.
DULUNYA BERNAMA WILLEMSKERK
Gereja Immanuel Jakarta ini dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1839 dengan nama Willemskerk. Nama Willemskerk diberikan kepada gereja baru itu untuk menghormati Raja Willem I yang mempunyai keinginan untuk mempersatukan umat-umat Protestan agar dapat membentuk satu gereja yang berlandaskan gagasan liberal seperti persaudaraan, toleransi, dan kesamaan kedudukan.
Usaha untuk mempersatukan dua umat protestan ini tidak berhasil di Belanda, tetapi usaha tadi tidak sepenuhnya gagal di Hindia Belanda. Dengan pembangunan gereja ini, umat Protestan Lutheran dan Hervormd disatukan dalam sebuah gereja. Selain umat protestan Hervormd dan Lutheran, umat protestan Evangeli pun turut menggunakan gereja ini sebagai tempat ibadahnya.
Pada masa pendudukan Jepang, gereja ini sempat digunakan untuk menyimpan abu jenazah tentara Jepang yang gugur dalam peperangan.
Pada masa tersebut, bangunan ini terkenal dengan nama Kuil Churei-do. Setelah proklamasi kemerdekaan, gereja ini dikembalikan fungsinya sebagai tempat beribadat umat kristen. Nama Willemskerk berubah menjadi Gereja Immanuel pada 1948, saat Gereja Protestan Indonesia Barat berdiri.
Saat ini, peruntukan Gereja Immanuel sebagai sarana ibadah umat Kristiani. Dengan revitalisasi tersebut, Iwan berharap bangunan Gereja Immanuel dapat meningkat baik dari segi kualitas, kenyamanan, maupun keamanan fasilitas pendukung yang berada di bangunan dan lingkungannya.
Dengan demikian, adanya revitalisasi ini tidak mengabaikan esensi kesakralan dari bangunan ibadah. Selain itu juga edukasi terhadap masyarakat mengenai nilai penting Bangunan Cagar Budaya Gereja Immanuel. Mengingat keberadaannya sebagai bukti dalam rangkaian sejarah perjuangan Bangsa.
Baca juga: Menengok Bendungan Way Sekampung Yang Hampir Rampung