Problem Dosen di Indonesia: Tarikan Menjadi Birokrat Atau Akademisi

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Ketika seseorang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia maka gaji pokok yang ia terima sama dan sesuai standar dari Kementerian Keuangan, entah itu di Aceh, Jakarta ataupun Papua.

Dimulai dari angka 2 juta-an dan bertambah dengan tunjangan-tunjangan seperti uang makan, asuransi kesehatan, tunjangan keluarga. Seringkali di tahun-tahun awal menjadi dosen, akumulasi gaji plus tunjangan yang diterima masih di bawah 4 juta rupiah. Tambahan lain yang diharapkan adalah uang bikin-periksa soal ujian, sidang proposal dan tugas akhir, jaga ujian. Itupun belum tentu ada setiap bulan.

Standar gaji pokok dan tunjangan-tunjangan ini kebanyakan juga ditiru oleh perguruan tinggi swasta dengan segala dinamikanya. Buat perguruan tinggi swasta bonafid standarnya bisa di atas PTN. Tapi bagi PTS kecil dan pelit seringkali standar gaji dosennya di bawah PTN.

Di PTS kebanyakan sistem penggajian dengan cara fleksibel dengan menghitung seberapa banyak kelas yang diampu oleh seorang dosen. Semakin banyak kelas maka semakin banyak rupiah yang terkumpul dan ditransfer ke rekeningnya.

DI BAWAH UPAH BURUH

Para dosen memberikan pencerahan untuk wartawan

Ketika shock melihat gaji awal yang seringkali di bawah standar Upah Buruh yang dilegalisasi lewat UMR/UMP (notabene kebanyakan buruh cuma punya degree SMA) tentu saja sang dosen yg sudah punya ijazah S2 memutar otak untuk survival.

Bagi yang berasal dari keluarga mampu tentu ia masih bisa bersabar sampai masa-masa tunjangan Serdos sudah digenggam. Tapi bagi yang harus bertarung memenuhi kebutuhan agar tidak menutupi kebutuhan dengan pinjaman sebagian memilih untuk “poligami ngajar” atau mencari kelas di perguruan tinggi lain.

Saya pribadi tidak tahu alasan pemerintah mengundur-undur pemberian tunjangan Serdos kepada dosen sampai jangka waktu 3-5 tahun setelah seseorang resmi menjadi dosen dengan persyaratan rumit dan harus ikut pelatihan ini itu. Sementara pegawai-pegawai non dosen bisa otomatis mendapat Tunjangan Kinerja seiring sertifikat PNS penuh ia terima. Di tahun pertama pegawai tersebut memang agak ngos2an. Tapi di tahun kedua pengabdian ia sudah bisa tersenyum karena gaji pokok sudah bertambah dengan tunjangan kinerja (tukin).

HONOR TAMBAHAN

Usut demi usut ternyata uang yang beredar di perguruan tinggi berbasis kegiatan. Maka dosen-dosen baru berusaha agar namanya muncul di berbagai kegiatan-kegiatan kampus. Setiap kegiatan ada honornya. Dari kegiatan itu seorang dosen bisa merasakan naik pesawat gratis dan tidur di hotel bintang 3 sampai bintang 5. Honor-honor kegiatan ini kadang bisa mencapai 1/5 sampai 2 kali gaji pokok sang dosen.

Setelah mengetahui enaknya mendapatkan honor kegiatan, akal seorang dosen terus berputar mencari sumber bagaimanakah caranya agar namanya bisa muncul di banyak kegiatan. Ternyata yang menentukan nama-nama orang yang terlibat pada sebuah kegiatan adalah pejabat kampus di level-level tertentu.

Dari sinilah kemudian keinginan untuk menjadi pejabat itu muncul dan politik kampus lahir. Kalau bisa jadi pejabat kampus maka bisa mengambil kebijakan anggaran dan berkuasa menentukan nama2 orang yang akan ikut kegiatan.

Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan kampus mau tak mau menyita waktu para dosen. Beban-beban kerja administratif, kantoran dan birokrasi menjadi kesibukan tiada henti yang seringkali menguras energi dan waktu dosen.

Akibatnya adalah kualitas pengajaran menjadi menurun karena waktu untuk membaca buku, menulis dan update pengetahuan di bidangnya tergerus oleh pekerjaaan administratif dan teknis. Seringkali juga penelitian dan pengabdian masyarakat dikerjakan sekedarnya saja demi memenuhi kredit poin buat kenaikan pangkat.

Berbeda dengan pola yang dibangun oleh negara-negara lain dimana sejak awal Dosen sudah digaji dengan standar yang sangat layak. Di Malaysia misalnya gaji pokok seorang dosen dengan kualifikasi S3 sudah di angka 20-30 juta. Padahal dari segi living cost antara Indonesia dan Malaysia tidaklah jauh berbeda. Bahkan biaya hidup di Kuala Lumpur mirip-mirip dengan Jakarta.

Di Eropa, Amerika, Australia gaji dosen bisa 2-3 kali lipat dibandingkan Malaysia.

LEBIH FOKUS

Ketika seorang Dosen telah diberikan penghargaan finansial yang layak sejak awal ia akan lebih fokus untuk meningkatan kemampuan diri dalam memberikan konten kuliah, menggarap penelitian. Karena dari gaji yang diterima ia tidak harus memikirkan pekerjaan tambahan untuk membuat kondisi keuangannya bisa mencapai kehidupan yang layak.

Mereka bisa mengalokasi waktu untuk membaca, menulis dan update ilmu dengan lebih leluasa. Gaji mereka masih bisa digunakan untuk membeli buku2 terbaru di bidang keilmuannya. Mereka ngak perlu gasak-gusuk untuk “ngamen” di 2-3 kampus lain demi sekedar bertahan hidup. Mereka ngak perlu sikut-sikutan untuk mendapatkan jabatan-jabatan di kampus demi beli susu anak atau untuk jajan/jalan2 anak.

Saya pikir soal gaji dosen inilah yang mula-mula harus dibenahi oleh Kemendikbudristek sebelum membuat dan launching berbagai program-program yang tampaknya wah dan inovatif. Kampus Merdeka, Praktisi Mengajar, Dosen berkegiatan di luar atau apalah namanya. Karena sistem penggajian saat ini hanya membuat Dosen-Dosen di Indonesia lebih cenderung jadi birokrasi dibandingkan jadi akademisi.

Ditulis oleh Anggun Gunawan, Peneliti dan Dosen di Politeknik Negeri Media Kreatif

 

You may also like

Comments are closed.

More in Humaniora