Bioplastik Solusi Ramah Lingkungan

INDOWORK.ID, JAKARTA: Pemerhati lingkungan di seluruh dunia akhir-akhir ini cenderung menoleh kepada material bioplastik, yang dianggap jauh lebih ramah terhadap alam sekitar kita. Material tersebut bersifat biodegradable alias lekas terurai apabila dibuang ke tanah/perairan. Beda jauh dengan plastik biasa—produk turunan minyak bumi—yang memerlukan waktu hingga ratusan tahun untuk dapat terurai di alam bebas.

Pertumbuhan populasi global telah mempercepat urbanisasi tanpa pengelolaan sampah yang tepat, dan peningkatan produksi plastik non-biodegradable telah mendorong pencarian plastik ramah lingkungan. Menurut laporan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), produksi plastik tahunan akan mencapai 1,2 miliar ton pada 2060 kelak. Selama periode 1950-an hingga kini, sekitar 8,3 miliar ton sampah plastik dihasilkan, dan—yang menyedihkan—sekitar 79% sampah plastik tersebut berakhir di tempat pembuangan sampah, dibakar, dan dibuang langsung ke sungai atau laut.

Dampak lingkungan terkait dengan polimer berbasis bahan bakar fosil tersebut telah membuka jalan untuk mengeksplorasi plastik berbasis biopolimer, sifat-sifatnya, dan penerapannya. Bioplastik merupakan bahan polimer yang sangat menarik karena sifatnya yang lebih ramah lingkungan dan (juga) tidak beracun.

Karena itu, bioplastik merupakan bahan ramah lingkungan yang memiliki potensi besar untuk pembangunan berkelanjutan. Inovasi teknologi dan meningkatnya permintaan konsumen akan bahan ramah lingkungan telah membuka jalan untuk mengeksplorasi berbagai sumber dan aplikasi bioplastik. Berbagai bahan alami seperti aneka tumbuhan, bakteri, dan alga merupakan sumber yang paling banyak dimanfaatkan untuk produksi bioplastik.

Kemajuan dalam bioteknologi dan ilmu material mempunyai dampak luar biasa terhadap produksi bioplastik. Namun, pasar berbasis biopolimer menghadapi tantangan, terutama dalam hal penerimaan oleh pasar, mengingat beberapa bahan alami tersebut tidak memiliki karakteristik sekuat dan selentur plastik berbasis nafta/minyak bumi.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, beberapa waktu terakhir berupaya mengatasi permasalahan sampah plastik tersebut, terutama yang berkaitan dengan pencemaran laut. Salah satu upaya yang ditempuh Kementerian KP adalah dengan proyek penelitian melalui Badan Riset Sumber Daya Manusia. Di bawah supervisi Badan Riset SDM, Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan menawarkan solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan sampah plastik, yaitu dengan bioplastik berbahan rumput laut.

Peneliti LRMPHP menjelaskan rumput laut merupakan salah satu bahan potensial untuk dijadikan bahan baku bioplastik. Karena, rumput laut mengandung senyawa karagenan. Senyawa ini adalah salah satu fikokoloid paling menjanjikan dan menunjukkan kemampuan pembentukan film yang sangat baik.

Fikokoloid adalah zat koloidal hidrofilik yang diperoleh dari rumput laut. Pada penelitian tersebut, LRMPHP menggunakan metode ekstrusi untuk membuat bioplastik dengan bahan dasar karagenan. Metode casting biasa digunakan dalam pembuatan bioplastik. Namun, metode ini memiliki kelemahan, yaitu belum dapat diproduksi secara massal.

BRSDM memilih penggunaan metode ekstrusi untuk memproduksi bioplastik. Perlu diketahui, metode ekstrusi adalah proses mengeluarkan material melalui jalur tertentu sehingga menghasilkan bentuk panjang dengan penampang seperti lubang jalur. Ekstrusi merupakan proses yang berkesinambungan. Bahan baku plastik akan meleleh dan dapat dibentuk menjadi panjang secara terus-menerus dengan profil cross-sectional secara konstan. Kemudian, produk dapat dipotong menjadi panjang yang diinginkan oleh peralatan tertentu.

