Jakarta Weltevreden Instagramable, Ngopi Nggak Perlu Kantong Tebel
JAKARTA: Mencermati tulisan wartawan senior Dimas Supriyanto tentang Jakarta Weltevrreden sambil ngopi di Filosofi Kopi, Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta Pusat, asyik banget.
“Lebih asyik lagi kita ngopi di sini ngajak Wulan Guritno dan Luna Maya,” katanya terbahak.
Para penggemar kopi yang asyik ngobrol itu sebagian besar wartawan senior. Namun ada juga pengusaha, budayawan, dan dosen. Sambil memandang Sungai Ciliwung di depan Pasar Baru, Dimas terkenang ucapan gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) tentang kali di depan kawasan Pasar Baru yang menjadi sentral Jakarta Weltevreden.
Semasa jadi Gubernur DKI Jokowi ingin menjernahkan kali di seberang Kantor Pos Pusat ini untuk ditebar banyak ikan sebagai salahsatu destinasi wisata.
Gagasan itu mandeg. Program sungai bersih tak dilanjutkan penggantinya Basuki Tjahaja Purnama. Ahok sibuk mencegah banjir. Baru di penghujung jabatan Anies Baswedan kini nampak lagi geliatnya.
Alhamdulillah Jakarta Weltervreden kini mulai bergeliat. Lihatlah kondisi Lapangan Banteng. Lapangan yang dahulu bernama Waterlooplein yaitu suatu lapangan yang terletak di Weltevreden, Batavia; tidak jauh dari Gereja Katedral Jakarta.
Menikmati fasilitas hasil revitalisasi Lapangan Banteng yang diresmikan pada Rabu (25 Juli 2018) tak terasa membosankan. Fasilitas umum yang menjadi jadi tempat favorit, terutama bagi mereka yang hendak melakukan olah raga sore atau malam hari, selalu ramai.
Selama ini, hanya sedikit tempat di Jakarta Pusat yang bisa dijadikan tempat jogging. Biawanya warga jogging sore atau malam hanya Monas dan Taman Surapati. Fasilitas umum ruang terbuka hijau memang dibutuhkan. Apa lagi lahan di daerah Jakarta semakin menyempit. Kawasan Lapangan Banteng kini ditanami banyak pepohonan menjadi salah satu paru-paru ibu kota.
BERTARAF INTERNASIONAL
Ketua Yayasan Kota Jakarta Weltevreden Toto Irianto memilih Lapangan Banteng menjadi tempat untuk peluncuran yayasan yang dipimpinnya. Pria yang akrab dipanggil Pak ToIr menjelaskan bahwa visi yayasan yang dipimpinnya adalah Menjadikan Kawasan Jakarta Weltevreden sebagai destinasi wisata bertaraf internasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Jiwa kami terpanggil untuk merawat Jakarta sebagai palang pintu Indonesia agar semakin berkembang menjadi kota berkelas dunia,” ujar pria asal Cirebon itu, Rabu, 22 Juni 2022.
Peluncuran Jakarta Waltevreden bertepatan dengan Hajatan ke 495 Kota Jakarta yang mengusung tema Kolborasi, Akselerasi, dan Elevasi. Sementara itu, tagline Jakarta Weltervreden adalah Restorasi, Aspirasi, dan Kolaborasi.
SATU TUJUAN
Para pendiri Yayasan berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. Mereka adalah Toto Irianto, Lahyanto Nadie, Hamzah Ali, Dimas Supriyanto, Marthen Selamet Susanto, Firdaus Baderi, Mohammad Fauzy, Christian Chang, Arief Soeharto, Endy Subiantoro, Muhammad Ashraf Ali, I Made Karmayoga, dan Victorius Goenawan Wibisono.
ToIr menjelaskan bahwa para tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang itu bersatu karena memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. “Kami tidak dapat memilih lahir di mana dan dari suku apa. Itu sunatullah.”
Namun, bagi ToIR, Jakarta Weltevreden menyatukan keberagaman itu karena memiliki pandangan yang sama untuk kemajuan Jakarta dan Indonesia.
Jakarta Weltevreden belakangan makin menjadi pembicaraan hangat karena banyak perubahan yang menjadi pilihan bagi kaum milenial dan generasi Z untuk berfoto, ngobrol, ngopi, bahkan melakukan penelitian untuk keperluan skripsi, tesis, dan desertasi.
