Kisah Awal WIKA Sebagai Perusahaan Nasional (BUMN)
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Pada 11 Maret 1960, setelah dinasionalisasi, pemerintah memberikan status pada PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) sebagai perusahaan negara (PN). Kemudian, karena karakteristik usahanya yang bertalar belakang kelistrikan, pemerintah kembali memberikan wewenang kepada Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) untuk mengendalikan kegiatan usahanya.
Perlu diketahui, pada zaman itu, memberikan wewenang kepada departemen pemerintahan untuk berkoordinasi dengan perusahaan negara adalah jalan yang seringkali dilakukan untuk mempermudah kendali terhadap pengelolaan. Contoh lain dapat ditemui ketika Jasa Marga yang dahulu dikelola pertama kali oleh orang-orang di Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rayat (PUPR), yang diberikan tugas untuk membentuk badan usaha yang akan mengelola jalan tol.
WIKA yang saat itu masih berada di bawah Departemen PUTL, berkantor di Jalan Hayam Wuruk No. 111, berpindah dari kantor lama sewaktu asih menjadi Vies en Co di Jalan Johar, Jakarta Pusat. Kantor awal WIKA saat itu tidaklah semegah saat ini, yang disebut kantor saat itu jauh dari kata nyaman, hanya ruangan seluas 7 x 10 meter yang tadinya difungsikan sebagai gudang milik Waskita Karya.
Warkita Tarsam, karyawan yang saat itu menjadi karyawan WIKA, menggambarkan kondisi tempat kerjanya saat itu masih beratapkan seng, apabila tertiup angin suaranya sangat bising. Selain itu, kantor tersebut juga difungsikan sekaligus sebaga “workshop” karena sebagian ruangannya terbuka dan sebagian lagi tertutup, isinya pun bukan peralatan kantor melainkan alat-alat kelistrikan dan pertukangan.
Kebanyakan karyawan WIKA saat itu terdiri dari para tukang listrik dan mekanik sebagai operator. Sebelum 1965, WIKA memang dikenal dengan pekerjaan instalatur listrik dan pipa air yang hasil kerjanya diakui. Karena itulah, hampir semua gedung-gedung bergengsi di Jakarta, seperti gedung Bank Indonesia, Sarinah, dan Markas Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU), mempercayakan urusan kelistrikan dan pemipaan pada WIKA.
Proyek lainnya yang tidak kalah prestisius adalah instalasi listrik pada proyek Ganefo yaitu gedung olah raga untuk Asian Games (Gelora Bung Karno), Senayan, Jakarta Selatan.
Berharap dari proyek Ganefo mendulang untung yang banyak, WIKA malah menghadapi situasi yang sulit. Krisis ekonomi yang berlangsung pada 1960-1965 membuat berbagai proyek WIKA turut terdampak imbasnya. Paling besar justru dari proyek Ganefo di mana terpaksa harus dihentikan. Sementara piutang WIKA cukup besar pada proyek itu. Akhirnya, WIKA tidak bisa membayar kewajiban. Bahkan, tidak mampu membayar gaji karyawan yang saat itu berjumlah 250 orang. PHK sejumlah 50% dari total karyawan saat itu pun tak terhindarkan.
Orang bijak pernah mengatakan, “meskipun kapal karam, awak tetap harus berenang”. Ketika krisis, naluri bertahan hidup membuat bisnis apapun yang menghasilkan uang akan dilakukan. Maka dibentuklah unit niaga yang memperdagangkan barang-barang hasil industri yang belum banyak di pasaran. Kelak unit inilah yang menjadi embrio lahirnya divisi perdagangan yang sangat berperan dalam pengembangan bisnis WIKA di masa yang akan datang.
Dari Jakarta, orang-orang pemasaran WIKA membawa radio transistor ke Jawa Tengah untuk dijual. Sekembalinya dari Jawa Tengah, mereka kembali membawa berbagai komoditas seperti gula, kelapa, atau bahan kebutuhan pokok lain untuk dijual kembali di Jakarta. Bahkan WIKA sempat menjadi penyuplai kacang kedelai untuk seluruh pabrik tahu di Jakarta. Peluang lain yang juga dijajaki adalah bisnis packaging yaitu pembuatan peti-peti kemas dari kayu.