Menakar Strategi Netralitas Indonesia di KTT G20

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Menghitung hari. Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan (Presidensi) KTT G20 di Bali, 15 November 2022. Ini adalah pengalaman pertama Indonesia memegang Presidensi Group of 20 (G20) – forum kerja sama multilateral 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). Negara-negara hebat itu menguasai 75 persen perdagangan dan 80 persen PDB global.

Berbagai persiapan dilakukan sejak Indonesia menerima tongkat presidensi sebelumnya dari Italia pada per 31 Oktober 2021. Dua bulan belum sebelum perhelatan besar ini, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyampaikan semua persiapan KTT G20 sudah “on the track.” Indonesia siap baik dari segi logistik dan substansi.

Indonesia menyadari bahwa dinamika geopolitik dunia yang sangat dinamis dan mengarah pada polarisasi. Di antara negara-negara anggota G20, akan menjadi magnet sekaligus tantangan bagi pelaksanaan KTT G20 2022 nanti.

Ada dua isu geopolitik yang perkembangannya akan sangat mempengaruhi pertemuan Presidensi G20 Indonesia. Selain konflik berkepanjangan Rusia dan Ukraina, juga adanya rivalitas dan perseteruan antara AS dan China terkait isu Taiwan dan isu HAM di Xinjiang.

Mari perhatikan implikasi isu-isu ini pada event-event pra KTT G20 2022. Pada periode Agustus–September 2022, ada enam pertemuan tingkat menteri (PTM) yang sudah terlaksana.

Namun pertemuan strategis tersebut justru hanya mampu menghasilkan chair’s summary. Tidak ada komunike (joint statement) yang berhasil disepakati akibat perbedaan pandangan antar anggota G20 dalam beberapa isu terkait konflik Rusia-Ukraina. Ketidaksepakatan ini tentunya akan mempengaruhi penyusunan Leaders’ Declaration pada puncak KTT G20 pada November 2022.

RUSIA DIKECAM

Tentara Rusia (foto Reuters)

Sebelumnya, Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, Korea, Australia, dan Uni Eropa telah menyampaikan kecaman (condemnation) terhadap Rusia di berbagai forum G20. G7 juga meminta G20 mengeluarkan pernyataan yang mengutuk Rusia dan memberikan dukungan kepada Ukraina. Bahkan, sebagian anggota G7 meminta agar Rusia tidak diundang ataupun dikeluarkan dari G20.

Di isu lainnya, persaingan AS (yang didukung oleh negara-negara G7) dengan RRT muncul pada pertemuan 1st G20 Finance Ministers and Central Bank Governors tanggal 15−18 Februari 2022 lalu. Negosiasi sulit menemui kesepakatan pada pembahasan penghapusan utang negara miskin dan mekanisme pendanaan untuk pencegahan, kesiapsiagaan dan respon menghadapi pandemi.

Sedari awal Indonesia memegang komitmen untuk berdiri di tengah dan memosisikan diri sebagai presidensi G20 yang bersifat netral dan imparsial. Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia pada akhir Juni 2022, Indonesia menunjukkan netralitas dan kesiapan menjadi pihak yang menjembatani mandegnya komunikasi antara Rusia dan Ukraina.

Indonesia juga memutuskan untuk tetap mengundang Rusia pada KTT G20 dengan pertimbangan bahwa semua pihak perlu duduk bersama dan membuka dialog untuk mewujudkan pemulihan global yang inklusif. Meskipun Presiden Ukraina Volodymyr Zalensy belum mengkonfirmasi kehadirannya, namun undangan yang disampaikan Indonesia–meskipun Ukraina bukan negara anggota G20)–menjadi komitmen Presidensi Indonesia menciptakan forum KTT G20 yang netral.

Posisi Indonesia memang sangat berat dan dilematis. Namun  “diuntungkan” denganrealita tekanan geopolitik global membuat hampir semua negara menderita akibat efek konflik Rusia dan Ukraina. Indonesia melihat celah ini sebagai strategi anggota G20 harus menerima ide besar: “recover together, recover stronger”.

MENDORONG KRISIS

Laporan PBB dalam situs resmi FAO merilis bahwa perang Rusia Ukraina bisa menjadi pendorong terjadinya krisis pangan bagi 47 juta orang di berbagai belahan dunia. Bahkan bila konflik ini berlangsung lama dan berkepanjangan, FAO memperkirakan akan ada peningkatan jumlah masyarakat yang kekurangan gizi, dari 7,6 juta menjadi 13,1 juta orang pada tahun 2023 sampai 2023.

Sebelum terjadinya konflik Rusia dan Ukraina, hampir semua negara sudah dihadapkan pada tekanan berat akibat pandemi Covid-19. Rapuhnya fondasi ekonomi, terutama di negara berkembang membuat banyak negara mengalami jebakan fiskal. Itulah sebabnya, Indonesia membawa misi dan kepentingan dari negara-negara berkembang terkait aspek keuangan global ke forum G20.

Dengan komitmen menggandeng kepentingan negara berkembang inilah Indonesia berjuang mewujudkan konsensus agar banyak yang terhindar dari jebakan fiskal atau utang dalam jangka panjang. Pun menciptakan suatu mekanisme pendanaan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon menghadapi pandemi.

Indonesia telah menawarkan konsep mekanisme pendanaan untuk kesiapsiagaan, pencegahan, dan penanggulangan pandemi melalui pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF) dalam bentuk Joint Finance and Health Task Force (JFHTF). Finalisasi tata kelola dan teknis pengaturan operasional FIF ini akan dilakukan pada KTT para Pemimpin G20 pada November 2022.

RESPON ALTERNATIF

Presiden Joko Widodo (foto Kompas.com)

Menyikapi dinamika krisis Rusia-Ukraina rivalitas AS-China, selain menempuh cara-cara klasik melalui jalur mekanisme G20 Track, Indonesia juga perlu mempersiapkan jalur respon alternatif mekanisme bilateral dengan negara anggota dan invitee (Bilateral Track). Tentu saja tetap fokus pada komitmen agar forum KTT G20 menjadi premier forum for international economic cooperation dan fokus pada pembahasan di berbagai agenda prioritas.

Berbagai konflik dan perkembangan kondisi geopolitik yang mengiringi penyelenggaraan KTT G20 nanti memang akan menjadi magnet yang pasti menarik perhatian dunia. Kehadiran para pemimpin negara, khususnya Presiden AS, Presiden Rusia, dan Presiden China akan menjadi tolak ukur keberhasilan strategi netralitas Presidensi Indonesia di KTT G20.

Antisipasi tentu perlu dibuat apabila tidak semua leaders hadir bila Presiden Putin hadir dan kemungkinan akan terjadi pertemuan historis, seperti antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping, yang belum pernah terjadi sejak Biden menjadi Presiden AS pada Januari 2021.

*) Ditulis oleh Yurike Patrecia Marpaung, Analis Kebijakan Madya pada Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Sekretariat Wakil Presiden RI.

 

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Humaniora