Soebronto Laras, Kembangkan Suzuki Merambah ke Mazda, Nissan, dan Hino
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Soebronto Laras lahir pada Oktober 1943, bergabung dengan Grup lndomobil sejak 1976 sebagai Presiden Direktur PT Indomobil Utama. Pada 1982, dia ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Indomobil Sukses Internasional Tbk.
Pada Juni 2002 ditunjuk sebagai Komisaris Utama perseroan hingga tahun ini (2021) selain peran sebagai Presiden Komisaris di berbagai anak perusahaan dalam kelompok usaha lndomobil.
Peraih gelar Sarjana Teknik Mesin dari Paisley College di Skotlandia pada 1969 dan Diploma of Business Administration dari Hendon College di London pada 1972 ini sangat identik dengan merek Suzuki di industri otomotif Indonesia.
Saat membawa merek Suzuki di Indonesia pada 1975, Subronto ternyata tidak sendirian. Seorang pengusaha kasino bernama Atang Latif alias Apiang lah yang menjadi pemodal awal Suzuki di Indonesia.
Selain ikut mengelola kasino, Subronto juga membantu Atang mengembangkan bisnis plastik untuk komponen otomotif dengan membuat kabinet radio untuk mobil.
Setelah menjadi direktur PT First Chemical Industry, perusahaan alat- alat plastik dan perakitan kalkulator, Subronto akhirnya menjadi direktur perusahaan perakitan motor dan mobil Suzuki di Indonesia.
“Saya berani maju karena didukung penuh oleh Pak Atang Latief,” kata Soebronto menjelaskan sejarah masuknya Suzuki ke Indonesia.
Visi Soebronto Laras saat itu adalah merakit mobil berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat luas. Mulailah dia melobi Suzuki Jepang untuk merakit mobil di Indonesia. Mobil niaga ringan Suzuki ST10 mengawali bisnis otomotif Suzuki di Indonesia. Mobil pikap ini mengusung mesin 360 cc dan dua silinder yang dirakit oleh PT Indomobil Utama.
Namun, dimensi dan kapasitas mesin mobil ini dinilai terlalu kecil, sehingga Soebronto pun melobi principal Jepang untuk memproduksi mobil lebih lega dan besar. Maka lahirlah Suzuki ST20 atau lebih dikenal dengan nama Suzuki Carry.
Tes pasar Suzuki ST20 dilakukan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1978. Saat itu sedang musim panen cengkeh, sehingga para petani di Manado menjadi konsumtif dengan memborong aneka produk elektronik seperti pesawat televisi dan lemari es. Menurut Subronto, saat itu mobil ST20 dicoba untuk mengangkut cengkeh seberat satu ton dan membawanya ke atas gunung.
Setelah sukses sebagai mobil niaga di Manado, Subronto sukses pula mengubah Suzuki Carry sebagai angkutan kota (angkot). Jadilah pikap ST20 sebagai angkot dengan konsep kursi menghadap ke depan semua. Tempat duduk di samping sopir, dapat memuat dua orang, sehingga hingga bagian belakang mampu mengakomodasi enam sampai delapan orang.
Dari Manado, Subronto membawanya ke pasar Pulau Jawa dengan membangun imaji Suzuki Carry adalah mobil tangguh. Kota Sukabumi di Jawa Barat menjadi pilihan pertamanya. Setelah Sukabumi, Suzuki melakukan ekspansi ke kota Cirebon, Bandung, Tasikmalaya, dan Semarang.
“Sampai akhirnya kami masuk pasar Jakarta. Saya melakukan pendekatan dengan Induk Koperasi Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma untuk memasok Suzuki ST20 menjadi angkot Trans Halim di kawasan Halim, Jakarta Timur,” ujarnya.
Setelah berhasil menjadi armada Trans Halim, angkot Suzuki Carry merambah kota Solo. Nama Suzuki Carry pun semakin dikenal sebagai mobil tangguh saat itu. Penjualan ini mendorong volume produksi mobil pun meningkat hingga tembus 1.500 unit per bulan.
Selain Suzuki, Subronto dan Atang kemudian mengambil alih penjualan mobil merek VW, Audi, dan Nissan. Pada 1981, portofolio bisnis otomotif Indomobil bertambah dengan merek Mazda dan Hino.
“Ketika semua kasino ditutup pemerintah pada 1982, saya menyarankan agar Indomobil dijual ke kelompok Salim, yang waktu itu lebih mapan,” ujarnya.