Bambang Slamet Riyadi

Bambang Slamet Riyadi: Perlu Kepastian Hukum UU Ruang Bawah Tanah

INFRASTRUKTUR.CO.ID., JAKARTA: Bambang Slamet Riyadi menilai perlu rumusan kebijakan untuk memberikan kepastian hukum sehingga tidak terjadi peyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin dan terbentuknya UU baru ruang bawah tanah.

UU tersebut sebagai rujukan peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah memberikan izin dan investasi untuk mendapatkan kepastian hukum. Tentu saja negara mendapatkan kontribusi pendapatan yang tepat.

Riyadi adalah Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden RI. Ia menyatakan hal tersebut dengan dasar hukum kajian akademis dalam disertasi Ruang Bawah Tanah dan Prospek Pengaturannya. Hal itu ditinjau dariperspektif hukum pertanahan nasional pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.

DASAR HUKUM

Menurut Riyadi, dasar hukum lainnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).

Selain itu, Undang-Undang RepublikIndonesiaNomor26Tahun2007tentangPenataan Ruang (Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).

Dasar hukum lainnya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolahan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28).

Riyadi menjelaskan bahwa dasar hukum lainnya adalah Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah (Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 162 Tahun 2012).

Di samping itu Peraturan Walikota Makassar Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pembagian Ruang Peruntukan dan Larangan Penggunaan dalam Area Permukaan Lapangan Karebosi Kota Makassar.

Menurut Riyadi, dasar hukum juga diperkuat oleh Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Kerja pada bagian keempat tentang pertanahan, paragraf 1 tentang bank tanah, diatur dalam pasal 135 hingga pasal 142 tentang Pembentukan Lembaga Bank Tanah dan Hak Pengelolahan. “Jadi jelas dasar hukumnya tidak terdapat ruang bawah tanah,” kata pria kelahiran Jakarta, 12 Juli 1963 tersebut.

Bersama Pramono Iriawan, tenaga ahli Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Bambang menjelaskan latar belakang pendapatnya itu.

Dalam pengaturan Undang Undang pokok-Pokok Agraria Pasal 4 ayat (1) UUPA hanya menyebut “tanah” sebagai objek, bukan ruang bawah tanah, yaitu: atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya “macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah.

Begitu pula, dalam Pasal 4 ayat (2) belum mengatur objek penggunaan ruang bawah tanah, hanya penggunaan tubuh bumi.

Jelas terlihat bahwa tanah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah “permukaan bumi”. “Jadi tidak meliputi hak atas ruang dalam tubuh bumi atau ruang bawah tanah,” kata dosen FH Universitas Pancasila itu.

Menurut ayah empat anak itu, hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Begitu pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, “sekedar diperlukan” untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang- undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Bagi Riyadi, sumber hukum pertanahan nasional adalah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya, dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.

MAL DI LAPANGAN KAREBOSI

Mal di lapangan Karebosi

Ia mencontohkan bahwa permasalahan penggunaan ruang bawah tanah yang menggunakan beberapa level adalah dan mal bawah tanah Lapangan Karebosi. Mal bawah tanah Karebosi dibangun empat level di bawah tanah dan megaproyek MRT Jakarta adalah penggunaan secara “massif” (berskala besar dan luas).

Proyek MRT dibuat pada kedalaman rata-rata 22 meter sampai 25 meter di bawah permukaan tanah yang dibangun 2 (dua) tingkat atau 2 (dua) level di bawah tanah. Level satu digunakan untuk concourse (area publik/komersial) dan level 2 (dua) digunakan untuk platform (peron kereta).

Dasar hukum penggunaan ruang bawah tanah berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 memuat ketentuan mengenai penggunaan ruang bawah tanah. Fakta ini menunjukkan Pergub DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 tidak mempunyai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum di atasnya, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 huruf c, d dan f Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, karena tidak merujuk peraturan diatasnya. membuat peraturan ini tidak sah di mata hukum. “Artinya penggunaan hak ruang bawah tanah yang didasarkan pada peraturan ini pun tidak sah,” tegasnya.

BERBAGAI INTERPRETASI

Dari kiri: Bambang Slamet Riyadi, Ganjar Rasuni, dan Pramono Iriawan

Pelanggaran UU Pembentukan Perundang-undangan oleh Pergub DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 juga terjadi pada aspek kejelasan rumusan peraturan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Ruang bawah tanah menjadi tempat masyarakat untuk melakukan usaha guna mencukupi kebutuhan hidupnya, sebagaimana yang dicontohkan dalam proyek MRT dan contoh permasalahan Pemerintah Kota Makassar menyerahkan hak ruang bawah tanah di bawah Lapangan Karebosi kepada PT Tosan Permai Lestari untuk dibangun mal bawah tanah.

Kevakuman hukum ruang bawah tanah telah memberi celah hukum kepada pemerintah Kota Makassar untuk menyalahgunakan kewenangannya demi kepentingan pemilik modal. Kasus ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal sekaligus bentuk ketidakadilan terhadap masyarakat. Kasus ini dapat dijadikan sebagai pengalaman empiris untuk membangun kesadaran pentingnya pengaturan ruang bawah tanah yang berkeadilan.

HARUS DILINDUNGI

Fakta ini menunjukkan betapa penting ruang bawah tanah untuk kesejahteraan rakyat dan oleh karena itu hak kepemilikannya harus dilindungi. Kepemilikan hak ruang bawah tanah harus dilindungi oleh negara. Undang-undang ruang bawah tanah harus memberikan kepastian hukum yang berkeadilan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jika penerbitan izin ruang tidak mendasar dan tidak merujuk peraturan, maka akan terjadi peyalahgunaan kewenangan dalam menfasirkan pemanfaatan ruang, hal ini berpotensi menjadi peyalahgunaan kewenangan dan bersifat transaksional,

Dengan pengaturan yang jelas dalam pembentukan UU ruang bawah tanah maka akan memberikan konstribusi kepemerintah pusat dan daerah secara tepat termasuk PNBP dari setiap investasi secara nasional yang membutuhkan tanah dan pemanfaatan ruang bawah tanah.

Riyadi menjelaskan bahwa tujuan kajian tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, memberikan rekomendasi untuk melakukan kebijakan strategis kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan DPR R.I untuk membentuk UU Ruang bawah tanah sehingga secara komperehensif akan kepastian hukum kepada investor/pelaku usaha.

Kedua, dengan adanya Pembentukan UU Ruang bawah tanah yang memiliki kepastian hukum, maka akan berdampak pada penambahan pendapatan PNBP dengan jaminan investasi dan menghindari terjadinya peyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin ruang bawah tanah.

 

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Properti