Cegah Malapetaka, Jauhkan Pemimpin Beretika Rendah
INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Manusia berakal sehat dan bernurani, tentu akan terpanggil untuk mencegah terjadinya malapetaka itu. Berarti harus muncul kesadaran bagaimana memandang mulia persoalan etika. Disadari, prinsip etik akan menjadi landasan fundamental dalam konstruksi perundang-undangan, hukum dan tata-kelola kenegaraan. Jadi, bicara etik bukan sekedar tingkah laku (sopan santun). Tapi, rembesannya terhadap perilaku kekuasaan yang tercermin dalam berbagai format kebijakan.
Inilah bahaya serius ketika sang pemimpin memandang rendah prinsip etik. Muncul sikap politik, haruskah membiarkan sosok pemimpin yang menihilkan prinsip etik? No. Inilah jawaban yang sarat dengan dimensi cinta Tanah Air. NKRI sejati. Negara harus “steril” atau dijauhkan dari corak pemimpin yang memandang rendah prinsip etik.
***
“Etik, etik… nDasmu etik”, itulah penggalangan kalimat yang terlontar dari bibir Prabowo Subianto di sebuah acara internal Partai Gerindra merespon lontaran diksi kata “etik” dari di antara hadirin forum itu. Kalimat itu pun viral di jagad dunia maya. Muncul pertanyaan spekulatif, kepada siapakah kalimat umpatan itu? Kita perlu menganalisa kalimat yang terucap capres No. 2 itu?
“nDas” atau “Endas” – dalam Bahasa Jawa – berarti kepala. Berarti, kata “nDasmu” atau “endasmu” bermakna “kepalamu”. Yang menarik untuk kita telaah dari sisi sosial-budaya Jawa. Diksi kata “nDasmu” bukan hanya terkategori kasar, tapi ada unsur jengkel atau marah saat menyampakan diksi itu.
Memang, raut wajah Prabowo saat mengeluarkan kata “nDasmu” tampak kesal saat mendengar kata “etik” yang dilontarkan oleh di antara hadirin. Sekilas terlihat sekilas guyon (bercanda). Tapi, raut marahnya tetap menampak kesal.
Kalau kita telusuri “asbabul wurud” keluarnya kata tersebut, Prabowo kesal karena – dalam debat capres pada 12 Desember lalu – merasa terpojok atas pertanyaan capres lain terkait masalah etika pada proses hukum pencalonan Gibran. Secara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi No. 90 Tahun 2023 itu memberi “karpet merah” kepada Gibran sebagai cawapres, padahal usianya masih di bawah usia 40 tahun. Menjadi cacat hukum. Minimal melanggar etika. Tergolong pelanggaran berat.
Putusan MK itu sarat unsur nepotisme. Konflik kepentingan menjadikan putusan “pro” Gibran kontroversial (melanggar berat dari sisi etika) sebagaimana yang disimpulkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
MARAH SAAT DEBAT
Keterpojokannya membuat jawaban Prabowo bukan hanya terlihat marah saat debat capres di arena KPU itu, tapi terbawa sampai ke luar acara debat. Sel sarafnya langsung “korslet” (tersambar dan terbakar emosinya) ketika mendengar diksi kata “etik” di luar forum. Dan kemarahannya ditampakkan dengan mengucap diksi kata “ndasmu”. Sebuah kata yang cukup bermasalah dari sudut budaya Jawa.
Sebuah catatan mendasar, apakah emosionalitasnya kondisional, atau memang menjadi karakternya? Sejauh ini, informasi yang telah tersiar luas, Prabowo memang temperamental. Pemarah. Tak boleh terpantik oleh hal-hal yang kurang berkenan. Dalam konteks kepemimpinan kenegaraan yang demokratik, karakter temperamental seperti ini menjadi problem besar bagi rakyat yang dipimpin, dalam lingkungan terbatas, apalagi lingkup yang jauh lebih luas: negara.
MODEL KEKUASAAN OTORITER
Yang menjadi persoalan serius, karakter bawaan pemarah masuk dalam perilaku kekuasaan. Hal ini berpotensi besar akan menggiring model kekuasaannya diktatoristik dan otoriter. Karakter “panasnya” akan terlihat pada sikap yang senantiasa memaksakan kehendak dengan “larasnya”, tanpa menimbang rasionalitasnya atau reaksi kontra rakyat. Siapa pun yang dipimpin harus tunduk. Siapapun yang berbeda dipandang sebagai musuh, mengganggu bahkan mengancam keberadaannya. Model kepemimpinan seperti ini akan “diterjemahkan” labih jauh oleh aparatur keamanan. Tentara dan atau kepolisian akan digiring menjadi satuan yang bengis terhadap rakyatnya sendiri. Ironis.