MERINDU BATAVIA
Cendekiawan Yudi Latif mengatakan bahwa kini banyak yang merindukan kenangan akan Batavia.
Yudi adalah aktivis dan cendekiawan muda. Pemikirannya dalam bidang keagamaan dan kenegaraan tersebar di berbagai media. “Segala hal di Batavia,” puji WA van Rees (1881), “lapang, terbuka, dan elegan”. Pada titik ini, kemolekan Jakarta belum beranjak dari gambaran Tomé Pires tiga abad sebelumnya, “sebuah pelabuhan yg indah, salah satu yg terbaik di Jawa”.
Ketika pelabuhan Jayakarta dijadikan pangkalan VOC oleh Jan Pieterszoon Coen dan berganti nama jadi Batavia, 12 Maret 1619, kota ini merupakan benteng terisolasi di tengah belantara. Pada abad 18, hutan di sekitar kota dikonversi jadi sawah dan perkebunan tebu.
Pada 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk Pemerintahan Napoleon jadi gubernur jenderal dgn misi, “menjaga Batavia dari serangan Inggris”. Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan. Ia bangun Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan, dinamai Weltevreden (Menteng), artinya ’sungguh memuaskan’. Untuk kenyamanan dan kelancaran birokrasi, kantor pusat pemerintahan dipindah ke Buitenzorg (Bogor), yg lebih ramah thd cita rasa Eropa. Semua ini merupakan usaha mewujudkan Batavia sbg the Queen of the East.
FISIK DAN JIWA
Pembangunan fisik Batavia dan sekitarnya seiring dengan pembangunan jiwanya. Klub-klub bergaya Eropa, sekolah, lembaga penelitian, jurnal ilmiah, dan media massa tumbuh. Klub eksklusif—Harmonie–berdiri 1815, jadi pusat pergaulan, informasi, dan bacaan. Terinspirasi semangat pencerahan, sekolah dasar Eropa didirikan di Menteng 1817. Kebun Raya Bogor dgn institut2 terkait didirikan 1817, disusul Perhimpunan Ilmu-ilmu Alam Hindia, 1850. Mengantisipasi pertumbuhan Jakarta-Bogor yang kian mekar, sejak 1873 kedua kota itu dihubungkan kereta api pertama di Hindia.
Perkembangan kota memenuhi bayangan Max Weber, “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional.” Ini dimungkinkan oleh birokrasi pemerintahan yg kapabel. Birokrasi kolonial memang represif, tetapi tetap mengupayakan prinsip rasionalitas birokrasi.
Semua ini membuat Batavia jadi Mooi Indie berjiwa kosmopolitan. Meski harus diakui, di sana ada masalah yang imbasnya masih terwariskan hingga kini. Dalam desain kota kolonial, ada kesenjangan antara sektor komersial padat modal di tangan orang asing dan sektor subsisten padat karya di tangan penduduk lokal.
Yudi juga rajin menulis untuk pencerahan kepada publik melalui media sosial dengan tajuk Makrifat Pagi.
KENANGAN ANAK BETAWI
Ketua Dewan Pengawas Yayasan Kota Jakarta Weltevreden Lahyanto Nadie memilih Lapangan Banteng bukan hanya memiliki sejarah yang Panjang untuk Jakarta dan Indonesia. “Aye dan babe punya kenangan yang dalem banget di sini,” katanya dengan logan Betawi yang kental.
Ia kemudian bercerita tentang taman yang kini keren dan instragramable dan patung Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung bertubuh kekar yang kini ada di Lapangan Banteng itu dikenal dengan nama Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung yang berdiri sejak 17 Agustus 1963 itu menjadi ikon lapangan tersebut.
Bang Lay, begitu panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa manajemen Yayasan Jakarta Weltevreden, dipimpin oleh Toto Irianto yang pernah menjadi Direktur Utama dan Pemimpin Redaksi Pos Kota, koran terbesar pada masanya, sejak tahun 1970-an. Sedangkan sekretaris dijabat oleh Hamzah Ali, pengusaha muda yang bergerak dalam industri teknologi digital, publishing, dan riset. Wartawan senior Dimas Supriyanto sebagai bendahara.
Peluncuran Jakarta Weltevreden di Lapangan Banteng
Karena kampung Betawi ini sangatlah bersejarah
Wisatawan mancanegara bawa oleh-oleh ditenteng
Momentum hajatan Jakarta 22 Juni membawa berkah