Berkat IPO, Kinerja Keuangan Perusahaan Menjadi Lebih Kuat

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: IPO adalah salah satu bentuk privatisasi perusahaan. UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan.

Yang dimaksud privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.

Pasal 78 Undang-Undang itu juga menyatakan ada tiga cara privatisasi, yaitu penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, penjualan saham langsung kepada investor, penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.

Manfaat Privatisasi

Menurut Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo (2008), ada dua manfaat privatisasi, yakni manfaat skala makro ekonomi dan manfaat skala mikro BUMN. Dari sisi makro ekonomi, privatisasi bermanfaat untuk membantu pemerintah dalam mendapatkan dana pembangunan, sebagai pengganti kewajiban setoran tambahan modal pemerintah dan mendorong pasar modal dalam negeri.

Adapun dari sisi skala mikro BUMN, privatisasi bermanfaat untuk restrukturisasi modal, keterbukaan pengelolaan perusahaan, peningkatan efisiensi dan produktivitas, serta perubahan budaya perusahaan.

Keduanya mengatakan bahwa langkah privatisasi di Indonesia bukan semata-mata sebagai penjualan perusahaan. Melainkan privatisasi sebagai alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran.

Di antaranya, peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan kepada publik serta pengembangan pasar modal.

Perkembangan Setelah IPO

Sejalan dengan pemikiran itu, langkah IPO WIKA terbukti makin memperkuat kinerja keuangan WIKA. Kesuksesan IPO berpengaruh positif terhadap keberhasilan WIKA sekarang.

Sebelum IPO, kinerja finansial WIKA terbilang masih kecil. Nilai penjualan WIKA tahun 2006 masih sebesar Rp3,04 triliun, tetapi, setelah IPO, tahun 2007 penjualan WIKA merangkak naik menjadi Rp4,28 triliun dan tahun 2013 telah sebesar Rp11,88 triliun.

Sementara itu, laba bersih WIKA juga tumbuh pesat. Sebelum IPO, laba bersih masih sebesar Rp93,89 miliar (tahun 2006). Akan tetapi, setelah IPO, laba bersih WIKA meningkat menjadi Rp129,1 miliar (tahun 2007) dan naik lagi menjadi Rp624,37 miliar tahun 2013.

Berkat IPO pula, kondisi keuangan WIKA makin kuat. IPO tahun 2007 telah menaikkan ekuitas WIKA secara signifikan. Sebelum IPO, ekuitas WIKA hanya sebesar Rp402 miliar tahun 2006. Namun, tahun 2007 ekuitas WIKA naik sebesar Rp1,29 triliun dan pada tahun 2013 telah tumbuh pesat hingga mencapai Rp2,94 triliun.

Jadi, sejak IPO, ekuitas WIKA telah naik tujuh kali lipat. Total aset WIKA juga melonjak setelah IPO.

Tahun 2006 total aset WIKA masih sebesar Rp2,65 triliun. Angka ini kemudian melonjak menjadi Rp4,13 triliun setelah IPO pada tahun 2007. Aset WIKA pun terus bertumbuh hingga sebesar Rp12,59 triliun pada tahun 2013.

Bila dikalkulasi, maka laba bersih WIKA tahun 2012 telah melebihi jumlah ekuitas WIKA sebelum IPO 2007. Dengan kata lain, jumlah ekuitas WIKA selama 46 tahun, sejak berdiri tahun 1960 hingga tahun 2006, telah dilampaui oleh besaran laba bersih WIKA tahun 2012.

WIKA juga telah mampu memupuk laba bersih lebih dari Rp1 triliun selama lima tahun terakhir. Laba yang kemudian ditanam kembali sebagai tambahan ekuitas setelah IPO juga telah mencapai dua kali lipat ekuitas WIKA.

Alhasil, sejak memperoleh dana segar dari hasil IPO, manajemen WIKA telah bergerak cepat dalam mengembangkan usahanya.

You may also like

Comments are closed.

More in Bisnis