Karena itu, sang pemimpin yang antikritik ini akan selalu berusaha “menyikat, mengamputasi” seluruh elemen yang dianggap mengganggu atau mengancam status quo-nya. Di depan mata, sosok pemimpin temperamental akan membuat kultur demokrasi terkikis, tersumbat bahkan terpasung. Implikasi lebih jauhnya, rakyat lebih menggunakan hak takutnya daripada “dibedil” atau dipaksa tinggal di balik “jeruji besi”. Dan side effect lanjutannya akan semakin bermunculan mental-mental penjilat, minimal the savety plying. Jadilah, potret anak-bangsa egois. Miris.
MENTAL LABIL
Dalam perspektif psikologi klinis, karakter pemarah seperti itu menunjukkan mental yang tidak matang. Labil. Mudah berubah pendiriannya. Tidak konsisten. Ketika karakter minus ini menempel pada diri seorang pemimpin utama (presiden), maka implementasi kebijakannya menjadi inkonsisten. Rakyat menjadi obyek “mainan” semau gue. Hal ini akan menjadi masalah besar ketika merancang-bangun kebijakan ekonomi.
Sementara itu, sektor ini memerlukan jaminan stabilitas yang pasti. Agar bisa merencanakan langkah dan target secara tepat bahkan pasti. Namun, akibat potret sang pemimpin labil, topografi pembangunan ekonomi dan rancangan lainnya pun terombang-ambil. Rakyat dan negara menjadi korban.
MELANGGAR BERAT
Satu hal lagi yang perlu kita analisis dari diksi “nDasmu” etik. Diksi ini – dalam perpektif budaya Jawa juga menggambarkan sikap merendahkan atau mengecilkan. Maka, ketika Prabowo berucap “nDasmu etik”, sesungguhnya capres No. 2 ini memandang masalah etika tidak penting dalam sistem hukum, apalagi domain sosial.
Itulah sebabnya, kita dapat mendapatkan data faktual yang mengkonfirmasi dirinya: dia demikian bangga sampai-sampai goyang gemoy karena berhasil menggandeng Gibran sebagai cawapresnya, padahal jelas-jelas melanggar berat dari sisi etik.
Dengan lantang dan seraya menantang, “Jika rakyat tidak suka dengan pasangan Prabowo-Gibran” (karena cacat secara hukum dan atau etik)” ya ga apa-apa. Ga usah dipilih”. Sementara, “item” pilpres tidak hanya persoalan suka-tidak suka, pilih-tidak memilih. Tapi, juga terdapat praktik “simsalabim” yang sarat dengan nuansa kecurangan terencana dan sistimatis.
Andai data faktual cukup banyak yang tidak pilih Prabowo-Gibran, tapi praktik simsalabim bisa mengubah peta hasil suara. Jadi, hasil akhir kontestasi harus dikonformasi, bagaimana kualitas pilpres: jujur, adil dan transparankah? Atau, tetap melakukan rekayasa simsalabim itu?
Ketika terkonfirmasi hasil yang sarat dengan praktik simsalabim, maka semakin jelas: dirinya memang tak pernah memandang prinsip etik dalam menuju istana. Yang penting harus menang, apapun dan bagaimanapun caranya. Benar-benar memberlakukan moral hazard, tanpa menimbang dampak politik lanjutan (peletup kemarahan rakyat secara nasional).
IMPLIKASI SERIUS
Perlu kita catat, kalimat “nDasmu etik” sungguh serius implikasinya bagi tatanan kehidupan bernegara. Seperti kita ketahui, landasan filosofis etika itu masalah jabaran prinsip baik-buruk yang hidup di tengah masyarakat. Ketika landasan filosofis ini dipandang sepi, tak penting bahkan tiada dan atau mengecilkannya, maka bukan hanya corak kehidupan masyarakat diobrak-abrik, tapi akan sampai pada warna kebijakan atau perilaku kekuasaan yang tak lagi mandasarkan prinsip baik-buruk. Kehidupan jadi liar. Tak dipersoalkan lagi masalah perilaku barbar itu.
Inna lillahi. Kehidupan umat manusia dengan segenap aturan untuk kepentingan manusia itu sendiri harus mengabaikan prinsip baik-buruk. Akan seperti apa warna kehidupan umat manusia dan atau tempat dirinya berpijak (negara) tanpa etika?
Jika seluruh umat manusia sepakat dan sama tekadnya untuk mengedepankan prinsip baik, tentu akan menjadi manfaat besar bagi nusa dan bangsa. Justru, persoalan besarnya adalah “sifat buruk” yang menjadi tren kehidupan setiap diri, apalagi menjadi arah kebijakan negara. Sungguh malapetaka besar jika dominasi warna “buruk” dijadikan arah pembangunan dan atau model kepemimpinan kenegaraan.
*) Ditulis oleh Agus Wahid, Analis Politik