PRODUKSI DI INDONESIA

Di Indonesia, terdapat perusahaan yang membuat inovasi untuk membuat plastik berbahan baku singkong. Enviplast, nama perusahaan tersebut, memproduksi plastik dan senyawa polimer berbasis biodegrable sejak 1990-an. Pada 2011, perusahaan ini memproduksi plastik ramah lingkungan dengan berbahan dasar singkong.

Berangkat dari kepedulian terhadap sampah plastik yang terus menjadi bagian dari kebijakan lingkungan pemerintah, Enviplast kemudian membuat perusahaannya dengan karakteristik yang berbeda dari pesaingnya yakni dengan memproduksi plastik yang tidak membentuk mikroplastik serta tidak berbahaya jika dikonsumsi oleh hewan bahkan tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

Perusahaan itu menyebutkan bahwa mereka memproduksi sesuatu dengan perkiraan jangka panjang, sehingga dampaknya tidak terlihat dengan cepat atau bahkan jangka waktu 5-20 tahun. Hal ini sebagai sebuah upaya untuk mendorong pertumbuhan industry di pasar negara berkembang.

Enviplast juga merupakan pionir dalam inovasi produksi plastik berbasis bio di negeri ini, dan mereka mengaku terus melakukan penelitian untuk mencari cara paling berkelanjutan dalam menciptakan bahan yang dapat mengurangi dampak plastik terhadap lingkungan. Tak heran bila Enviplast banyak meraih penghargaan.

Bioplastik singkong ini berbeda dari plastik-plastik konvensional, yang membedakannya yakni selain menggunakan bahan organik, bioplastik ini juga sangat gampang terurai. Hanya direndam beberapa menit menggunakan air panas saja, bioplastik ini sudah larut dengan air, dan juga akan hancur secara sempurna dalam waktu 3-6 bulan di dalam tanah.

Cara membuatnya pun cukup sederhana, yakni singkong diolah menjadi tepung terlebih dahulu, lalu dicampur dengan minyak sawit dan bahan organik lainnya kemudian dibentuk menjadi butiran-butiran dengan berbagai macam warna, yang mana pewarnanya menggunakan pewarna makanan untuk warna dasar kantong dan pewarna yang ramah lingkungan untuk sisanya.

Kemudian butiran-butiran tersebut dilelehkan menggunakan mesin kemudian ditiup agar mengembang, lalu dicetak membentuk seperti plastik pada umumnya. Terakhir, diberi label. Sesederhana itu!

Hebatnya lagi, sisa-sisa kantong setelah dicetak tidak akan dibuang sia-sia, tetapi didaur ulang kembali untuk dijadikan kantong, sehingga pembuatan kantong singkong ini sama sekali tidak menyisakan sampah. Enviplast, seperti dijelaskan sebelumnya, telah melakukan berbagai riset untuk membuat bahan dasar plastik yang lebih ramah lingkungan.

Hanya saja, akseptansi masyarakat terhadap jenis plastik berbasis bahan alami yang mudah terurai ini belum menggembirakan, karena tidak sedikit yang beranggapan bahwa kantong/kemasan dari bioplastik ini memiliki sifat yang kurang durable, mudah robek, dan tidak dapat disimpan dalam waktu lama.

Soalnya, cukup banyak orang yang terbiasa menyimpan atau menggunakan ulang tas belanja berbahan plastik konvensional karena dianggap awet dan tahan lama. Padahal, dengan Tingkat disiplin ekstrarendah di kalangan masyarakat kita, yang dengan mudah membuang sampah plastik ke lingkungan sekitar, habitat kita menjadi tidak cantik karenanya.

*) Ditulis untuk Harian Jogja Edisi 19 Februari 2024 oleh wartawan senior Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja dan Redaktur Khusus INDOWORK.ID

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Headline